Saat itu, Habib Umar Muthahar (Semarang) berangkat menuju Mayong, Jepara, untuk menyampaikan ceramah agama di suatu acara pengajian. Karena berangkat terlalu pagi, maka beliau menyempatkan diri untuk sowan/bersilaturrahim kepada Habib Ja’far Alkaff, seorang ulama dari Kudus, yang terkenal dengan sikapnya yang tidak biasa.
Biasanya, pagi seperti itu, Habib Ja’far masih istirahat. Namun hari itu berbeda. Ketika Habib Umar tiba, Habib Ja’far sudah menunggu dan menyambutnya dengan suka cita. Setelah basa basi sebentar, Habib Ja’far menawarkan agar Habib Umar menelan telor.
Habib Umar hanya sami’na wa atha’na (aku mendengar dan aku taat). Beliau lantas langsung pergi ke kandang ayam dan mengambil satu telor ayam yang masih belepotan darah dan kotoran.
“Sini-sini, bersihkan!” kata Habib Ja’far menyuruh Habib Umar untuk mencuci telor itu.
Setelah itu, Habib Ja’far meminta Habib Umar untuk menelan (isi) telor itu. Telor pun ditelan. Dan beliau pun mendoakan dan mempersilakan Habib Umar untuk melanjutkan perjalanan.
Sesampainya di lokasi pengajian, ada seorang mendekati Habib Umar untuk minta doa untuk keponakannya yang seorang syarifah (perempuan yang merupakan keturunan Nabi). Syarifah tersebut sebulan lagi akan melangsungkan akad nikah. Orang itu juga bercerita bahwa keponakannya itu akan dinikahi dengan seorang sayyid (sama seperti syarifah, namun sebutan ini khusus untuk lelaki), sebut saja Fulan.
“Saat ini, ia juga ikut ke sini, Bib!” kata orang tersebut.
Habib Umar pun ingin berkenalan. Ternyata ketika bertemu, Habib Umar sudah pernah mengenal Fulan. Beliau juga mengetahui bagaimana silsilah keluarganya, yang intinya bukan dari golongan sayyid.
Beliau mencoba mengklarifikasi langsung kepada Fulan tentang asal usul keluarganya. Fulan pun sempat berkilah membela diri. Hal itu membuat Habib Umar marah. Percakapan kali itu berlangsung ulet.
Sangking begitu seriusnya, beliau meminta panitia untuk mengundur jadwal tampil beliau, karena beliau ingin memberi pencerahan kepada Fulan. Setelah itu, Habib Umar naik panggung untuk menyampaikan tausiyah.
Selesai tausiyah, beliau langsung teringat dengan Habib Ja’far dan telor yang belepotan yang diberikannya itu. Perintah untuk membersihkan dan menelan telor itu ternyata memiliki isyarat yang begitu dalam.
Beliau menganggap, telor itu adalah cikap bakal lahirnya ayam; darah yang menempel padanya berkaitan dengan nasab; sedangkan kotoran adalah hal yang hendaknya dibersihkan.
Habib Umar pun memutuskan untuk tak langsung pulang ke rumah, namun akan sowan lagi kepada Habib Ja’far di Kudus. Sesampainya di kediaman beliau, Habib Ja’far berkata dengan nada enteng, “Bagaimana, dia sudah kamu “telan”?”.
“Nggak, Bib. Dia cuma tak bersihkan saja,” jawab Habib Umar penuh jenaka.
Kisah di atas menunjukkan karamah (keramat, kemuliaan) Habib Ja’far, yakni seakan mengetahui apa yang akan terjadi di waktu kemudian. Menurut Habib Luthfi bin Yahya, Pekalongan, hal-hal yang termasuk karamah itu memang tak bisa dipahami dengan akal saja. Untuk bisa memahami dan meyakininya maka harus dengan akal yang disertai iman.
Kemarin (1/1/2021), Habib Ja’far sebagaimana yang penulis kisahkan di atas telah kembali kepadaNya, meninggalkan kita semua untuk selamanya. Dikutip dari laman resmi NU, beliau menghembuskan nafas terakhir pada pukul 19.00 WIB. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Kepergian beliau membuat muslim—dan bahkan seluruh—Indonesia kehilangan. Semoga bangsa ini mendapatkan keberkahan dari Allah sebagaimana doa yang sering dipanjatkan beliau, “Rakyat Indonesia aman, Indonesia makmur, berkah, manfaat, tentrem, ayem, tenang, ekonomi gampang…”
Selamat jalan, Bib..!. Semoga engkau mendapat tempat yang mulia di sisiNya…!