Ada kaidah dalam fikih soal menentukan haram dan halal. Pertama, pada dasarnya semua hal di luar ibadah itu halal sampai ada petunjuk (dalil) yang mengharamkan. Kedua, semua ibadah pada dasarnya diharamkan kecuali ada petunjuk yang memperbolehkan.
Rupanya, kaidah tersebut menjadi landasan mengapa sebagian ulama mempersoalkan sertifikasi halal di Indonesia. Sebab masyarakat di Indonesia sebagian besar adalah muslim yang memahami bahan-bahan yang diperbolehkan untuk dikonsumsi oleh konsumennya. Lagi pula, apabila gagasan sertifikasi halal ini dimaksudkan untuk memberi keamanan yang lebih, apakah panitia sertifikasi selalu mengecek ‘keamanan’ dari satu produk?
Secara fikih sebenarnya cap halal ini membebankan tanggung jawab kepada pihak yang mengeluarkan stempel. Misalnya, apabila satu produk mendapat sertifikat halal, lalu produk tersebut ternyata dicampur dengan bahan yang haram, maka sebagai konsumen kita tidak memiliki dosa apapun.
Beberapa guru ngaji saya pernah mengkritik gagasan ini. Alasannya sederhana. Jika produk yang aman adalah produk yang dilabeli sertifikat, berarti produk yang tidak bersertifikat otomatis menjadi produk yang tidak aman? Bagaimana nasib pedagang molen, gorengan, es tuntung, dan produk-produk usaha mikro lain yang untuk membeli sesuap nasi saja sudah menggeh-menggeh?
“Harusnya itu adanya sertifikat haram agar konsumen muslim bisa menghindari mengonsumsi produk yang dimaksud,” ujar salah seorang guru ngaji. Pernyataan ini tentu masuk akal apalagi jika melihat kaidah halal haram yang saya sebutkan di awal tadi.
Sertifikasi halal masuk akal jika kita berada di wilayah yang mayoritas beragama non-Islam. Misalnya di China. Gagasan sertifikasi halal mulai dari makanan hingga tempat wisata menjadi hal yang sangat dibutuhkan oleh konsumen muslim di sana.
Satu waktu saya pernah transit di bandara Baiyu Guangzhou selama beberapa jam. Pada saat itu saya dan rombongan yang sebagian besar beragama Islam sangat berhati-hati untuk mencari resto. Apalagi masakan ‘khas’ China yang ada di Indonesia identik dengan babi dan bahan-bahan yang berasal darinya. Menemukan satu resto bercap halal benar-benar membuat kami lega saat itu.
Namun di Indonesia produk halal nampaknya sudah menjadi fetis. Tidak hanya makanan, produk halal merambah ke berbagai produk pakaian, perabot rumah tangga seperti alat masak dan kulkas. Apakah memang terbukti bahwa di antara kulkas yang beredar sebagian besar berasal dari bahan yang haram?
Tak mengherankan jika sebagian orang mencurigai ada faktor bisnis di balik stempel yang bernilai jutaan tersebut.
Sertifikasi Ulama
Fenomena penceramah yang menebar kebencian tentu saja menjadi satu persoalan serius di Indonesia. Masalahnya, kebencian itu disebar melalui forum-forum keagamaan. Sudah banyak contoh kasusnya. Misalnya adalah beberapa waktu lalu pernah viral video mengenai salah seorang penceramah yang mengaku-ngaku anak seorang Kardinal. Atau seorang ustadz kenamaan yang membaca Al-Qurannya meleset dari kaidah tajwid.
Penceramah seperti ini memang meresahkan. Lebih meresahkan lagi bahwa sebagian dari kita tidak berkutik menyikapi ustadz gadungan. Sekali orang itu mengaku ustadz, maka orang langsung ber-husnuzon bahwa apa yang disampaikan adalah kebaikan belaka.Makanya ustadz sebagai profesi begitu menjamur dalam beberapa waktu belakangan. Orang yang embuh dari mana belajar agamanya tiba-tiba bisa masuk gelanggang perustadzan.
Parahnya ustadz disamakan dengan ulama. Lebih parahnya, banyak ustadz seleb yang ikut-ikutan menamai dirinya ulama. Untuk itu sebagian orang menganggap perlunya ada sertifikasi agar para penceramah ini tidak bertindak sekenanya.
Saya yang berasal dari pesantren termasuk orang yang kaget bukan kepalang ketika pertama kali tinggal di kota besar. Jika di pesantren ada banyak orang yang enggan disebut ustadz karena merasa belum pantas, di kota-kota besar gelar ustadz ini menjadi komoditas.
Pernah beberapa kali saya gatel melihat percakapan di media sosial.
“Ustadz itu belajarnya dari pesantren mana?”
“Emang belajar agama harus di pesantren?”
Saya jawab, ya! Tidak harus mondok. Belajar di pesantren bisa dengan jadi santri kalong ataupun menjadikan kiai sebagai guru spiritualnya. Jika saja para penceramah ini berasal dari pesantren ‘sungguhan’, setajam apapun perbedaan dalam menyikapi satu hukum, selalu bisa dijembatani dengan bahtsul masail.
Inilah sertifikat sebenarnya. Adanya sanad atau ketersambungan ilmu antara seorang ustadz dengan guru, gurunya guru, gurunya gurunya guru, hingga pengarang kitab menjadi hal yang mutlak dalam tradisi keilmuan Islam.
Bagaimana dengan sertifikasi ulama yang digagas oleh Kementerian Agama? Saya cenderung lebih setuju dengan istilah sertifikat penceramah. Lha wong ulama ini semacam pengakuan bahwa seseorang itu sangat pandai (alim). Toh, ulama itu tidak melulu soal ilmu agama. Ibnu Sina, misalnya, adalah seorang ulama kedokteran. Aljabar adalah ulama matematika. Ibnu Rusyd adalah ulama filsafat. Jangan disederhanakan ulama ini orang-orang yang hanya ngomong soal agama.
Sementara penceramah adalah profesi. Tinggal kita menganggapnya sebagai profesi formal seperti guru, dokter, polisi, dan sejenisnya, atau kita masukkan dalam sektor informal seperti pedagang, nelayan, dan petani. Mudah, bukan?
Jadi, tolong ya, bedakan antara ulama, ustadz, dan penceramah. Kendati sama-sama membawa semangat dakwah, tapi ketiganya punya perbedaan yang sangat prinsipil. Lain waktu saja kita diskusi tentang itu. Wallahua’lam.