Banyak cara memotivasi seseorang berbuat kebajikan, salah satunya melalui kisah-kisah teladan. Cara ini sangat familiar di dunia, yakni Laila Majnun, sebuah roman cinta yang sesungguhnya berkisah tentang pengembaraan spiritual seorang hamba dalam mencari Allah dengan gairah cinta yang meluap-luap.
Kita juga menemukan cara lain dari kalangan sufi ini dalam memotivasi kebaikan, yaitu melalui untaian peribahasa. Tidak mengherankan jika banyak ditemukan puisi indah dari kalangan sufi, baik berisi tentang kecintaan kepada Tuhan maupun akhlaq kepada sesama.
Komunitas santri yang sangat dekat dengan dunia tasawuf juga mengembangkan cara yang kurang lebih sama. Komunitas santri memiliki kekayaan yang luar biasa dalam bentuk cerita dan peribahasa yang isinya bertujuan untuk mendorong orang untuk melakukan kebajikan. Salah satu peribahasa yang sudah saya kenal dengan baik sejak usia dini adalah peribahasa tentang bahayanya orang bodoh yang berlagak seperti orang alim.
Peribahasa itu berbunyi: “Kun ‘aliman, aw muta’alliman, aw mustami’an, aw muhibban; Wa la takun khamisan!” Yang artinya: “Jadilah orang yang berilmu, atau orang yang menuntut ilmu, atau orang yang mendengarkan (orang alim yang menjelaskan ilmunya), atau orang yang mencintai (ilmu); Janganlah menjadi orang kelima!”
Pertama, kun ‘aliman (jadilah orang yang berilmu). Orang berilmu adalah orang yang mengetahui dan memahami secara mendalam subjek keilmuan tertentu. Alim di sini tidak selalu berarti hanya memguasai di bidang ilmu agama. Alim (orang berilmu) bisa disamakan dengan istilah intelektual. Seorang alim/intelektual berarti orang yang menguasai ilmu pada area tertentu. Karena pemamhaman dan kemampuannya itu, dia secara moral dan profesional berhak, bahkan dalam beberapa hal, wajib untuk mendidik dan menjabarkan ilmunya kepada khalayak.
Kedua, aw muta’alliman (atau jadilah penuntut ilmu). Jika engkau bukan seorang yang alim, maka hendaklah kamu menuntut ilmu kepada orang yang memiliki ilmu. Posisi kedua ini sesungguhnya adalah konsekuensi logis dari orang yang ingin menapak untuk menjadi alim. Jika kita bukan orang yang berilmu, maka satu-satunya pintu yang harus kita lalui agar kita memahami sesuatu adalah menuntut ilmu pada orang yang memiliki ilmu di bidang yang kita ingin mengetahuinya.
Ketiga, aw mustami’an (atau jadilah orang yang mendengarkan [orang alim yang menjelaskan ilmunya]). Posisi ketiga ini memang mirip dengan posisi kedua karena orang yang mendengarkan perkataan orang alim pada hakekatnya adalah orang yang menuntut ilmu. Bedanya adalah jika seorang muta’allim menuntut ilmu dengan sikap aktif (sebagaimana yang biasa dilakukan siswa atau mahasiswa atau santri di pesantren), seorang mustami’ di sini lebih berkonotasi pasif. Dia hanya mendengarkan tanpa dituntut oleh tugas-tugas pengembangan keilmuan sebagaimana yang harus dijalankan oleh seorang siswa atau mahasiswa atau santri di pesantren.
Keempat, aw muhibban (atau jadilah orang yang mencintai [ilmu]). Jika kamu bukan orang yang berilmu, bukan juga seorang yang memiliki kesempatan untuk sekolah atau nyantri, juga tidak memiliki waktu untuk sekedar menjadi pendengar pasif di berbagai majelis ta’lim, setidaknya jangan menjadi seorang pembenci ilmu.
Orang yang mencintai ilmu, sekalipun saat ini belum memiliki kesempatan untuk menguasainya, dia tidak akan menjadi manusia pembunuh ilmu. Tapi bagi orang bodoh yang membenci ilmu, selamanya dia akan berada dalam kebodohan dan ada kemungkinan menjadi orang yang tidak segan-segan menghancurkan forum-forum ilmiah.
Kelima, wa la takun khomisan (janganlah menjadi orang kelima). Jika orang bodoh saja dianggap sebagai keburukan, maka ada keburukan yang sangat membahayakan, yaitu tipe orang kelima. Tipe orang kelima adalah orang bodoh, tapi tidak mau menuntut ilmu, tidak mau mendengarkan orang yang berilmu, tidak memiliki kecintaan terhadap ilmu, tapi menganggap diri sebagai orang alim. Bahaya dari manusia tipe kelima ini adalah daya rusaknya ke masyarakat.
Bayangkan bahayanya jika tipe manusia kelima itu disandang oleh orang yang selama ini dianggap sebagai alim dalam bidang agama! Orang tersebut sesungguhnya bukan orang alim dalam bidang agama, tapi merasa diri seperti seorang alim dalam bidang agama, kemudian ke sana ke mari menjelaskan perkara yang dia sesungguhnya tidak menguasai ilmunya. Hasilnya adalah: sesat dan menyesatkan
Jika saat ini kita menemukan fenomena banyaknya orang yang berlagak alim dalam bidang agama, tapi sesungguhnya tidak memiliki ilmunya, lalu orang ini berceramah ke sana kemari dengan kebodohannya, dan banyak umat yang memercayainya, jangan heran jika yang kita temukan di masyarakat adalah betebarnya kebodohan dan fitnah yang diyakini kebenarannya hanya karena itu keluar dari orang bodoh yang berlagak seperti seorang alim.
Karena itu, jika kita bukan seorang yang alim, setidaknya, janganlah menjadi bodoh yang berlagak seperti orang laim, dan ke sana ke mari mendakwahkan kebodohan, fitnah, dan kebencian, apalagi jika itu dikamuflase dengan jubah agama dan Tuhan.[]