Andai saja Plato hidup di abad sekarang, saya berkepastian kalau ia akan marah betul dengan beredarnya poster hierarki kepengurusan organisasi intra kampus negeri bilangan Jakarta yang, katanya, cuma menurunkan opacity foto akhwat-nya. Lha gimana, itu tidak saja melecehkan kaum perempuan, tetapi juga menciderai kultur akademik yang mestinya memandang sejajar perempuan dengan laki-laki.
Lebih jauh, bagi Plato, baik perempuan maupun laki-laki itu punya akal yang sama. Dan, keduanya pun juga punya potensi kecerdasan yang setara jika mendapat fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang setara pula.
Oleh sebab itu setiap mendapati gambrengnya “anjuran poligami”, kemudian kasus perempuan yang jadi objek seksual, yang dipandang sebagai warga kelas dua, yang diyakini sebagai sumber fitnah, semuanya itu membuat saya naik pitam dan geleng-geleng kepala.
Tapi sebelum itu, izinkan saya menyingsingkan lengan baju terlebih dahulu. Baik, kembali ke soal gambar perempuan yang kena blur.
Terus terang, demi melihat gambar yang secara tidak sengaja menyapa di lini masa media sosial, saya tidak hanya geram, tetapi terlewat geram dan mungkin kehabisan kata-kata.
Asli deh, saya begitu terkejut terheran-heran pada terobosan mereka yang sungguh out of the box dan kok ya kepikiran. Lha gimana tidak, lebih dari 10 tahun keluar masuk organisasi baik intra maupun ekstra, saya gak pernah terbesit sama sekali di pikiran buat menurunkan opacity muka temen-temen sumber fitnah perempuan.
Sejauh ini, berita yang beredar hanya berkutat pada soal kesediaan perempuan yang, konon, berkenan diblur mukanya. Tapi, tidak pernah ada, atau minimal saya belum menemukan keterangan yang memberi informasi tentang apa alasan d/a iktikad dari perilaku ini.
Akibatnya, yang terjadi hanyalah asumsi yang berkembang tentang iktikad pengebluran itu. Taruhlah alasan pengebluran itu adalah untuk menjaga syahwat dari lawan jenis yang menjadi sumber fitnah. Kalau bener ya syukur, kalau salah ya mohon maaf.
Meski begitu, kalau alasan ini benar adanya, bukankah itu berarti kalau cowok-cowok di sana, maaf, ngacengan?
Betapa tidak, masak demi melihat foto pengurus yang mafhumnya cuma ditempel di dinding kantor atau diunggah di feed Instagram saja libidonya berontak, bahkan sampai-sampai harus merasa perlu diblur biar libidonya gak kesentil. Sungguh seram sekali. Ironi sekali. Lemah sekali.
Saya jadi teringat satu kisah. Jadi, satu waktu di masa lalu terdapat sebuah desa yang kebetulan lokasinya berseberangan dengan lereng bukit yang masih penuh dengan hutan dan terkenal ada hewan buas seperti macan.
Lantas, di suatu pagi yang tenang tiba-tiba kondisi desa itu berubah menjadi kacau. Sebabnya, ada indukan macan yang masuk perkampungan dan membuat geger penduduk desa. Padahal, induk macan itu kalau dipikir-pikir ya cuma mencari anaknya yang tidak pulang semalam.
Tapi ya namanya manusia, selalu saja merasa paling benar dan sok terancam dengan sesuatu yang berbau asing/aseng. Ringkasnya, penduduk desa tetap ketakutan, karena prasangka bahwa siapa saja bisa jadi korban dari cakaran kejam indukan macan yang gelap mata.
Lalu, apakah yang akan terjadi?
Ada dua kemungkinan dan Anda bebas untuk memilih lanjutan ceritanya: a). Warga harus mengisolasi diri di rumah dan tidak perlu melakukan apa-apa karena ada macan di desa; b). Mengamankan macan dan lalu mencari anak yang ternyata tersesat di sebuah jurang.
Tapi bagi saya, memilih ikut mencari anak macan dan mengamankan indukan macan adalah yang paling realistis dan humanis. Mengapa?
Karena kalau hanya mengisolasi diri, roda ekonomi bisa mati. Lagi pula, mau sampai kapan mengisolasi diri? Tidak ada kepastian sampai kapan macan itu bertandang.
Atau dengan kata lain, kalau ada sesuatu yang berbahaya, ya situasi yang berbahayanya itu yang ditangani, bukan warganya yang diminta gak usah ngapa-ngapain.
Kasus serupa juga terjadi di Jogja yang lagi ramai soal fenomena klitih—sebuah laku kriminal dari sekelompok remaja yang bertarung gengsi tapi dengan melukai bahkan membunuh orang.
Nah, dalam hal ini, kurang bijak rasanya jika kita malah dihimbau agar tidak keluar lebih dari jam 9 malam. Mengapa? Ya karena klitih kadang gak melulu terjadi malam hari. Malahan, belum lama ini warga menangkap pelaku klitih yang hendak beraksi pada sore hari. (((Sore hari)))
Sama dengan tindak pelecehan seksual yang bahkan tidak perlu nunggu malam hari untuk beraksi. Siang hari bolong dan korban yang berpakaian tertutup pun bisa jadi korban. Ini ada, nyata, dan sudah ada buktinya.
Pendeknya, kalau ada sesuatu yang mengancam, ya ancaman itu yang harusnya ditundukkan, bukan malah yang diancam yang harus mengisolasi diri.
Sehingga dalam urusan nge-blur muka pengurus akhwat, kalau cowok-cowok di sana memang merasa syahwatnya terlampau agresif dan meledak-ledak karena lihat feed Instagram cewek, ya yang mestinya dikendalikan itu nafsu Anda, bukan malah si cewek yang ditutupi mukanya!!
Lebih jauh, dalam konsep Ghodldlul Bashor seperti yang dijelaskan Ibu Nur Rofiah, bashor di sini itu bermakna mata yang tidak fisik, tetapi mata hati atau mental. Sehingga kalau ingin menundukan pandagan, ya bukan berarti ngeblur mukanya cewek, tetapi ya mengontrol diri.
Semenunduk apapun kepala Anda, sekencang apa pun Anda menutup mata, kalau pikiran Anda masih berselancar soal tubuh perempuan sebagai objek seksualitas, ya itu akan amsyong, tidak berarti apa-apa.
Perempuan, dengan demikian, sebetulnya bukanlah sumber fitnah. Karena, buat saya, manusia baik laki-laki atau perempuan itu dihadirkan di bumi oleh Allah YME dalam kondisi terbaiknya. Tidak ada fitnah yang mengekor sang jabang bayi, apapun kelaminnya.
Lagian, kalau ditilik dari alasan-alasan yang dikembangkan dalam membincangkan sumber fitnah, sebenarnya akan bisa dikembalikan kepada mengontrol syahwat manusia. Kalau ada perempuan yang disebut membawa fitnah karena banyak laki-laki tergoda, bukan perempuannya yang dikurung, tapi syahwat dari si cowok-lah yang mestinya di-manage.
Begitupun sebaliknya. Pada kasus Nabi Yusuf yang konon membuat Zulaikha tergila-gila, misalnya, atau pada pemuda yang diamankan Khalifah Umar karena terlalu tampan dan membuat perempuan di sana mabuk kepayang, sebenarnya bukan berarti laki-lakinya yang kudu diamankan, tetapi juga bagaimana cara perempuan memandang.
Karena, apabila langkah yang diambil hanya berhenti pada urusan mengamankan si “pembuat fitnah” dan tidak memberikan edukasi serta pengendalian nafsu pada yang tergoda, ya sama saja dengan apa yang sedang ramai saat ini.
Akhir kalam, Allah YME tidak pernah tuh menetapkan bahwa kaum ini lebih baik dari kaum lain. Tidak ada ceritanya laki-laki pasti lebih utama dan unggul dari perempuan. Sebaliknya, yang dilihat dan menjadi standar adalah tingkat ketakwaannya.
Jadi, tidak patut suatu kaum merasa paling perperan pada keselamatan kaum yang lain, termasuk kaum laki-laki yang merasa paling perperan dalam keselamatan kaum perempuan. Ramashok.
Tambahan, manusia yang terbaik itu adalah yang mengetahui siapa dirinya. Maka, mari mengukur dan melihat lebih dalam pada diri kita. Kalau kita memang memiliki libido yang selalu bergejolak, ya kontrol saja hal itu, bukan malah menuntut lian untuk berperan seperti apa yang dimau. Mari menjaga diri masing-masing tanpa membatasi yang lain. Dan, mari mulai dari diri sendiri serta menyedikitkan menuntut orang lain mengikuti mau kita. Wallahu A’lam