Kampung Melayu di Pedalaman Australia: Islam dan Peran Orang-Orang Biasa

Kampung Melayu di Pedalaman Australia: Islam dan Peran Orang-Orang Biasa

Penyebaran Islam di Australia tidak bisa dilepaskan dari peran orang-orang biasa.

Kampung Melayu di Pedalaman Australia: Islam dan Peran Orang-Orang Biasa

Awal Oktober tahun lalu, saya melakukan perjalanan darat selama beberapa hari di Australia Barat. Pada hari pertama perjalanan, sebetulnya saya sudah absah sebagai musafir. Namun, saya tetap ingin menunaikan shalat Jumat berjamaah, demi mendapatkan pengalaman dari sebuah kampung Melayu di Australia Barat, Katanning namanya.

Katanning adalah sebuah kota kecil (town) yang berlaku seperti titik tengah antara Perth dan Albany di pesisir selatan. Setelah menembus tiga ratus kilometer yang dihiasi hujan nyaris sepanjang jalan, selepas tengah hari saya tiba di sana. Syukurlah, masih ada sedikit waktu sebelum jam satu, yang menurut keterangan di Internet adalah waktu mulainya shalat Jumat di masjid setempat.

Setelah mendapatkan parkiran mobil, kami berjalan kaki menyusuri jalan mengikuti panduan Google Maps. Kami mencari tengara. Sebuah tembok di pertigaan Carew Street dan Clive Street yang berlukiskan tiga hewan, yakni burung, kura-kura, dan sejenis tupai. Rupanya hanya satu menit saja dari parkiran. Mural itu adalah buah karya Brenton See, salah seorang seniman yang tergabung dalam proyek The Public Silo Trail untuk wilayah Katanning pada tahun 2017.

Menjelang pukul satu, saya pamit ke istri. Dia memutuskan menunggu di sebuah café di Clive Street, jalan utama yang membelah kota. Masjid yang saya tuju tak lebih dari sekilo dari situ. Dari jarak lima puluh meter bangunan masjid berwarna coklat kusam sudah nampak.

Begitu masuk ke pelataran, nampak belasan mobil sudah terparkir di sana. Terlihat dua menara – satu di sisi utara dan satunya di selatan – yang pada ujungnya terdapat kubah kecil berujung bulan sabit. Kubah utama warna perak mengkilat menyangga lafaz ‘Allah’.

Bakda menyucikan diri di tempat wudhu sisi kanan masjid, saya menuju bagian dalam masjid. Setelah melewati serambi (riwaq) dengan lima lengkung, saya membuka pintu untuk mendapati karpet merah tergelar di seluruh ruangan bertembok putih itu. Terlihat sebagian besar adalah lelaki lepas paruh baya dan sebagian lagi sudah renta, hanya segelintir saja bocah dan pemuda. Taksiran saya jumlah mereka semua tak lebih dari empat puluh, dan dari penampakan fisiknya dominan bangsa Melayu.

Khatib hari itu adalah imam masjid tersebut – Imam Alep Mydie. Sembari memegang tongkat, khatib menyampaikan khutbahnya selepas kumandang azan dari pria tua berjanggut putih bersuara parau. Saya berharap pesan yang disampaikan berbahasa Melayu logat Malaysia. Ternyata, logat dan bahasanya lebih dekat ke Bahasa Indonesia formal di televisi nasional.

Usai rangkaian salat dan zikir yang dikeraskan, sebagian jamaah berdiri dan membentuk lingkaran di sisi kiri ruangan. Muazin bersuara parau tadi memimpin kumpulan itu dengan rangkaian lafal yang tak akrab di telinga saya. Yang paling bisa saya tangkap adalah kata ‘Allah’ diucapkan berurutan dan berkali-kali.

Usai kegiatan itu, saya sempatkan menyapa beberapa orang dari kumpulan tersebut. Awalnya obrolan kami dalam Bahasa Inggris. Namun begitu tahu saya dari Indonesia, mereka lantas bertukar ke Bahasa Melayu. Dari salah satu mereka saya tahu bahwa amalan yang dilakukan kumpulan tadi adalah bagian dari Tarikat Mufarridiyah, sebuah tarikat yang sempat populer di sebagian wilayah Indonesia dan Malaysia pada 1960-1970-an. Tarikat ini selanjutnya difatwakan sesat oleh otoritas Malaysia pada 1980-an.

***

Bapak-bapak yang saya temui ini adalah sebagian dari migran Melayu generasi pertama dan kedua yang berpindah dari Kepulauan Cocos (Keeling) dan Pulau Christmas, yang letaknya lebih dekat ke Pulau Jawa ketimbang ke Benua Australia.

Kakek-nenek moyang mereka adalah buruh yang dipekerjakan (dan kemungkinan besar sebagiannya diperbudak) di perkebunan dan pertambangan di dua tempat tersebut. Konon, para buruh ini berasal dari Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaka dan juga kemungkinan dari wilayah lain. Sayangnya, catatan identitas mereka tidak lengkap (atau dihilangkan) dan bahkan sebagian dari mereka terpaksa menyandang nama baru yang lebih keminggris – yang nyata-nyata bukan nama aslinya.

Bagi generasi berikutnya, hal ini amat menyedihkan sebab mereka tidak akan pernah tahu dari mana asal-muasal mereka. Selain itu, penyematan label ‘Malay’ atau ‘Melayu’ pada mereka bisa menimbulkan kebingungan, sebab kata ‘Melayu’ sebagai nama tempat dan sebagai nama etnis bisa memiliki arti yang luas dan juga menyempit.

Antara tahun 1973 hingga 1979, sebagian dari penduduk kepulauan ini terpaksa dipindahkan oleh pemerintah Australia ke Katanning menyusul tidak adanya pekerjaan di Kepulauan Cocos dan Pulau Christmas. Katanning menjadi pilihan karena wilayah ini adalah salah satu pusat pertanian/peternakan penghasil daging terbesar di Australia Barat dan pada dasawarsa ini kebutuhan tenaga kerja penyembelihan domba halal sangat besar.

Kepindahan mereka membawa serta praktik agama. Hal ini diakomodasi oleh tempat kerja dan pemerintah setempat. Kerja di hari Jumat, misalnya, hanya sampai setengah hari agar migran Muslim ini bisa melaksanakan shalat Jumat.

Masjid Katanning diresmikan pada tahun 1981 oleh Perdana Menteri Malaysia Tunku Abdul Rahman. Sebelum ini, sembahyang berjamaah dilaksanakan di balai warga dan bahkan di winery alias kilang anggur. Gimana, ya! Namanya juga kepepet. Hehe.

Saat ini, sekitar sepuluh persen dari 4000-an penduduk Katanning adalah Muslim. Jauh melampaui rasio nasional yang tak sampai tiga persen. Dari yang saya baca dan dengar dari beberapa orang, peringatan Maulid Nabi dan hari raya berjalan dengan meriah. Bahkan, perayaan hari raya Idul Fitri biasanya dikunjungi oleh orang-orang dari luar wilayah tersebut. Takmir masjid mengundang dan membukakan pintu masjid bagi warga non-Muslim untuk hadir dan mengenal kisah dari para migran ini beserta agamanya, serta tentu saja menikmati hidangan khas Melayu seperti rendang dan martabak.

***

Selesai mengobrol dengan beberapa jamaah shalat jumat, saya kembali menjemput istri. Dia masih di The Daily Grind Café, tempat dia makan martabak untuk makan siangnya. Begitu tiba di sana, saya menyantap potongan martabak yang dia sisakan. Rasanya tentu berbeda sekali dengan martabak asin yang biasa ditemui di Jawa. Lebih dekat ke martabak Malaysia.

Rupanya, café tersebut milik Imam Alep Mydie. Saya dan istri sempat bercakap-cakap sejenak dengannya. Dia sangat senang mendengar kami datang jauh-jauh dari Perth ke Katanning dan tahu kami orang Indonesia. Di sela obrolan dia menyebutkan bahwa ‘bibi’, seseorang yang bekerja di cafénya, berasal dari Sukabumi.

Imam Alep Mydie dan juga para jamaah di Masjid Katanning ini mengingatkan bahwa masjid dan Islam di tanah baru (dan asing) kerap kali dihidupkan dan dihidupi oleh orang-orang biasa. Yakni, orang-orang bersahaja yang mencari penghidupan baru dan kemungkinan tanpa ada misi khusus untuk menyebarkan agama.

Sebagaimana diketahui, beberapa alur penyebaran Islam adalah lewat perdagangan, perbudakan, dan di dalam itu ada migrasi sukarela dan migrasi paksa. Dan, seperti halnya pembawa Islam ke nusantara, pembawa Islam ke Australia adalah para buruh dan pedagang. Dalam kasus Katanning ini sebagaimana disebutkan di atas, mereka yang membawa dan membangun Islam di daerah situ adalah para buruh penyembelihan domba.

Hal serupa juga terjadi di bagian lain Australia. Para cameleer – pengendara unta yang dipekerjakan untuk membuka benua Australia antara pertengahan abad 19 hingga awal abad 20 – adalah yang bertanggung jawab atas berdirinya masjid di Broken Hill di New South Wales, masjid tertua di Adelaide (dulunya dikenal sebagai Afhan Chapel) di South Australia, dan juga masjid tertua di Perth, Western Australia.

Berkat mereka inilah para muslim yang mendatangi Australia di masa-masa berikutnya dapat menjalankan praktik keislaman dengan lebih mudah, ketimbang mereka yang butuh waktu bertahun-tahun untuk membangun tempat ibadah yang layak. (AN)