Presiden Jokowi sedang tidak biasa. Tepatnya ketika dia membuka Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional XXVII tahun 2018, Minggu (7/10/2018) malam. Bukan tentang konten sambutan kenegaraan atau doa yang ia panjatkan. Melainkan dialeknya saat merapal pembuka surah dalam Alquran itu dengan redaksi “Alfatekah”.
Awalnya, Presiden Jokowi hendak mengajak agar kita membacakan surat al-Fatihah untuk korban bencana alam dan para keluarga yang selamat supaya diberi ketabahan dan kesabaran. Tapi siapa sangka, jika “langgam jawa”-nya justru menimbulkan kemasygulan.
Sebetulnya, cara ucap setamsil Alfatihah menjadi Alfatekah, atau a’uzubillah menjadi anguzubillah adalah biasa saja. Ia adalah perkara yang mafhum kita temui di sudut-sudut perkampungan di Jawa. Hal ini bisa terjadi, ya karena memang begitulah cara kerja lidah yang, satu sama lain itu tidak sama.
Karenanya, hingga detik ini kita mengenal ada banyak ragam qiraat genap dengan imamnya masing-masing. Meski perkara fasih atau tidak ini bisa dilatih, rasa-rasanya sungguh sulit kita bayangkan jika seorang pak mudin (agamawan) yang kadung baku merapal alkamdulillah sebagai wujud bersyukur, lidahnya kita minta bermanuver agar ‘tobat’ menjadi alhamdulillah yang pake ḥa, bukan ha, apalagi ka.
Rupanya, ini adalah soal memahami. Pak Jokowi yang bukan seorang ikhwan atau pemuda hijrah, sulit kita bayangkan sewaktu kecil bergelimangan gaya hidup “syar’i” yang tiap sore rumahnya akan didatangi seorang ustaz untuk mengajari baca tulis Alquran. Atau, bukan pula seorang emteqer (baca: peserta MTQ) yang nglothok dengan ragam metode dan seni baca quran lainnya.
Maka, menertawakan apalagi menghina Pak Jokowi yang lebih akrab dengan “Alfatekah”, saya kira merupakan sebuah kegelian tersendiri. Sama seperti ketika suatu kali saya singgah di sebuah rest area (baca: Pom Bensin) di sekitaran Pantura.
Dalam perjalan lumayan berjarak waktu itu, cakrawala menunjukkan simpul petangnya. Tanda sembahyang Maghrib (akan) tiba. Lepas mengambil air wudhu, ada seorang (tua) lain yang juga hendak sembahyang. Sebagai yang lebih muda bin sungkanan, saya mempersilakan bapak itu untuk menjadi imam.
Takbiratul ihram. Dia memulai bacaan surah Alfatihah-nya. Di luar dugaan, bacaan sang imam sungguh jauh dari kata fasih, jika ditakar dengan ideal seorang santri baca Alfatihah. Pada saat itulah kesombongan saya diuji. Jelas, pikiran saya jadi gak karuan. Tapi alih-alih tertawa, saya hanya fokus pada satu hal: jangan sampai dengan ketidakfasihan si imam itu, saya lantas merasa lebih baik dan kaffah dari yang bersangkutan.
Sepenggal pengalaman itu lalu saya bagi kepada seorang kawan. Ternyata, satu frekuensi. Senada. Bahwa, dalam beberapa kasus, wabil khusus di masjid-masjid pedesaan ada mekanisme sosial yang unik dalam hal peribadatan. Maksudnya begini. Jika suatu saat Anda sedang berada di sebuah masjid yang jauh dari rumah untuk salat berjamaah, lalu mendapati bacaan sang imam ternyata penuh dengan “kearifan lokal”, jangan buru-buru curiga salat Anda tidak sah.
Soalnya, kata kawan saya, duduk perkaranya bukan lagi tentang fasih tidaknya kita merapal bahasa Arab. Melainkan keyakinan, ketulusan dan kesungguhan hati para imam di masjid/langgar/musala di desa-desa itulah yang barangkali cenderung akan lebih diterima Tuhan ketimbang diri kita yang masih dilumuri ragam perasaan sok-sokan.
Dan tidak kalah penting, adalah istiqomah. Ya, kalau alasan yang pertama tadi itu kita masih ragu, renungilah bahwa al-istiqomah khairu min alfi karomah (konsistensi itu jauh lebih baik daripada seribu karomah). Memangnya seberapa jauh konsistensi kita salat berjamaah, kok sampai-sampai merasa pantas menggantikan seorang tetua yang meski bacaannya kurang fasih, namun lebih istiqomah?
Lebih jauh, sehubungan dengan hal ini kawan saya bilang jika yang demikian itu juga berkaitan dengan al–ittihad (persatuan). Jangan mentang-mentang Anda alumnus qira’ati, iqra’, atau yanbu’a lalu merasa pantas menggantikan seorang imam yang memang telah ditunjuk oleh pengurus masjid setempat menjadi imam salat maktubah. Alih-alih dipuji jamaah, Anda justru akan merusak harmoni persatuan dan digunjing tujuh turunan sebagai “Pelakor”: perebut langgar (musala) orang.