Belajar dari Kisah Suksesi Kepemimpinan Umar bin Khattab: Jabatan Bukan untuk Diwariskan

Belajar dari Kisah Suksesi Kepemimpinan Umar bin Khattab: Jabatan Bukan untuk Diwariskan

Siapapun pemimpin yang akan merampungkan masa jabatannya, perlu baca kisah suksesi kepemimpinan Umar bin Khattab yang ini.

Belajar dari Kisah Suksesi Kepemimpinan Umar bin Khattab: Jabatan Bukan untuk Diwariskan
Ilustrasi: Screen Capture film Umar.

Umar bin Khattab yang tegap dan gagah kini harus menjadi pesakitan dan terbaring di tempat tidurnya. Luka tusukan Abu Lu’luah di tubuhnya sepertinya tak bisa disembuhkan. Sang Amirul Mukminin merasa akan segera menemui ajalnya.

Beberapa orang pun datang menjenguknya. Tiba-tiba ada celetukan dari salah satu penjenguk. “Wahai Amirul Mukminin, tunjuklah penggantimu!”

Umar lantas bertanya, “Siapa yang akan aku tunjuk?”

Orang yang tidak disebutkan namanya itu kemudian memberi saran kepada sang Amirul Mukminin untuk menunjuk anaknya sebagai putra mahkota, “Boleh aku kasih petunjuk? Abdullah bin Umar.”

Umar seketika menjawab dengan nada tinggi.

قَاتَلَكَ اللَّهُ، وَاللَّهِ مَا أَرَدْت اللَّهَ بِهَذَا، وَيْحَكَ

“Semoga Allah menghancurkanmu. Demi Allah, saya sama sekali tidak ingin hal itu. Celakalah kamu!”

Imam at-Thabari dalam Tarikh al-Rusul wal Muluk mengutip dengan gamblang kemarahan Umar karena saran seorang yang datang menjenguknya itu.

Dalam catatan Imam at-Thabari tersebut, Umar tidak ingin anak-anaknya menerima mahkota dan melanjutkan kekuasaannya. Menurut Umar, ia hanya ingin anak-anaknya cukup bertanggung jawab atas keluarganya.

لا أَرَبَ لَنَا فِي أُمُورِكُمْ، مَا حَمِدْتُهَا فَأَرْغَبُ فِيهَا لأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي، إِنْ كَانَ خَيْرًا فَقَدْ أَصَبْنَا منه، وان كان شرا فشرعنا آل عُمَرَ

“Aku tidak tertarik dengan hal itu. Selama aku memujinya, aku lebih suka ia (Abdullah bin Umar) bertanggung jawab pada keluarga Umar. Jika itu baik, maka kami yang akan menerimanya. Jika buruk, kami juga yang akan menanggungnya.”

Umar kemudian menambahkan bahwa ia telah berusaha sekuat tenaga untuk melarang keluarganya untuk menjadi penerus kemimpinannya. Memang pada saat itu, Abdullah bin Umar juga masih muda, umurnya 34 tahun. Ia lahir tahun 610 M sedangkan Umar wafat pada tahun 644 M.

Dalam khutbah Jumat terakhirnya yang dikutip as-Syalabi dalam Umar bin Khattab, Syakhsiyyatuhu wa Asruhu, Umar berkata, “Aku bermimpi melihat ayam jago mematukku dua kali. Beberapa orang memintaku memilih pengganti khalifah setelahku. Sesungguhnya Allah tidak akan menyianyiakan agama dan para pemimpinnya. Demi Allah, jika aku meninggal, maka akan meminta orang bermusyawarah untuk menentukan penggantiku, mereka adalah enam orang yang menyertai Rasul sebelum beliau wafat, dan Rasul SAW ridha kepada mereka.”

Wasiat Umar jelas, dia tidak meminta anaknya, yang juga merupakan sahabat muda terkemuka untuk menggantikan kedudukannya, tetapi menyerahkan enam orang yang telah ditunjuk untuk bermusyawarah dan memilih penggantinya. Enam orang tersebut adalah:

  1. Ali bin Abi Thalib
  2. Ustman bin Affan
  3. Abdurrahman bin Auf
  4. Sa’ad bin Abi Waqash
  5. Zubair bin Awam
  6. Thalhah bin Ubaidillah

Jika mengacu pada pernyataan Umar terkait orang-orang yang menyertai nabi sebelum wafat, seharusnya ada nama Said bin Zaid bin Nufail, yang juga termasuk sebagai mubassyirin bil jannah. Namun, namanya tak masuk dalam tim Syura. Dalam al-Bidayah wan Nihayah disebutkan, hal itu karena Said berasal dari klan Bani Adi, yang merupakan sepupunya sendiri.

Dari sini terlihat bahwa Umar tidak ingin tim yang telah dibentuk tersebut ewoh-pekewoh dengan hal-hal yang sifatnya kekeluargaan. Sehingga ditakutkan akan memberikan keputusan-keputusan yang mementingkan urusan kelompok tertentu dibanding umat yang lebih besar.

Tim Syura tersebut kemudian tetap meminta Abdullah bin Umar, sang putra khalifah untuk tetap mengikuti agenda-agenda tim suksesi kepemimpinan. Namun statusnya bukan sebagai bagian dari tim, maupun orang yang akan dicalonkan, karena Umar sudah mewanti-wanti dari awal, bahwa ia tidak ingin menunjuk anaknya untuk melanjutkan.

Bisa dibilang, di antara empat Khulafaur Rasyidin yang pernah memimpin, Umar adalah salah satu khalifah yang pernah menjabat dalam waktu yang cukup lama (10 tahun), kedua setelah Utsman bin Affan (12 tahun). Meskipun demikian, hal itu tidak membuatnya ingin mewariskan jabatannya kepada keturunannya. Umar sadar bahwa jabatan bukan untuk diwariskan, tetapi dikembalikan kepada orang yang lebih kredibel.

Masa suksesi kepemimpinan Umar juga bisa disebut sebagai masa demokrasi. Khalifah kedua setelah Abu Bakar ini memilih jalan lain saat menyerahkan estafet kepemimpinan, yaitu dengan menunjuk beberapa orang terpercaya untuk bermusyawarah memilih khalifah selanjutnya, sebagaimana disebutkan di atas. Terjadilah berbagai dinamika tim Syura sebagaimana dikisahkan dalam berbagai kitab Sirah, hingga akhirnya terpilihlah Utsman bin Affan sebagai khalifah penerus Umar.

Umar ingin memberi contoh yang baik bagi generasi selanjutnya, bahwa jabatan bukanlah warisan. Tapi sesuatu yang harus dicapai dengan kemampuan, pengalaman, dan kematangan. Biarkan orang-orang hebat yang memilih secara objektif dan sesuai kredibilitas. Tidak perlu disisipi, kepentingan-kepentingan kelompok kecil, keluarga misalnya, di atas kepentingan umat. Jika sang putra memiliki kemampuan memimpin yang baik, kelak pada saatnya juga akan jadi pemimpin. Tidak perlu dipaksakan. Apalagi saat itu masih ada banyak orang yang layak memimpin.

(AN)