“Asal (hukum/perintah) menikah adalah poligami, yang istrinya satu (monogami) itu menikah ketakutan”
Dua kalimat di atas adalah kutipan yang saya ambil dari video ceramah Zainal Abidin yang membahas tentang poligami dan monogami.
Poligami menjadi bahasan yang tidak kunjung usai pembahasannya, Zainal bersikukuh pada pendapatnya karena menurutnya begitulah bunyi nash-nya. Sebelum berpanjang lebar, saya akan menjabarkan kerancuan pernyataannya dari tiga sudut pandang, pertama dari segi literal (nash), kemudian dari segi konteks sejarah ketika ayat turun (sabab nuzul), dan konteks sosial budaya saat ini.
وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُوا۟ فِی ٱلۡیَتَـٰمَىٰ فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَاۤءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَـٰثَ وَرُبَـٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُوا۟ فَوَ ٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَیۡمَـٰنُكُمۡۚ ذَ ٰلِكَ أَدۡنَىٰۤ أَلَّا تَعُولُوا۟
“Dan jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zhalim.” (QS Annisa : 3)
Dalam memahami Al-Qur’an, kita tidak hanya perlu membaca utuh suatu ayat, tetapi juga ayat sebelumnya dan ayat sesudahnya, belum lagi membandingkan dengan ayat-ayat lain yang membahas hal serupa. Sebagaimana tertera dalam ayat di atas, ayat ini bukan sekadar perintah menikah, apalagi poligami.
Jika kita baca dari ayat sebelumnya yang membahas tentang pengelolaan harta anak yatim secara adil, kemudian masuk ke ayat ini, jika tidak bisa adil kepada perempuan yatim (jika ia nikahi), kemudian masuk ke anjuran poligami.
Kalau mengikuti alur Zainal Arifin menafsirkan, kata “menikahilah dua” disebutkan terlebih dahulu sebelum anjuran “menikahi satu”, maka menurut Zainal, poligami jadi asal hukum. Kalau metode ini benaran diterapkan dalam menafsirkan Al-Qur’an akan kacau balau sekali, Al-Qur’an mengandung berbagai macam gaya bahasa indah yang seringkali tidak struktural.
Jika kita melihat konteks, ayat ini bukan perintah menikah kok, pernikahan adalah hal yang lazim jauh sebelum Islam datang dan poligami adalah praktek yang umum. Islam bukan memerintahkan menikah tapi lebih kepada mengatur pernikahan, termasuk mengatur praktek poligami. Sebelumnya tidak ada batasan jumlah istri bagi pelaku poligami, kemudian Allah batasi hingga sampai 4 saja melalui ayat ke-3 surat Annisa ini.
Nabi pun tegas mengenai hal ini, para pelaku poligami yang istrinya sampai 10 pun diharuskan nabi untuk memilih 4 dan menceraikan sisanya.
Dari Qais bin Al Harits ia berkata, “Aku masuk Islam sementara aku mempunyai delapan isteri. Lalu aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menuturkan masalah itu. Maka beliau bersabda: “Pilihlah empat di antara mereka.” (HR Ibnu Majah, no. 1942)
ketika Ghailan bin Salamah Ats Tsaqafi masuk Islam, ia memiliki isteri sepuluh orang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian mengatakan kepadanya: “Pilihlah empat orang di antara mereka.” (HR Ahmad no. 4380)
Jadi apakah asalnya menikah adalah poligami? Menikah sudah ada, poligami sudah ada, ayat itu turun untuk membatasi jumlah istri, bukan untuk menambah. Kalau mau menggunakan ayat ini untuk mengajak poligami, ini melenceng dari esensi ayat ini, karena ayat ini adalah sebuah peringatan bagi para suami untuk tidak zhalim kepada istri atau istri-istinya.
Jika kita lihat kondisi sosial dan budaya sekarang, poligami tidak lagi relevan. Ayat ke-3 surat An-Nisa ditujukan untuk membantu para perempuan yatim untuk berdaya, Nabi SAW pun berpoligami dengan janda-janda korban syahid untuk membantu mereka berdaya. Perempuan masa kini lebih mampu untuk memberdayai diri dan para lelaki punya banyak cara untuk mengangkat derajat wanita, bukan sekadar menikahinya.
Perlu diperhatikan, bahwa pada masa Nabi SAW hidup, bangsa Arab bersuku-suku dan sangat memegang teguh kesukuan tersebut, menjaga nasab dan melindungi keutuhan dan keamanan suku sama pentingnya dengan menjaga harga diri. Belum lagi pada saat itu, budaya masih sangat patriarkal, status lelaki masih dianggap lebih tinggi dari wanita. Itulah sebabnya pembatasan poligami yang sebelumnya tidak terbatas dianggap menaikkan tingkat derajat perempuan.
Kalau pakai logika Zainal Abidin bahwa monogami adalah pernikahan yang didasari dengan ketakutan atas dasar bunyi ayat ‘jika takut tak mampu adil’, maka poligami juga menikah ketakutan karena ‘tidak mampu adil’. Takut berbuat zalim itu bukan kelemahan, kok. Rasulullah saja monogami dengan ibu Khadijah sampai 20 tahun, apa kita mau bilang Nabi itu takut istri tua? [AN]
Wallahu a’lam
*Analisis ini kerjasa sama islami.co & Rumah KitaB*