Ketika memasuki kehidupan pernikahan, laki-laki dan perempuan memiliki peran baru yang merupakan konsekuensi dari pernikahan. Laki-laki memiliki peran baru sebagai seorang suami, sementara perempuan berperan sebagai seorang istri. Selain peran tersebut, laki-laki dan perempuan juga berperan sebagai ayah dan ibu ketika sudah memiliki anak.
Secara umum, seorang suami berperan sebagai kepala keluarga yang bertugas mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Suami juga berperan sebagai mitra istri, mengayomi atau membimbing istri agar selalu tetap berada di jalan yang benar. Selain menjadi rekan yang baik untuk istri, suami juga dapat membantu meringankan tugas istri, seperti mengajak anak-anak bermain atau berekreasi serta memberikan waktu-waktu luang yang berkualitas untuk anak di sela-sela kesibukan suami dalam mencari nafkah.
Istri juga mempunyai peran yang sangat penting, yaitu sebagai pendamping suami setiap saat dan ibu yang siap menjaga serta membimbing anak-anaknya. Sama seperti suami, istri juga berperan sebagai mitra atau rekan yang baik. Istri dapat diajak untuk berdiskusi mengenai berbagai macam permasalahan yang terjadi dan juga berbincang tentang hal-hal ringan serta sebagai penyemangat demi kemajuan suami di bidang pekerjaannya.
Pembagian peran maupun pembagian tugas rumah tangga yang adil antara suami dan istri terkadang masih dipengaruhi oleh cara pandang masyarakat mengenai peran gender yang cenderung memosisikan perempuan untuk selalu berperan pada wilayah domestik.
Selaras dengan pernyataan di atas, adanya diskriminasi gender pada kehidupan perkawinan ditunjukkan dengan adanya hak dan kewajiban suami-istri di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pasal 31 ayat (3) yang secara tegas menyebutkan bahwa suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga, serta pasal 34, suami wajib melindungi istri dan istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya. Pernyatan dalam undang-undang tersebut bila ditelaah terdapat bias gender antara laki-laki dan perempuan yang memposisikan perempuan untuk lebih berperan pada sektor domestik.
Padahal saat ini, peran perempuan semakin luas yang tidak hanya mengurusi wilayah domestik, kasur, sumur, dapur. Banyak perempuan bekerja pada sektor ekonomi dan dapat menambah penghasilan keluarga seperti banyaknya kaum perempuan yang bekerja di kantor, di pabrik-pabrik, jualan di pasar, serta ada pula perempuan yang sukses menempati sektor-sektor publik, dengan menjadi bupati, walikota, gubernur, bahkan kepala negara atau pemerintahan. Sehingga dapat dikatakan bahwa jumlah perempuan yang terlibat dalam kegiatan mencari nafkah semakin besar.
Hal tersebut akan menimbulkan ketidakseimbangan peran pada perempuan yang bergelut pada dua sektor secara bersaman yaitu ekonomi maupun public, dan sekaligus masih bertanggung jawab pada sektor domestic. Hal ini dikenal dengan konsep peran ganda bagi perempuan yang menambah beban perempuan terutama yang bekerja di luar rumah. Dengan demikian, akan lebih tepat bila kedudukan suami istri tersebut diubah menjadi “suami dan istri adalah pengelola rumah tangga” dengan pembagian peran yang lebih seimbang, yaitu urusan domestik sewaktu-waktu bisa dilakukan oleh suami, dan sebaiknya, istri bisa berada di sektor publik, sesuai dengan kesepakatan dan kebutuhan.
Dalam pola pembagian tugas, harus membutuhkan keluwesan untuk melakukan pertukaran peran atau berbagai tugas untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga atau peran domestik maupun untuk mencari nafkah. Apabila pembagian tugas dalam menjalankan kewajiban keluarga dengan melaksanakan peran dapat dilakukan dengan seimbang dan dilakukan atas kesepakatan bersama maka akan tercipta kehidupan pernikahan yang harmonis dan merupakan indikasi dari keberhasilan penyesuaian pernikahan.
Konsep relasi suami dan istri adalah salah satu aspek yang telah diatur dalam Islam. Nilai-nilai yang terkandung pada relasi yang dibentuk berasaskan keadilan, kasih sayang dan kesetaraan yang bertujuan untuk pembentukan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Permasalahan yang dihadapi oleh suami dan istri dalam berhubungan di dalam rumah tangga tidak terlepas dari kedudukan, posisi dan hubungan yang keduanya terapkan dalam rumah tangga.
Maka dari itu, relasi suami istri dalam Al-Qur’an memerlukan tinjauan gender yang berfungsi untuk memperjelas mana sesuatu yang merupakan kodrati dan mana yang konstruksi. Peninjauan ini dapat dilakukan dengan melihat lafal atau pesan umum Al-Qur’an terutama dalam tema relasi yang mengandung nuansa gender. Gender merupakan pembedaan laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi oleh sosial, seperti halnya pembedaan dalam hal peran, status, dan tanggung jawab. Ketika pesan relasi di dalam Al-Qur’an mengandung unsur kodrati artinya ia akan berlaku di segala zaman, berbeda halnya jika ia merupakan sesuatu yang dikonstruksi maka yang akan diterapkan bagi segala zaman ialah signifikansi dari ayat tersebut.
Relasi suami dan istri bersifat sejajar, akan tetapi bukan berarti keduanya harus diperlakukan sama. Karena pengungkapan makna ayat juga memberikan isyarat bahwa laki-laki dan perempun tidak mungkin disamakan secara total, karena bisa jadi yang seperti itu malah akan memberikan beban yang menimbulkan kerugian bagi keduanya. Sehingga kesetaraan itu tetap membutuhkan pembatasan pada aspek apa saja kesetaraan itu dapat dijalankan.
Pada dasarnya, suami istri yang terikat pernikahan memiliki tujuan utama yaitu membina rumah tangga yang Sakinah, dicerminkan oleh relasi keduanya dalam mewujudkan atau menjalankan fungsi-fungsi keluarga. Al-Qur’an dihadirkan salah satunya untuk menuntun manusia dalam membina rumah tangga. Persoalan relasi suami istri merupakan salah satu isu yang dibicarakan di dalam surat An-Nisa. Terdapat beberapa ayat yang diturunkan terkait relasi suami istri yaitu al-Nisa ayat 3,19,32 dan 34.
{وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا}
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.” (Qs. An-Nisaa’: 32)
Menurut Hamka dalam kitab tafsirnya Al-Azhar, persoalan relasi suami dan istri dalam ayat 32 ini adalah Allah telah menyediakan bagian-bagian bagi laki-laki dan perempuan. Bagian tersebut akan diperoleh oleh keduanya dengan berusaha menjalankan tugas dan jenis pekerjaan masing-masing. Keduanya memiliki tugas dan pembagian kerja yang telah ditentukan oleh Allah yang bersifat saling melengkapi (complementer).
Dalil yang menjelaskan tentang konsep kepala keluarga dalam Islam yang tertera pada surat An-Nisa ayat 34 yaitu
{الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ …}
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. …” (Qs. An- Nisaa’: 34).
Meskipun peran kepala keluarga sudah berpindah kepada istri, misalnya suami yang tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga istri yang bekerja dengan pendapatan melebihi pendapatan suami, maka tidak secara otomatis kedudukan kepala keluarga berpindah kepada istri, melainkan kedudukan kepala keluarga tersebut tetap berada pada suami meskipun peran kepala keluarga tersebut dibagi dengan istri. Kedudukan suami sebagai kepala keluarga adalah pada konteks sosial, domestik dan agama sehingga kedudukan tersebut tidak dapat digantikan oleh istri.
Istri tidak merasa lebih superior dari suami hanya karena melakukan peran sebagai pencari nafkah tambahan. Kemampuan salah satu dari suami atau istri tidak harus merubah kedudukan suami atau istri sebelumnya karena apa yang dilakukan oleh salah satu mereka adalah berdasarkan persetujuan dan kesepakatan untuk kemaslahatan keluarga.
Pembagian peran antara suami dan istri yang bekerja dalam kehidupan berumah tangga:
- Pembagian peran dalam pengambilan keputusan
Pada umumnya, pengambilan keputusan keluarga diputuskan oleh suami sebagai kepala keluarga dengan melibatkan istri maupun anggota keluarga lain dalam perundingan untuk mendapatkan jalan keluar dari permasalahan. Ketika musyawarah, kepala keluarga mempertimbangkan pendapat yang dikemukakan oleh istri maupun anggota keluarga lain.
Istri tidak hanya selalu patuh terhadap keputusan yang dibuat suami secara mutlak, melainkan istri mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengutarakan pendapat yang dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan, bahkan diberikan kesempatan untuk mengambil keputusan secara mandiri dengan kesepakatan bersama. Sehingga dapat dikatakan bahwa suami telah memosisikan istri sebagai mitra kerjasama, termasuk dalam pengambilan keputusan keluarga dengan diajak untuk berdiskusi mengenai berbagai macam permasalahan yang terjadi dan berbincang tentang hal-hal yang ringan.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
Artinya: ”Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (Adz-Dzariyat: 49)
- Peran suami dan istri dalam pengelolaan keuangan keluarga
Sumber utama keuangan keluarga secara umum diperoleh dari penghasilan suami, sementara istri menjadi tambahan saja. Keterlibatan suami dalam pengelolaan keuangan keluarga sebatas memberikan saran-saran apabila mengetahui istri bertindak boros dalam menggunakan dana keluarga.
Dalam mengelola keuangan keluarga, istri membuat perencanaan sesuai dengan kebutuhan keluarga yang dipilah menjadi kebutuhan pokok dan kebutuhan lain. Istri juga membuat skala prioritas dengan mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok terlebih dahulu, sebelum menggunkan dana untuk kebutuhan lain. Keterampilan istri dalam mengelola keuangan keluarga setiap bulan, membuat suami bersedia mempercayakan pengelolaan keuangan keluarga pada istri. Apalagi para istri yang tetap menghargai suami dengan mengajak berunding bila ada kebutuhan besar di luar kebutuhan rutin. Melalui sikap tersebut, istri menunjukkan pengakuannya terhadap eksistensi suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga.
Sebagaimana firman Allah:
[الفرقان: 67]{وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا}
Artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka berlebih-lebihan. Dan tidak (pula) kikir. Tapi adalah (pembelanjaan itu) tengah-tengah antara yang demikian.” (QS Al-Furqan: 67)
Pada firman Allah yang lain dijelaskan juga bahwa yang dimaksud dengan sebagian harta itu dalam surat Al-Baqarah 219
[البقرة: 219]{… وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ …}
Artinya: “…dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, “Yang lebih dari keperluan.” (QS. Al-Baqarah: 219)
- Pembagian peran dalam pengasuhan anak
[الكهف: 46]{الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَل}
Artinya “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan.” (QS.Al-Kahfi: 46)
Dalam hadist dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ» وَضَمَّ أَصَابِعَهُ
“Barang siapa yang membiayai kehidupan dua orang anak perempuan hingga berusia baligh, maka pada hari kiamat aku dan dia akan datang seperti kedua hal ini, (beliau mengumpulkan kedua jarinya).” (H.R Muslim 2631, dan Ibnu Abi Syaibah 25439).
Dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ لَهُ ثَلَاثُ بَنَاتٍ فَصَبَرَ عَلَيْهِنَّ، وَأَطْعَمَهُنَّ، وَسَقَاهُنَّ، وَكَسَاهُنَّ مِنْ جِدَتِهِ كُنَّ لَهُ حِجَابًا مِنَ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang memiliki tiga orang anak perempuan kemudian ia bersabar (menghadapinya), memberikan makan-minum dan pakaian dari harta bendanya, maka ketiga gadis kecil itu akan menjadi penghalang dirinya terhadap (serangan) api neraka.” (HR. Ahmad 17403, Ibnu Majah 3669, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)
Dari ayat dan hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa pengasuhan anak merupakan tanggung jawab kedua orang tua yaitu suami maupun istri dengan bekerjasama untuk memberikan pendidikan baik dalam keluarga maupun secara formal.
Dalam melakukan pendampingan, kedua orang tua bekerjasama dengan bergantian mengawasi anak, memberikan nasihat, saling mengingatkan agar tidak terlalu keras dalam mendidik anak serta berdiskusi untuk menyelesaikan permasalahan dalam pengasuhan anak.
Islam telah menyadari bahwa membina rumah tangga merupakan kesepakatan kedua belah pihak antara suami dan istri, oleh karena itu segala sesuatu harus dimusyawarahkan bersama. Termasuk pula dalam hal tata cara pembagian kerja rumah tangga. Pembagian kerja yang bagaimana yang harus dilakukan agar suami dan istri bisa mencapai ketentraman dalam rumah tangga harus dimusyawarahkan bersama. Kesepakatan harus dibuat agar tidak ada satu pihak yang merasa dibebabkan dan dirugikan. Dengan menyadari bahwa pernikahan bertujuan untuk mencapai ketentraman kedua belah pihak yang menjalaninya, maka tidaklah mungkin ini dicapai apabila pembagian kerja dalam rumah tangga tidak adil.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
Artinya: ”Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (Adz-Dzariyat: 49)
Hemat penulis, relasi yang dibangun bagi suami dan istri bisa dilakukan dengan musyawarah dan membagi peran, menempatkan salah satu dari keduanya untuk memenuhi nafkah, melakukan peran pendidikan atau mendidik anggota keluarga. Peran-peran tersebut ketika mampu dilakukan oleh salah seorang dari suami atau istri akan berimplikasi pada hak yang akan diperoleh oleh seorang kepala keluarga seperti hak sebagai pengambil keputusan yang pada umumnya bersifat domestik atau internal keluarga. Karena sejatinya perempuan yang bekerja, memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti perempuan yang tidak bekerja begitupun laki-laki, yang terpenting adalah adanya musyawarah, kekeluargaan dan kesepakatan bersama antara pasangan suami dan istri. (AN)
Wallahu A’lam bish Shawab.
Artikel merupakan hasil kerja sama dengan Rumah KitaB atas dukungan investing in women dalam mendukung perempuan bekerja