Dalam kajian fungsi asbabul wurud hadis ada salah satu istilah yang disebut dengan taqyīd al-muthlāq, yaitu membatasi kata yang masih terlalu umum. Salah satu contohnya adalah hadis “man sanna sunnatan hasanatan”, tentang balasan bagi orang yang berbuat baik kemudian banyak orang yang menirunya. Orang yang berbuat baik tersebut akan mendapatkan pahala orang-orang yang telah meniru perbuatannya tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang-orang tersebut.
من سن سنة حسنة عمل بها بعده كان له مثل أجر من عمل بها من غير ان ينقص من أجره شيء ومن سن سنة سيئة كان عليه مثل وزر من عمل بها من غير ان ينقص من أوزارهم شيء
Artinya, “Siapapun orang yang mencontohkan suatu sunnah (perbuatan) yang baik yang diamalkan oleh orang lain setelahnya maka ia mendapat pahala sebanyak pahala orang lain yang telah melakukan perbuatan baik tersebut tanpa mengurangi pahala orang-orang yang telah melakukannya. Siapun orang yang mencontohkan suatu perbuatan yang jelek maka maka ia mendapat dosa sebanyak dosa orang lain yang telah melakukan perbuatan jelek tersebut tanpa mengurangi dosa orang-orang yang telah melakukannya. (H.R al-Darimi)
Dalam hadis di atas, kata sunnah hasanah terlihat masih umum, ditandai dengan tanda nakirah, yaitu tanwīn (ـً). Ini tentu menimbulkan pertanyaan, perbuatan baik seperti apa?
Yang dimaksud dalam hadis “man sanna sunnatan hasatan” ini bukanlah menciptakan sunnah atau membuat-buat sunnah, melainkan bagi orang yang mencontohkan atau memulai perbuatan yang baik dan buruk. (Lihat penjelasan Imam an-Nawawi dalam Syarh Muslim)
Menurut al-Suyūṭī, yang dimaksud sunnah hasanah dalam hal ini adalah perbuatan baik yang sesuai dengan nilai-nilai dalam naṣ agama. Al-Suyūṭī kemudian menyebutkan redaksi hadis yang lebih lengkap, bahwa suatu hari Rasul Saw berkhutbah dan berpesan untuk bertakwa, kemudian para sahabat datang membawa beberapa barang untuk disedekahkan, mulai baju, uang, perhiasan, makanan pokok, hingga ada seseorang Anshor yang datang dengan bungkusan yang sangat berat dan membuatnya tak bisa mengangkatnya, hingga wajah Rasul Saw terlihat sumringah. Kemudian Rasul bersabda hadis di atas.
Dari redaksi hadis yang disebutkan secara lengkap di atas, al-Suyūṭi berkesimpulan bahwa yang dimaksud sunnah ḥasanah atau perbuatan baik dalam hadis di atas, adalah perbuatan baik yang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Quran maupun hadis.
Sehingga yang dimaksud hadis di atas adalah bukan menciptakan sunnah baik atau buruk, melainkan menciptakan atau memulai perbuatan baik yang sesuai dengan nilai-nilai agama. Sehingga batasannya adalah sesuai koridor agama atau tidak.
Misalnya, bagi para pencuri, perbuatan yang baik menurut dia adalah mencuri, tetapi mencuri bertentangan dengan agama, maka bukan termasuk perbuatan baik menurut hadis di atas. Atau dalam kasus yang lain, seorang politisi senior mengajarkan juniornya untuk me-markup anggaran untuk disetorkan pada partai. Mungkin bagi partai itu perbuatan baik, tetapi sangat bertentangan dengan ajaran agama.
Lalu bagaimana dengan perbuatan buruk, apakah orang yang mencontohkan perbuatan buruk mendapatkan dosa? Lalu bagaimana dengan ayat yang menyebut bahwa seseorang tidak bisa diberi dosa atas perbuatan buruk yang dilakukan orang lain?
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰى
Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. (Fatir: 18)
Menurut as-Sindi dalam Hasiyah al-Sindi ala Sahih al-Bukhari, yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kita tidak akan menanggung dosa yang dilakukan orang lain, tetapi jika dosa yang dilakukan orang itu karena meniru atau mencontoh dosa yang telah kita perbuat, maka ia akan tetap menanggung dosa tersebut. (AN)
Wallahu a’lam.
Sumber bacaan:
Al-Suyuthi, al-Lumma’ fi Asbāb Wurūd al-Hadīts.
Abdullāh Abū Muḥammad al-Dārimī, Sunan al-Dārimī, (Beirut: Dār al-Kutub, 1407 H), j. 1, h. 60.
al-Bazzār, Musnad al-Bazzār, (Madinah: Maktabah Ulūm wa al-Hukm, 2009), j. 10, h. 145.