Bill Kovach dan Tom Rosentsiel dalam karya monumental berjudul “The Elements of Journalism ” menawarkan 9 elemen jurnalisme yang harus dipegang teguh oleh para jurnalis. Belakangan, sembilan elemen ini dipakai untuk menilai kredibilitas sebuah karya jurnalistik. Kovach dan Rosentsiel butuh waktu tiga tahun untuk melakukan riset mendalam.
Sembilan elemen jurnalisme itu adalah :
1. Jurnalisme harus didedikasikan untuk mengejar kebenaran. Kovach dan Rosentsiel menggunakan istilah “mengejar” kebenaran karena kebenaran itu dibangun setiap detik, setiap hari, lapis demi lapis. Berita hari pertama boleh jadi tidak akurat dan itu harus dikoreksi pada hari kedua dan hari-hari berikutnya.
2. Komitmen jurnalis adalah kepada masyarakat dan kepentingan publik. Seorang jurnalis mempunyai tanggung jawab untuk menyajikan berita demi kepentingan orang banyak bukan kepentingan korporasi atau kepentingan politik tertentu.
3. Jurnalisme itu disiplin verifikasi, yakni tidak lelah untuk melakukan cross-check informasi, melihat informasi dari berbagai sumber dan sudut.
4. Independen terhadap sumber berita, tidak memilih sumber berita berdasar kesamaan ideologi atau gagasan. Sumber berita dipilih karena memiliki otoritas.
5. Menjadi pemantau kekuasaan. Jurnalisme hadir untuk menjadi pilar keempat demokrasi, yakni sebagai Watch dog terhadap kekuasaan.
6. Menyediakan forum bagi masyarakat, terutama untuk mengklarifikasi sebuah berita.
7. Membuat hal penting menjadi menarik dan relevan.
8. Berita harus proporsional dan komprehensif.
9. Menggunakan hati nurani.
Kesembilan elemen jurnalisme yang dibuat oleh Kovach dari Rosentsiel di atas, jika diikuti dengan sungguh-sungguh niscaya akan menghasilkan sebuah karya jurnalistik bermutu tinggi. Berita yang tidak hanya informatif tetapi juga mempunyai nilai kebenaran dan didedikasikan untuk merawat etika publik.
Namun, jika kita tengok realitas berita yang ada di Indonesia belakangan, sembilan elemen jurnalisme di atas dicampakkan begitu rupa, terutama oleh media-media online.
Berita yang disajikan bukan untuk mengejar kebenaran, tetapi untuk menyebarkan fitnah dan memperkeruh suasana.
Berita disajikan bukan untuk kepentingan publik tetapi hanya untuk rating dan kepentingan kelompok tertentu. Judul berita dibuat provokatif dan kontroversial untuk mencipta polemik, yang sekaligus mengaburkan fakta.
Tentu saja, cara kerja media online yang abai pada sembilan elemen jurnalisme itu sangat merusak bangunan sosial masyarakat. Mencipta banyak kecurigaan yang berujung pada konflik horizontal. Media menjadi pemicu konflik.
Lebih jauh, praktik jurnalisme fitnah ini selaras dengan apa yang dilakukan oleh Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamilah. Di Mekkah, sepasang suami-istri ini selalu sibuk menyebar berita bohong dan fitnah tentang Muhammad. Mencipta banyak polemik dan konflik di masyarakat. Berita-berita yang mereka sebarkan seperti api yang menyala-nyala, membakar emosi dan kemarahan.
Al-Qur’an menarasikan perilaku mereka dalam surat Al-Lahab.
Jurnalisme Al-Lahab merupakan musuh utama demokrasi, musuh utama pancasila. Ia hadir bukan untuk meneguhkan persatuan tetapi untuk mencipta permusuhan dan perpecahan. Jurnalisme Al-Lahab merupakan anak kandung dari kolonialisme.
Celakanya, jurnalisme Al-Lahab ini justru banyak dipraktikkan oleh media-media dengan label Islam.Dalam beberapa kasus, saya sendiri juga pernah menjadi korban dari praktik jurnalisme Al-Lahab ini.
Astagfirullah hal ‘adzhim