Sebelum kita membahas soal seorang yang ‘katanya Ustadz’, sosok yang kerap mengisi pengajian di mana-mana, bahkan sering mengisi di Masjid-masjid milik BUMN, tapi sering salah baca ayat Al-Quran, mari membahas terlebih dahulu. Sebenarnya, apa dan siapa sih sebenarnya Ustadz itu?
Kita bisa melacaknya asal katanya dahulu. Kata Ustadz, merujuk pada kamus Arab Al-Mu’jamul Wasith, ada beberapa makna. Yakni pengajar, orang yang mempunyai kehalian dalam satu bidang keilmuan dan julukan untuk akademisi level tertinggi di Universitas. Namun pada tataran Istilahiyah, secara istilah, kata Ustadz di Indonesia lumrah digunakan untuk menyebut orang yang mengajarkan ilmu agama, baik di Pesantren, seekolah umum sebagai pendidik, atau penceramah yang mengisi pengajian-pengajian.
Di Pesantren atau lembaga Pendidikan Islam, yang notabene adalah pusat studi agama, Ustadz adalah guru, pengajar yang sudah tidak diragukan lagi keilmuan agamanya. Dahulu saat saya masih Nyantri, apa yang disampaikan Ustadz membuat saya percaya betul. Tak pernah ada keraguan sedikitpun kepadanya, karena apa?
Pertama karena kedalaman ilmu agamanya dan kedua, adalah soal kehati-hatiannya dalam menyampaikan sesuatu. Kiai saya dahulu di Pesantren pernah berkata, Ustadz dalam mengajar itu tidak boleh sedikitpun salah, tidak boleh! Alasannya apa? Betapa bahayanya jika pengajarnya menyampaikan sesuatu yang keliru, kemudian dipahami dan diamalkan oleh muridnya, kemudian diajarkan lagi kelak pada muridnya mereka, dan terus seperti itu.
Maka kesalahan dan kekeliruan itu menjadi kesalah Jariyah yang terus-terusan, ini sangat mengerikan. Jadi menjadi seorang ustadz bukan sebuah perkara yang gampang, berat dan tak sembarang orang mampu dan mau. Namun saat ini, di tengah Industrialisasi agama, Ustadz menjadi sebuah komoditi yang sangat menggiurkan, punya jamaah pengajian, diundang dengan bayaran mahal, efek sampingnya juga lumayan, sambil jualan Baju, hijab, bahkan Kopi, Madu, buka jasa Travel umroh dan segala macam lainnya.
Kita pun bertanya, apa Ndak boleh? Ya boleh-boleh saja, namun yang harus diingat adalah, kembali lagi kepada apa itu Ustadz tadi. Yakni sosok yang mengajarkan ilmu agama yang tak boleh sedikitpun salah, apalagi serampangan. Ia harus menguasai ilmu agama dengan benar.
Lha sekarang malah banyak Ustadz jadi-jadian, tak bisa baca Kitab Kuning sebagai dasar untuk belajar ilmu-ilmu agama dari sumber-sumber primer Tau-tau jadi Ustadz, modal sorban, bahasanya pake Ana, Antum, modal Hadist Kullu Bid`atin dolalah, kelar perkara.
Menyampaikan tafsir Al-Quran serampangan, bahkan baca Al-Quran saja salah-salah. Jadi, ini hendak mengajarkan ilmu agama bagaimana? Hal-hal yang paling dasar saja kacau, Lha kenapa dengan berani berani mengisi pengajian agama? Lantas para awam yang ingin memperdalam ilmu agama menjadi korbannya, gilanya lagi, mimbar-mimbar sakral pengajian, mereka gunakan untuk kepentingan-kepentingan politiknya, ini tambah kurang ajar, agama dipakai sebagai bungkus untuk kepentingan-kepentingan politik.
Ga sekali ini haikal hasan baca qurannya ngawur, menafsirkan ayat juga kemarin serampangan, bego aja yg masi anggep dia ustadz.
Salah satu yg bkin suriah hancur, mereka membunuh karakter ulama2 beneran dg ftnah2, smntara mereka mngorbitkan ust abal2.https://t.co/W4bz1HHIgM— Afif Fuad Saidi (@AfifFuadS) January 15, 2020
Saya sampai Mbelenger, Bosan dengan berbagai kekeliuran mendasar pada ceramah agama yang disampaikan Haikal Hassan, entah di mana dia belajar agama dan kepada siapa, baca Al-quran salah-salah, menafsirkan ayat juga konyol, lha masih saja diulangi. Dan, lebih aneh lagi, masih saja banyak mengundangnya sebagai Ustadz. Padahal, sudah ketahuan salah, viral, minta maaf, tapi diulangi terus. Salah sekali mungkin keseleo lidah, lha ini terus-terusan, ya memang ilmu agamanya layak kita pertanyakan.
Jika kembali pada terminologi ustadz di atas, kita tentunya harus berani berkata, dia tidak termasuk Ustadz. Tentu saja yang kasihan umat Islam, bisa rusak jika begini terus.
Sekali lagi, ini efek dari Industrialisasi Agama. Sekarang kita memasuki era digital, di mana lahan dakwah terdapat di media sosial. Ketika seseorang itu ‘menang’ di media sosial ya laku. Geliat untuk terus menampilkan Ustadz-ustadz ‘beneran’ di kalangan Islam moderat, NU dan Muhammadiyah memang sudah dilakukan, namun masih kalah jauh dari produsen ‘Ustadz abal-abal’ tersebut.
Namun paling tidak, tulisan semacam ini mampu menggugah hati kita untuk lebih berhati-hati mendatangi dan menonton pengajian di tengah banyaknya Ustadz yang enggak jelas keilmuwannya tersebut.