Paling tidak ada dua catatan yang mungkin perlu disampaikan dari uraian di atas. Pertama bahwa ayat al-Qur’an yang menyebutkan kata hijab dan kata jilbab, bicara soal pembagian/pemisahan ruang sosial laki-laki dan peremuan dan tentang pakaian. Ini merupakan mekanisme dan etika sosial. Kedua ayat tersebut tidak menyebutkan sama sekali kata “Aurat”. Kata ini disebutkan dalam surat lain. Dan pembicaraan tentang batasan-batasan aurat laki-laki dan perempuan terdapat pada tafsir surat Al-Nur ayat 30-31. Saya kira perbincangan publik yang selalu heboh adalah pada soal batas-batas aurat ini. Kita mungkin perlu membaca dua ayat ini lebih dalam dan cermat.
Kedua, jika jilbab dengan pengertian di atas dimaksudkan sebagai identitas atau ciri seorang perempuan merdeka yang membedakannya dari seorang perempuan budak, sementara perbudakaan sudah dihapuskan, maka apakah jilbab masih diperlukan? Ini sekedar bertanya saja. Tidak usah dijawab juga tidak apa-apa.
Jilbab Tanda Kesalehan?
Nah, terlepas dari perdebatan yang demikian luas dan beragam pandangan mengenai penafsiran atas ayat jilbab diatas, pemakaian penutup kepala dan tubuh perempuan tersebut dimaksudkan sebagai mekanisme perlindungan terhadap perempuan dalam tradisi dan etika sosial Arabia saat itu.
Problemnya, belakangan ini persepsi umum memperlihatkan bahwa berjilbab atau berhijab menjadi ukuran perempuan yang baik-baik, salehah, dan berakhlak karimah. Ini problem krusial. Pertanyaannya adalah apakah ada jaminan bahwa perempuan berjilbab/berhijab/berkerudung rapat adalah pasti seorang perempuan yang baik, saleh dan berakhlak mulia?. Demikian pula sebaliknya, apakah perempuan yang tidak berjilbab/berhijab/berkerudung rapat pasti perempuan yang berakhlak rendah, bukan perempuan saleh?.
Realitas sosial memperlihatkan kepada kita bahwa banyak perempuan yang tak berjilbab/berkerudung ketat justru lebih saleh dari perempuan yang berjilbab/berkerudung ketat. Bahkan pada masa lalu, selama berabad-abad, di negeri ini, ibu-ibu dan para isteri ulama besar hanya mengenakan kerudung dengan membiarkan sebagian rambut dan leher tetap terbuka? Para suami mereka yang ulama itu tidak pula memasalahkannya. Tetapi tidak juga menolak kenyataan bahwa banyak pula perempuan yang berjilbab berakhlaq mulia dan salehah. Ini sesuatu yang relatif saja.
Saya kira menarik sekali pandangan Dr. Muhammad al-Habasy, direktur Pusat Kajian Islam Damaskus, Siria ini. Ia mengatakan :
“Seorang perempuan dapat memilih pakaiannya sendiri untuk berbagai keperluan dan keadaan. Akan tetapi ia bertanggungjawab atas pilihannya itu di hadapan masyarakatnya dan di hadapan Allah. Ia punya hak sosial dengan tetap menjaga kesopanan dan kehormatan dirinya. Akan tetapi mewajibkannya untuk semua perempuan dalam segala situasi atas nama agama, sebagaimana yang berkembang di sejumlah Negara Islam dewasa ini adalah tidak realistis dan menyalahi petunjuk Nabi dan keluwesan dan keluasan fikh Islam”. (Muhammad al-Habasy, Al-Mar’ah Baina al-Syari’ah wa al-Hayah”, Dar al-Ahbab, Damaskus, Cet. V, 2001, hlm. 67-68).