Sebagai pendatang yang baru saja tinggal di Madinah, wajar jika Rasulullah menyaksikan banyak budaya dan adat baru yang sama sekali belum pernah beliau temui.
Oleh karenanya, banyak peristiwa sejarah yang menunjukkan proses adaptasi dan akulturasi budaya yang beliau lakukan demi mengakomodir budaya yang sudah ada tanpa menafikan perkembangan islam yang rahmatan lil ‘alamin. Termasuk di antaranya Idul Fitri dan Idul Adha.
Dikisahkan setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, penduduk kota tersebut mempunyai dua hari yang diistimewakan, yaitu Nairuz dan Mahrajan. Nairuz adalah perayaan hari pertama musim semi sekaligus menandai awal tahun baru dalam kalender syamsiyah (gregorian). Sedangkan Mahrajan dirayakan sebagai penanda musim gugur.
Pada kedua hari tersebut mereka berpesta pora dengan menari, bernyanyi, menyantap hidangan istimewa, dan bermabuk-mabukan. Karena ritual tersebut dianggap tidak sesuai dengan ajaran islam, maka Rasulullah menggantinya dengan Idul Fitri dan Idul Adha. Kisah ini terangkum dalam sebuah riwayat dari Anas bin Malik (95 H):
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
Dari Anas bin Malik, ia berkata, “ketika Rasulullah tiba di Madinah, para penduduk Madinah merayakan dua hari besar. Lalu Rasulullah bertanya “apa dua hari ini?” Penduduk Madinah menjawab “pada dua hari besar tersebut, kami bersenang-senang di masa Jahiliyah.” Kemudian Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Allah telah mengganti kedua hari tersebut dengan yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Abu Daud dan An-Nasai)
Al Mawardi dalam Al Hawy mengatakan bahwa shalat Idul Fitri pertama kali dilaksanakan pada tahun kedua Hijriyah, berbarengan dengan disyariatkannya membayar zakat. Kejadian tersebut bertepatan dengan kemenangan kaum muslimin dalam Perang Badar. Dalam perang itu, pasukan umat islam yang hanya berjumlah 313 orang berhasil memukul mundur tentara kafir Quraisy yang berjumlah 1000 orang.
Oleh karenanya, saat itu kaum muslimin merayakan dua kemenangan, kemenangan melawan kaum musyrikin dalam Perang Badar, dan kemenangan melawan hawa nafsu setelah sebulan berpuasa.
Adapun disebut Id, sebab pada momen itu kaum muslimin kembali pada fitrah dan murni. Sebagaimana dalam Bahasa Arab, “Id” berarti “kembali”. Di Indonesia, Id mengalami perluasan makna dengan diartikan sebagai kembali pulang ke tempat asal atau pulang kampung.
Hal ini sah-sah saja, selain tak berhubungan dengan akidah, pulang ke kampung halaman untuk berkumpul dengan keluarga dan sanak saudara setelah sekian lama tinggal di tanah rantau merupakan salah satu hikmah Idul Fitri dan Idul Adha.
Maka, hendaknya Idul Fitri dirayakan sebagai momen kemenangan dengan berbagi kebahagiaan, kebersamaan serta perujudan rasa syukur.
Wallahu A’lam.