Mumpung lagi ribut-ribut soal komunis, saya jadi ingin menulis sebuah kisah nyata yang masih anget-anget gurih. Alkisah, di sebuah tepi waduk bernama Kedungombo, terdapat sebuah dusun bernama Kedungpring. Dusun ini dihuni oleh sekitar seratus keluarga yang keseluruhannya merupakan korban dampak pembangunan waduk terbesar di Asia Tenggara itu.
Saat pertama kali menginjakkan kaki di sana, yang pertama timbul di benak saya adalah: bagaimana kehidupan sehari-hari mereka? Dusun ini seperti sebuah dusun yang terisolasi. Berada di tengah-tengah pulau Jawa, namun kehidupan warganya jauh dari kata sejahtera. Untuk sampai ke dusun ini harus melewati jalan terjal berbatu. Kunjungan pertama saya ke sana terekam dalam tulisan ini: Ketika Pastor Bergotongroyong Membangun Masjid.
Sebagai pengingat, warga Kedungpring dulunya didampingi oleh banyak tokoh kemanusiaan seperti KH Abdurrahman Wahid, Romo Mangunwijaya, KH Mahfud Ridwan dll. Para tokoh melakukan advokasi untuk menuntut pemenuhan hak-hak warga dan menuntut agar pihak-pihak yang terlibat dalam pelanggaran HAM berat dihukum sesuai aturan yang berlaku. Sampai saat ini warga masih berjuang untuk mendapat haknya.
Kunjungan kedua saya terjadi pada bulan September ini. Di sinilah puzzle kisah tentang Kedungpring dan Kedungombo yang belum saya dengar di kunjungan pertama, terjawab. Salah satu yang menjadi keprihatinan saya adalah terkait tuduhan yang dialamatkan kepada mereka semasa perampasan tanah dilakukan. Para warga yang enggan menyerahkan lahan dituduh komunis.
Semasa Orde Baru, tuduhan komunis/PKI adalah tuduhan yang menakutkan. Jangankan dituduh PKI, menjadi anak atau cucu seorang komunis saja membuat seseorang kehilangan banyak haknya. Ironisnya, tuduhan itu dilakukan untuk membungkam warga yang diwajibkan menyerahkan tanahnya dengan biaya ganti rugi yang sangat sedikit. Warga bercerita bahwa sesuai aturan biaya ganti saat itu seharusnya Rp3000,- akan tetapi yang sampai di warga hanya Rp250,-.
Benarkah Mereka Komunis?
Kedungombo mulai ditenggelamkan pada tahun 1989, dari rencana awal tahun 1991. Saat itu banyak warga yang masih bertahan di wilayahnya dan mendapati rumahnya tenggelam dari hari ke hari. Untuk menyelamatkan bagian rumah yang masih bisa digunakan, warga harus menyelam untuk sekedar mengambil atap dan kayu yang masih layak.
Kini, Kedungombo terhampar layaknya tanjung yang indah dengan pemandangan hijau yang memanjakan mata. Tetapi tempat yang indah ini buah dari penderitaan 1661 KK yang terusir dari kampung halamannya. Tepat di pinggir waduk terdapat sebuah masjid bernama Al-Hidayah yang menjadi masjid pertama di dusun Kedungpring. Sebelumnya, semasa Gus Dur dkk mendampingi warga, mereka memiliki langgar kecil untuk tempat beribadah.
Warga mengakui, sebelum kedatangan Gus Dur dan tokoh lainnya, warga tidak begitu mengenal agama. Apapun agama yang masuk di kampung tersebut akan menjadi agama mayoritas di sana. Namun itu bukan karena mereka komunis, akan tetapi karena belum ada orang yang mengajari mereka. Tidak hanya agama, partai politik pun diperlakukan serupa. Apapun partainya selama berbuat baik kepada warga, ya diterima.
Gus Dur pun mengenalkan Islam pada warga. Islam yang mengakomodir, bukan Islam yang suka bilang kafir. Islam yang bisa ramah pada adat, bukan Islam yang suka mengatakan bid’ah dan khurafat. Para pendeta dan pastor yang turut mendampingi warga pun turut membantu pembuatan tempat ibadah dan mendatangkan guru ngaji tanpa mementingkan tugas misi agama masing-masing.
“Alhamdulillah, mas, sekarang beberapa anak kami sudah pernah nyantri. Jadi ada yang azan di setiap waktu salat tiba,” ujar salah seorang warga. “Tapi sekarang kebetulan yang khutbah sedang tidak ada di sini. Masnya yang khutbah, ya?” sambungnya meminta. Kebetulan waktu itu hari Jumat. Walhasil, salah seorang rekan saya menjadi mu’azin, dan satunya lagi berperan sebagai khatib dan imam. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana salat Jumat itu biasanya dilaksanakan karena jemaah yang terdiri dari 30-an orang, hampir separuhnya adalah perempuan.
Di perjalanan pulang saya berbincang dengan rombongan mengenai sahnya salat Jumat yang baru kami laksanakan. “Menurut Syafi’i, minimal jemaah adalah 40 warga setempat yang baligh,” ujar seseorang. “Ya, di mazhab yang lain ada yang membolehkan tiga orang,” kata yang lain menanggapi. “Halah, di kondisi seperti ini, mazhab tidak berlaku. Sudah mau salat saja, alhamdulillah,” seloroh teman yang lain.
Kami pun menembus medan terjal dengan perasaan getir. “Kenapa komunis begitu mudah digunakan sebagai alat gebuk bagi mereka yang menuntut keadilan?”. Sesekali mobil kami meraung-raung karena batu yang dipijak roda mobil terlepas dari tanah. Tak jarang mobil mundur di tanjakan karena hal serupa. Ini tahun 2017, zaman di mana benua Antartika bisa dilihat dari sudut kamar. Bagaimana dengan tahun 1990, waktu di mana Gus Dur dan lainnya ke sana? Wallahua’lam.
Sarjoko Wahid, penulis aktif di komunitas Gusdurian dan pegiat di Islami Institue. Bisa disapa lewat akun twitter @sarjokooo.