Periode pertama pemerintahan Jokowi begitu tenang, seolah-olah tidak terjadi intoleransi. Padahal, kita tahu aksi sekelompok ormas yang terang-terangan meneriakkan seruan “penggal Ahok”, “bunuh Ahok”, hingga serangkaian intimidasi dan persekusi kepada saudara etnis Tionghoa di beberapa daerah. Belum lagi sejumlah penolakan terhadap IMB rumah ibadah umat agama lain, bahkan penyegelan terhadap Masjid jemaat Ahmadiyah. Apakah ini bukan intoleransi?
Seusai rezim orde baru (Orba) berkuasa, intoleransi yang sejak Orba dipupuk melalui sentimen anti komunis, kini makin bertumbuh subur. Tidak hanya ancaman-ancaman terhadap warga minoritas Tionghoa, namun juga kepada warga lainnya yang dianggap berseberangan dalam hal apapun. Tentu sangat tragis mendengar kabar tersebut. Terlebih, kelompok yang protes ini acapkali menggunakan dalih sebagai penganut “agama mayoritas”.
Dengan sangat buas kelompok ini melancarkan serangan fitnah, provokasi hingga aksi intoleran kepada kelompok yang berkeyakinan lain. Bukannya mengedepankan musyawarah, mereka justru mengedepankan egoisme dan amarah. Arogan, begitulah yang kita lihat selama ini. Alih-alih mencitrakan agama yang damai, justru kehadiran mereka mencitrakan agama yang keras, kaku dan antipati terhadap kebhinnekaan.
Mayoritarianisme yang makin meresahkan
Mayoritarianisme tak sesempit makna mayoritas dalam beragama, namun juga bersuku, berbahasa dan berbudaya. Tetapi, fenomena yang kerap terjadi adalah mayoritarianisme agama. Di mana sekelompok orang mengaku beragama mayoritas, lantas dengan serakah menganggap semua yang ada di negara ini adalah hak milik mayoritas.
Mayoritas berhak membuat hukum dan mengatur segalanya. Sedangkan yang dianggap minoritas, hanya boleh bernafas saja. Sehingga, kelompok yang dianggap sebagai minoritas acapkali dilemahkan dan dimarjinalkan dengan sewenang-wenang atas dasar mayoritarianisme.
Gus Dur adalah figur pemimpin yang kontra terhadap mayoritarianisme. Track record beliau selama hidup sangat melegenda, menjadi pemupuk dan penyebar toleransi serta pluralisme di Indonesia. Jika mau, Gus Dur bisa menggunakan dalih mayoritas untuk menyingkirkan mereka yang berseberangan secara jumlah dan agama. Namun tidak, Gus Dur adalah sosok yang berwibawa. Selalu melindungi minoritas, selalu ada bersama perbedaan. Kita masih butuh pemimpin berjiwa Gus Dur.
Di era pemerintahan Jokowi, mayoritarianisme makin menggila. Terlebih semenjak adanya perserikatan alumni sebuah demonstrasi yang berbau intoleran dan diskriminatif beberapa tahun lalu.
Ya, merekalah yang kerap meneriakkan jargon-jargon Islam mayoritas dan menyerbu bilik-bilik kecil kaum minoritas. Tak hanya menyerbu dagangannya, melainkan juga mengobrak-abrik tampatnya, menyegel gedungnya, dan memenjarakan pemiliknya.
Namun disisi lain, kelompok itu pula yang kerap melontarkan laknat secara membabi-buta untuk mayoritas di negeri lain yang berlaku sama dengan mereka di negeri sendiri. Naif sekali.
Mayoritarianisme yang terjadi apabila terus dibiarkan mendarah daging akan berakibat fatal seperti lunturnya rasa kemanusiaan, toleransi, persatuan, memupuk dan menyuburkan egoisme, sikap arogan serta sifat buruk lainnya. Tentu, dengan penuh kesadaran, perlu ada upaya untuk menghilangkan sikap mayoritarianisme tanpa menanggalkan fakta adanya mayoritas-minoritas di negeri ini.
Intoleransi yang dibiarkan?
Entah, tetapi semoga bukan hanya saya yang menganggap bahwa kejadian intoleransi di Indonesia belakangan –terlebih saat mendekati kontestasi politik– seakan dibiarkan dan diacuhkan. Mereka (kelompok intoleran) berbuat semena-mena, namun negara seolah acuh. Hanya berucap “ganyang intoleran” saja tanpa ada tindakan nyata.
Ah, saya jadi berpikir, apakah memang kelompok intoleran sengaja dibiarkan ada dan dibiayai –atau minimal dipelihara– negara untuk suatu kepentingan politis? Wallahu’alam. Yang pasti, saya tidak percaya jika ada politisi yang 100% jujur setelah Gus Dur.
Pada periode kedua Jokowi-KH Ma’ruf Amin, keduanya terlihat acuh dengan intoleransi yang terjadi selama kurang lebih satu tahun pemerintahan. Seperti kasus penolakan rehabilitasi gedung Gereja paroki St. Yosep Tanjung Balai, Karimun beberapa waktu lalu.
Alih-alih pemerintah menyatakan sikap tegas membela pihak Gereja yang sudah memiliki IMB dan jelas-jelas menjadi korban intoleran, pemerintah melalui Kemenag justru mengasumsikan bahwa kejadian penolakan tersebut tidak ada unsur intoleransi. Apa-apaan ini?
Ada juga berbagai kasus lain, dan kini, kasus pembangunan makam tokoh adat Sunda Wiwitan di Kuningan yang berujung penyegelan. Sayangnya, pemerintah daerah justru memfasilitasi untuk aksi intoleransi sebagian kelompok, pun satpol PP justru turut mendukung aksi penyegelan pembangunan makam, bukannya menjadi penengah dan membela yang dilemahkan dan direnggut hak-haknya. Bukankah kebebasan beragama adalah hak tiap individu? Selama tidak mengancam hak-hak orang lain, selama itu pula kebebasan beragama dijamin.
Entah, di periode kedua ini dan di masa pemerintahan ke depan, akan ada berapa banyak kasus intoleransi lagi. Jika Jokowi dan jajaran “karpet merah” lain menganggap intoleransi bukan ancaman, entah, sampai tahun berapa Indonesia akan utuh. Saya tidak bisa membayangkan sampai kapan Pancasila dicabik-cabik, dikotori, dan dinodai oleh kelakuan sekelompok oknum yang arogan, intoleran, egois dan apatis.
Seribu tahun? Seratus tahun? Lima puluh tahun? Atau bahkan, hanya sampai tahun depan? Wallahu’alam. Yang pasti, sudah menjadi tugas serta kewajiban bersama untuk melawan segala tindakan yang mengancam eksistensi NKRI.
Ingat kata Bung Karno:
“Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua.”
Sepenggal ucapan itu saja, rasanya sudah memperjelas segalanya.