Imam al-Ghazali mengatakan dalam Ihya ‘Ulum al-Din, bahwa Allah SWT begitu halusnya menurunkan nikmatnya, sampai-sampai Dia menciptakan nafsu syahwat, yang duniawi, fana, sebagai sarana meraih kebahagiaan di akhirat kelak, yaitu mempunyai keturunan yang saleh. Ini adalah salah satu manfaat dari pernikahan. Seseorang bisa saja tidak menyalurkan syahwatnya, namun jika keimanan tidak kuat maka dipastikan ia akan jatuh kepada kubangan perilaku yang dilarang oleh agama. Bahkan, sudah beriman pun seseorang akan tetap tidak bisa mengendalikan rasa was-was dan bayangan tentang menyalurkan hawa nafsu di dalam kepalanya.
Meskipun demikian, ada juga ulama yang kita kenal tidak menikah sampai akhir hayatnya. Di antara ulama yang tidak menikah adalah Ibn Jarir al-Thabari, pengarang tafsir Quran terbesar pertama berjudul Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Aayi al-Qur’an. Dan Imam al-Nawawi, ulama besar mazhab Syafi’i yang memiliki banyak sekali karya, di antara yang paling dikenal adalah Arba’in al-Nawawiyah.
Syaikh ‘Abd al-Fattah Abu Ghuddah, mengkompilasi beberapa profil ulama-ulama yang membujang sampai akhir hayatnya dalam buku berjudul al-‘Ulamaa al-‘Uzzaab alladziina Aatsaru al-‘Ilma ‘an al-Ziwaaj (Ulama yang Membujang: Mereka Yang Mendahulukan Ilmu dibandingkan Menikah). Seperti judulnya, ulama yang dikumpulkan di dalamnya merupakan ulama hebat di masanya. Namun kesibukan mereka dengan ilmu dan kesabaran mereka untuk tidak menikah, membuat mereka memilih untuk tidak berpasangan meskipun ia mengetahui hukum-hukumnya. Menurut Syaikh Abu Ghuddah, pilihan mereka adalah hasil bashirah (pandangan spiritual) dan mereka tidak berusaha mengajak orang lain agar sama dengan mereka. (al-‘Ulama al-‘Uzzab: 10).
Walhasil, menikah memang sangat baik bahkan bisa menjadi wajib jika tidak menikah ia akan membahayakan orang lain. Orang yang menunda dan mempersulit pernikahan ditegur Nabi Saw. sebagai orang yang menyebarkan fitnah (bencana, kerusakan sosial) bagi masyarakat. Namun, Nabi Saw. tidak mencela pilihan untuk tidak menikah selama itu tidak menimbulkan kemudharatan baru atau bahkan merusak orang lain. Karena itu, ada juga ulama yang tidak berkeluarga sampai akhir hayatnya. Bahkan, beberapa ulama menyarankan agar seorang penuntut ilmu sebaiknya mengubur keinginannya menikah di usia muda. Misalnya Ibn al-Jawzi yang mengatakan,
وَأختار للمبتديء في طلب العلم أن يدافع النكاح ما أمكن، فإن أحمد ين حنبل لم يتزوج حتّى تمت له أربعون سنة، وهذا لأجل جمع الهم – أي للعلم -.
“Saya memilih (pendapat) bagi pelajar tingkat awal untuk menghalau keinginannya untuk menikah sebisa mungkin. Sesungguhnya Imam Ahmad bin Hanbal tidak menikah sampai berusia empat puluh tahun. Itu semua demi mengumpulkan ilmu.”
Selengkapnya, klik di sini