Fikih dalam Islam menempati posisi kunci sebagai produk pemikiran ulama yang mencoba melakukan intrepretasi atas normativitas naskah keagamaan dikaitkan dengan kebutuhan-kebutuhan zamannya. Namun, semakin ke sini, manifestasi fikih dirasa tidak lagi aspiratif.
Kerangka teoritik klasik ilmu ushul fikih dirasa kurang relevan lagi untuk menjawab problem kontemporer. Hal ini memunculkan kesulitan dalam menjawab tantangan kontemporer, ditambah lagi, akibat dari ditutupnya kran pintu ijtihad.
Adalah K.H. Ali Yafie, tokoh Nahdlatul Ulama yang menjadi jawaban dalam konteks mencari solusi untuk membongkar kejumudan pemikiran fikih itu. Kyai kelahiran Donggala, Sulawesi Selatan, itu menggagas fikih yang lebih bernuansa sosial. Ia membuktikan bahwa pintu ijtihad keagamaan masih terbuka lebar dan menunjukkan bahwa fiqih bukanlah sesuatu yang kaku dan formalistik.
Kiai Ali Yafie termasuk intelektual Islam yang menegaskan batas kewenangan akal dalam melakukan ijtihad. Menurutnya, dalam buku Menggagas Fiqih Sosial, sumber pokok hukum Islam adalah wahyu, baik yang tertulis (al-Qur’an) maupun yang tidak tertulis (sunnah Rasulullah). Materi-materi hukum yang terdapat dalam kedua sumber tersebut secara kuantitatif terbatas jumlahnya. Karena itu dalam penerapannya, diperlukan upaya penalaran.
Daya nalar tingkat tinggi itu tentu melewati jalur akademik yang panjang. Ia merupakan salah satu tokoh NU yang tercatat dalam Ensiklopedia Khittah NU Jilid 4: NU dan Tokoh-Tokoh Penting karya Nur Khalik Ridwan.
Ensiklopedi tersebut menceritakan bahwa Kiai Ali Yafie mengaji kepada sejumlah tokoh di beberapa pesantren, yaitu Pesantren Ainur Rofiq, Sidenreng, Rappang, Pesantren Syekh Ibrahim Sidenreng, Rappang, Syekh Mahmud Abdul Jawad Bone, Syekh Ahmad Bone, Syekh Abdurrahman Firdaus Pinrang, dan Darud Da’wah wal Irsyad, Singkang, Wajo.
Kemampuan intelektual itu hanyalah satu dari beragama dimensi yang membentuk sosok K.H Ali Yafie. Ia juga seorang kyai terpandang di masyarakatnya. Sosok kelahiran 1 September 1926 itu berasal dari elit sosial, ekonomi dan politik, berangkat dari nasab keluarga kyai, memiliki pendidikan Pesantren yang mapan, cucu dari Syeikh Abdul Hafidz Bugis, satu dari tiga ulama terkemuka Indonesia yang menjadi guru besar pertama di Masjidil Haram, Mekah.
Ali Yafie merupakan sosok ulama serta intelektual kharismatik yang memiliki kemampuan untuk melakukan tajdid dalam rangka mengubah pola pikir, pola pemahaman, dan pola interpretasi naskah-naskah hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan menumbuhkan kembali semangat ijtihad.
Meski demikian, ia tidak hanya dikenal dalam wilayah pemikiran Islam. Selain sebagai ulama dan akademisi, dimensi lain yang menonjol dalam perjalanan hidup K.H Ali Yafie adalah jiwa politiknya. Ketua Umum MUI periode 1998-2000 itu, menurut sumber NU Online, terpilih sebagai perwakilan rakyat di DPRD mewakili Fraksi NU pada Pemilu tahun 1955.
Ia juga pernah menjadi Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Pare-pare. Keaktifannya di tingkat provinsi membuat sosoknya kemudian diangkat menjadi Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Sulawesi Selatan.
Ali Yafie juga terpilih sebagai anggota DPR RI melalui Fraksi NU pada Pemilu tahun 1971. Saat itu, NU masih menjadi partai sebelum kemudian fusi pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 1973.
Di partai berlambang Ka’bah itu pula, Kiai Ali Yafie pernah duduk sebagai salah satu Rais Majelis Syura. Setelah menjadi anggota DPR, Kiai Ali Yafie pun mulai aktif di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sebagai salah satu Rais Syuriyah sejak tahun 1971.
Sebagai figur kyai, K.H Ali Yafie dikenal sebagai sosok yang merangkul semua kalangan Islam. Ali Yafie adalah seorang ulama Nahdlatul Ulama progresif yang rajin menulis buku. Ia selalu mengedepankan Ukhuwah Islamiyah tanpa membeda-bedakan umat Islam dari berbagai golongan. Tak heran, ia adalah ulama yang diterima baik di kalangan Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama.
Banyak tokoh-tokoh Indonesia yang mempunyai kesan tersendiri terhadap sosok K.H Ali Yafie. Jusuf Kalla, misalnya, mengingatnya sebagai teman dari mendiang ayahnya (Hadji Kalla). Mereka bersahabat dan pernah bersama-sama membesarkan NU di Sulawesi Selatan.
Wapres RI ke 10 dan 12 itu mengatakan bahwa Ali Yafie merupakan seorang ahli tafsir yang rendah hati. Ia mempunyai suara yang pelan dan halus saat berbicara. Sebagai seorang ulama yang pernah memimpin MUI, ia adalah sosok teladan seorang ulama panutan.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Sirajuddin Syamsuddin atau Din Syamsuddin, mengenang sosok mantan Ketua Umum MUI periode 1990-2000 itu sebagai ulama yang fakih dan mempunyai wawasan pengetahuan keislaman yang luas. Ia menambahkan, Kyai Ali Yafie juga fasih menjelaskan realitas sosial-politik bangsa. Di samping itu, ia memiliki sikap teguh dalam prinsip, istiqomah dan amanah.
Ali Yafie mengembuskan nafas terakhirnya di Tangerang Selatan pada Sabtu (25/2/) pada usia 96 tahun. Berpulangnya sang ulama ke pangkuan Yang Maha Kuasa meninggalkan banyak warisan keilmuan Islam. Ia merupakan pendekar Indonesia dalam merubah kejumudan berpikir khususnya tentang konteks fikih Islam.
Ia memang tokoh Nahdlatul Ulama, namun warisan K.H Ali Yafie bergerak melampaui semua kalangan. Pemikiran dan wacana keislamannya menunggu untuk dikembangkan oleh sosok-sosok “Ali Yafie” yang baru, tentu dengan penalaran yang lebih segar.
Selamat jalan Kyai Ali Yafie. Lahul fatihah…