Jum’ah Mubarakah, Begini Kisah Ashabul Kahfi dalam Al-Qur’an

Jum’ah Mubarakah, Begini Kisah Ashabul Kahfi dalam Al-Qur’an

Jum’ah Mubarakah, Begini Kisah Ashabul Kahfi dalam Al-Qur’an

Hari Jumu’ah/Jum’at adalah hari raya mingguan bagi umat Muslim. Nabi banyak berpesan agar kita dapat merayakan hari tersebut dengan berbagai amalan sunnah. Selain bersalawat dengan menyelenggarakan pembacaan Maulid, satu dari sekian banyak yang dilakukan Muslim di Indonesia adalah membaca surah al-Kahfi.

Prof. Quraish Shihab menjelaskan, setidaknya ada lima kisah yang diceritakan dalam surah ini, yakni kisah Ashābul Kahfi, kisah dua orang pemilik kebun dengan karakter yang bertolak belakang, Nabi Adam dan Iblis, Nabi Musa dan Nabi Khidhir, serta Dzulqarnain.

Surah yang menempati urutan ke-18 dalam mushaf ini turun bermula dari dari adanya pertanyaan dari kaum Musyrik yang disuruh oleh Yahudi Madinah. Tiga hal itu adalah tentang kisah pemuda yang bagi mereka cukup menakjubkan, lalu Dzulqarnain, dan tentang Ruh. Saat pertanyaan itu diajukan, Nabi tidak bisa merespon. Namun beliau berjanji akan menjawabnya esok hari, sembari menunggu wahyu datang.

Keesokan harinya, ternyata Jibril tak menemui Nabi. Sampai lusa pun Jibril tak kunjung memberi jawaban. Setelah menunggu hingga lima belas hari, barulah Nabi mendapatkan wahyu surah ini.

Saat menceritakan tentang Ashabul Kahfi, Allah mengawali dengan ayat:

اَمْ حَسِبْتَ اَنَّ اَصْحٰبَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيْمِ كَانُوْا مِنْ اٰيٰتِنَا عَجَبًا

Apakah engkau mengira bahwa sesungguhnya para penghuni gua dan (yang mempunyai) raqīm benar-benar merupakan keajaiban di antara tanda-tanda (kebesaran) Kami?

Menurut Prof. Quraish, melalui ayat ini Allah ingin menegaskan bahwa ada banyak hal lain yang sebenarnya lebih menakjubkan dari kisah pemuda penghuni gua ini. Termasuk berbagai peristiwa yang berada di sekeliling kita sendiri. Namun, manusia seringkali tak menghiraukannya atau bahkan mereduksi peristiwa yang hakikatnya lebih mengagumkan. Seperti halnya proses kerja tubuh manusia. Bagaimana Tuhan mengatur sedemikian rupa sehingga manusia dapat berfikir, tangannya mampu meraba, lisan dapat berbicara, dan seterusnya.

Sehari-hari kita juga sama sekali tidak heran dengan api yang dapat membakar apapun yang disentuhnya, karena sudah terlalu terbiasa melihatnya. Sebaliknya kita akan lebih kaget jika api tak lagi membakar. Energi pada api memang sepenuhnya kehendak Tuhan. Namun, baik ia membakar ataupun tidak, keduanya sama-sama merupakan kuasa Tuhan.

Inilah poin pertama yang ingin ditekankan Allah, bahwa kisah Ashabul Kahfi memang mengagumkan. Tapi jangan lupakan ada sekian banyak peristiwa yang jauh lebih mengagumkan lagi.

Ayat 10-11

اِذْ اَوَى الْفِتْيَةُ اِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوْا رَبَّنَآ اٰتِنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةً وَّهَيِّئْ لَنَا مِنْ اَمْرِنَا رَشَدًا ۞  فَضَرَبْنَا عَلٰٓى اٰذَانِهِمْ فِى الْكَهْفِ سِنِيْنَ عَدَدًاۙ

(Ingatlah) ketika pemuda-pemuda itu berlindung ke dalam gua lalu berdoa, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu dan mudahkanlah bagi kami petunjuk untuk segala urusan kami. Maka, Kami tutup telinga mereka di dalam gua itu selama bertahun-tahun.” (QS. Al-Kahf [18]: 10-11)

Diceritakan, Ashabul Kahfi merupakan sekelompok pemuda yang sebelumnya berusaha untuk mengajak masyarakat di sekitarnya beriman kepada Allah. Sial, usahanya nihil. Tak hanya ditolak, mereka juga menerima tekanan dan intimidasi penguasa saat itu. Hingga kemudian menyelamatkan diri dengan berlindung dalam gua. Saat di dalam gua inilah mereka berdoa agar Allah memberi jalan keluar atas apa yang dihadapinya. Permintaannya direspon Allah dengan redaksi fa dharabnā ‘alā ādzānihim. Allah menidurkan dan menutup telinganya sehingga tidak mendengar dan tak terganggu dengan suara yang dapat membangunkannya.

Apa yang dilakukan oleh mereka, dapat kita maknai sebagai sebuah pembebasan diri. Sekaligus menjadi pertanda bahwa manusia tak bisa menerima segala bentuk kesewenang-wenangan dan penindasan. Nabi-nabi terdahulu pun banyak yang melakukan hal serupa, mengasingkan diri untuk mempertahakankan hidup dan keyakinan yang dianutnya.

Para ahli banyak yang mencoba menguak misteri kisah Ashabul Kahfi. Siapa, kapan, dan di mana terjadinya peristiwa tersebut. Bahkan ada 40-an pendapat menyangkut hal ini. Dalam kisah-kisah al-Quran yang lain, Allah dengan sengaja memang tak menyebutkan secara jelas sosok yang terlibat dalam kejadian itu. Mengapa demikian?

Mengutip keterangan Syaikh Mutawallī al-Sya’rāwī, Prof. Quraish mengatakan bahwa al-Quran ingin pembacanya fokus pada subtansi agar dapat mengambil pelajaran di dalamnya. Saat al-Quran menyebut nama secara tegas dalam sebuah kisah, maka dapat dipastikan peristiwa tersebut tak akan terulang. Sebagaimana kisah Maryam. Sebaliknya, kisah-kisah yang tak menyebut tokohnya, besar kemungkinan dapat terulang dengan aktor yang tentu saja berbeda. Maka tak heran, kita bisa saksikan Qarun-Qarun modern dengan sifat tamaknya, atau Fir’aun-Fir’aun kontemporer dengan lagak sombongnya. Sebab, menurut Prof. Quraish, keduanya hanyalah gelar sosial dalam sejarah Mesir kuno, bukan nama personal yang sebenarnya.

Oleh karenanya, banyak Ulama memberi pesan. Tak usah terlalu terpaku dengan sibuk membahas siapa nama para pemuda tersebut atau bahkan nama anjingnya. Poin utama adalah pembaca mampu mengambil ibrah dan hikmah untuk menguatkan akidah dan keimanan. Tak hanya pada kisah Ashabul Kahfi, namun juga kisah lainnya. Baik dalam Surah al-Kahfi sendiri maupun surah yang lain. Sebagaimana  firman Allah saat menutup Surah Yusuf:

“Sungguh, pada kisah mereka benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal sehat (Ulil Albab). (Al-Qur’an) bukanlah cerita yang dibuat-buat, melainkan merupakan pembenar (kitab-kitab) yang sebelumnya, memerinci segala sesuatu, sebagai petunjuk, dan rahmat bagi kaum yang beriman.

Jangan lupa al-Kahfi nya ya Kakak…!!