Jilbab, Seragam, dan Keseragaman

Jilbab, Seragam, dan Keseragaman

Jilbab, Seragam, dan Keseragaman

Seragam adalah salah satu aspek yang paling menyita perhatian, mulai dari para siswa hingga orang tua. Kekalutan bermula dari jadwal seragam yang harus dikenakan setiap hari, emblem logo yang dipasang, hingga urusan harga seragam yang terus menanjak. Namun, beberapa hari ini kita malah berhadapan dengan persoalan pelik terkait seragam, yakni pemaksaan.

Seorang siswi “dipaksa” memakai jilbab karena sekolah mengharuskan setiap perempuan yang beragama Islam untuk memakainya. Resistensi siswi terhadap aturan tersebut berujung pada pemanggilan ke ruang BK (Bimbingan Konseling). Diceritakan bahwa di dalam ruangan tersebut sang siswi mendapatkan pemaksaan untuk memakai jilbab tersebut. Sayang sekali. Akibatnya, siswi tersebut trauma dan depresi atas perlakuan yang tidak seharusnya tersebut.

Ini bukan pertama kali terjadi di Indonesia.  Dalih agama cukup sering dipakai untuk menyederhanakan permasalahan seragam, diantaranya pemakaian jilbab bagi siswi, di Indonesia. Namun, arus resistensi atas permasalahan ini juga tidak bisa dijawab dengan mengembalikan model seragam seperti masa lalu, yang tidak jelas mana standar yang diinginkan. Mau kembali ke masa Orba?

Saya sendiri jelas menolaknya. Sebab, seragam di masa Orba juga tak kalah menyeramkannya. Karena, saat itu, seragam adalah medium untuk penaklukkan atau penundukan. Kita tidak saja diseragamkan dalam pemikiran, namun di saat bersamaan juga diseragamkan dalam pakaian. Lihat saja, model pakaian seragam para pejabat hingga rakyat jelata telah memiliki modelnya masing-masing.

Saya tidak mengetahui secara persis kapan jilbab menjadi unsur yang diwajibkan dalam seragam sekolah. Padahal di masa Orba, di sekolah negeri umum, elemen selain yang telah diatur dalam peraturan jelas dilarang, termasuk jilbab. Jadi, kemungkinan besar Jilbab mulai “diwajibkan” sejak keruntuhan rezim otoritarianisme.

Keberagamaan yang membuncah, setelah mengalami represi di era Orba, disebut-sebut turut mempengaruhi kelahiran “aturan” pemakaian atribut-atribut baru, seperti jilbab untuk siswi, di sekolah. Dalil agama menjadi penegas sekaligus menambah kerumitan di dalam persoalan seragam ini. Mengapa?

Pemaksaan jilbab di Yogyakarta kemarin, dan model-model pakaian lainnya, tidak hanya soal agama. Di saat bersamaan, di dalamnya juga terdapat urusan pendidikan kita yang masih terikat dengan masa lalu. Maka, jilbab sebagai seragam yang dipaksakan adalah perpaduan antara agama dan politik tubuh rezim Orba yang masih lekat.

Karena ada narasi agama di dalamnya, maka tidak saja semakin sulit ditentang karena ada “ancaman-ancaman” berbau agama juga mengintai siapa saja yang menolak. Di saat bersamaan kita semakin sulit dalam mengurai persoalan. Oleh sebab itu, persoalan jilbab di Yogyakarta kemarin, sebagaimana saya sebut di atas, tidaklah sederhana.

Terlebih pasca Orba, kita tidak benar-benar bisa lepas dari berbagai metode “penundukkan” masa lalu. Jika dulu seragam masih memakai narasi kepatuhan, maka hari ini digantikan oleh wacana agama yang selaras dengan kepatuhan total. Pemaksaan jilbab di Yogyakarta kemarin adalah contoh bagaimana wacana penundukan dan narasi agama saling berkelindan.

Pertautan tersebut yang mengharuskan kita dalam menyikapi pemaksaan jilbab tidak boleh berhenti soal narasi agama belaka, namun juga membongkar soal imaji keseragaman yang melekat dalam kepala kita. Dengan pijakan awal ini, kita bisa membangun sekolah yang ramah, adil, serta setara bagi siapa saja tanpa dibeda-bedakan. Agama bisa dijalankan tanpa takut dan ditekan, apalagi dipaksa.

Apalagi Indonesia hari ini dirasa sangat pengap karena beragam intrik politik identitas tersebut berkelindan dengan gairah keberagamaan yang sedang membuncah di masyarakat. Suasana sekolah yang damai, adil, dan setara jelas akan melahirkan generasi yang imun terhadap berbagai intrik politik identitas, yang hari ini masih jauh dari kata selesai. Selain itu, kita juga harus mulai move on dari permasalahan seragam sebagai warisan Orde Baru.

Secara umum, pemaksaan jilbab kemarin menjadi tanda bagi kita bahwa impian untuk menciptakan lanskap sekolah yang damai, adil, dan setara, masih banyak hal yang perlu dilakukan. Membangun relasi setara dan adil di seluruh elemen pendidikan, mulai dari murid, guru, dan masyarakat, bisa menjadi langkah awal bagi kita.

Baca Juga, Pemaksaan Jilbab di Sekolah Negeri Itu Justru Memunggungi Konsep Dasar Islam

Narasi keberagamaan yang dibangun harus mulai mencerminkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan. Penghormatan atas hak untuk menjalankan praktik ajaran agama adalah elemen yang tidak bisa ditawar untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut. Sekolah harus bertransformasi dengan menghormati hak siswa, seperti untuk tidak memakai jilbab bagi siswi, untuk membangun nilai-nilai egaliter tersebut.

Selain itu, kita juga harus mulai membongkar imaji keseragamaan dalam benak kita yang selama “dijejalkan” oleh rezim. Memandang keseragaman adalah hal yang baik sudah seharusnya mulai direfleksikan kembali. Sebab, jika imaji ini masih bertahan maka bisa saja pemaksaan jilbab seperti kemarin bisa terulang kembali, dengan alasan keseragaman menggantikan dalih agama.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin