Hari-hari ini, kita sedang dihangatkan oleh sebuah film yang menceritakan sisi kelam kehidupan musuh Batman, Joker. Joker adalah karakter antagonis yang digambarkan sangat bengis. Hidupnya dipenuhi dengan kesumat untuk merusak kehidupan dan menyakiti manusia.
Sosok Joker diperankan oleh Joaquin Phoenix, aktor kelahiran San Juan, Puerto Riko. Joker bernama asli Arthur Fleck, seorang komedian gagal. Arthur lahir dari masyarakat bawah yang hidupnya selalu disingkirkan. Mengidap penyakit kelainan otak sehingga tertawa di saat yang tidak tepat, Arthur bergantung pada layanan sosial untuk selalu mendapatkan obat bagi penyakitnya.
Kisah hidupnya adalah deretan tragedi: dikeroyok anak jalanan, dipecat dari pekerjaan, tidak mendapatkan layanan sosial, dihinakan orang-orang kaya, dikasari ibunya, dilecehkan seorang penyiar hingga polisi. Setiap pintu menolaknya, setiap mata membencinya. Dia gagal berkarir sebagai seorang komedian. Bisa dikatakan hidupnya adalah lembaran ketidakadilan di mana dia adalah korbannya.
Hingga sampai pada titik di mana ruang jiwanya tidak mungkin lagi menampung kepahitan yang terhirup bagai udara. Dia memutuskan untuk memegang kendali. Dia bertekad tidak mau lagi menjadi objek, dia harus menjadi suibjek sejarah. Tidak hanya untuk sejarah dirinya, tapi juga sejarah hidup orang lain. Dialah kini yang akan menentukan hidup orang lain. Jika kehidupan itu adalah nyawa, maka dialah yang akan menentukan apakah orang lain bernyawa atau tidak. Arthur kini berubah dari Joker si pelawak menjadi Joker sang pembunuh.
Lingkungan seringkali sangat kejam. Mungkin mudah untuk mengatakan bahwa hidup adalah pilihan, namun lingkungan seringkali tidak memberi banyak pilihan. Tidak jarang hanya ada satu pilihan yang disodorkan kepada kita. Tidak ada seorang perempuan yang bercita-cita menjadi pelacur, namun ketika dia memilih menjadi pelacur, seringkali itu adalah satu-satunya pilihan yang tersedia di depannya. Yang dicita-citakan Arthur hanyalah menjadi seorang joker (pelawak) yang menghabiskan hidupnya untuk membuat orang lain tertawa bahagia, namun lingkungan menggiringnya untuk menjadi seorang pembunuh berdarah dingin. Menyedot nyawa manusia dari jasadnya sambil tertawa-tawa.
Beberapa hari lalu, saya didatangi mahasiswi saya yang sehari-harinya memakai cadar hitam menutup wajahnya. Saya mengenalnya sebagai seorang mahasiswi baik, setidaknya itulah yang saya kenal dalam hubungan kami sebagai dosen-mahasiswi. Apakah dia tampak rikuh di depan saya? Apakah dia berkomunikasi dengan saya menggunakan tulisan karena suara perempuan diyakini sebagai aurat bagi laki-laki bukan muhrim? Apakah sehari-harinya dia menghindar berkomunikasi dengan kawan-kawannya yang lain? Apakah dia berapi-api dalam diskusi kelas dan mendukung aksi kekerasan yang dilakukan sekelompok Muslim radikal?
Tidak ada satu pun pertanyaan di atas yang bisa dijawab dengan ‘Ya’. Dia hanyalah seorang mahasiswi bercadar, tidak kurang, tidak lebih. Dia berkomunikasi dengan saya dan kawan-kawannya layaknya mahasiswa lain di kampus. Dia memang sedikit pendiam, tapi betapa banyak mahasiswa yang diam dalam diskusi kelas. Yang lebih mengagetkan bagi saya adalah dia menghadap ke saya untuk konsultasi rencana penelitiannya yang ingin mengetahui reaksi umat Kristen pasca-poengeboman beberapa gereja di Surabaya tahun 2018.
Saya tahu, dia merasa tersudut hanya karena dia memakai cadar. Dia sadar bahwa perempuan bercadar selalu dicap sebagai radikal. Melalui penelitiannya, dia tidak hanya ingin tahu reaksi umat Kristiani terhadap perempuan bercadar, tapi ada yang hendak dikatakan bahwa bercadar tak mesti menjadi radikal. Dia tahu bahwa ada perempuan bercadar yang menjadi atau pendukung radikalisme, namun mengadili semua perempuan bercadar sebagai radikal adalah tidak fair.
Di akhir pertemuan itu, saya mengatakan padanya bahwa agama kita, Islam, adalah agama yang sejak awal membawa misi perdamaian. Saya juga katakan padanya bahwa tidak semua perempuan bercadar adalah radikal, sama persis bahwa tidak semua perempuan yang tidak memakai jilbab adalah perempuan tak bermoral.
Saya merenung, berapa banyak orang yang bernasib seperti Joker. Memang, tidak sedikit Muslim shaleh yang akhirnya menjadi menjadi radikal karena salah memilih ustadz. Namun, ada juga kemungkinan seorang Muslim menjadi radikal karena lingkungan tidak memberinya peluang lain kecuali menjadi seorang radikal.[]