Ada yang bertanya seperti di bawah ini. Saya akan mencoba untuk menjawabnya pelan-pelan dan hati-hati.
“Ketika seorang istri merupakan perempuan karir atau pekerja apakah masih berhak atas nafkah yang wajib diberikan oleh suaminya? Dengan kata lain, apakah suami tetap berkewajiban memberi nafkah pada istri pekerja/karir itu?”
Dasar dari segala apapun yang akan dibahas berkaitan dengan persoalan dalam rumah tangga, adalah makna pernikahan itu sendiri. Pernikahan yang dimaknai sebagai ibadah yang meniscayakan adanya keridaan bersama antara istri dan suami.
Keduanya, istri dan suami sama-sama rida dan oleh karena itu, segala konsekuensinya ke depan–pasca pernikahan–harus selalu dihadapi dan menjadi tanggungjawab bersama. Tak terkecuali perihal nafkah.
Jika selama ini nafkah hanya menjadi kewajiban suami, saya ingin melampaui itu, bahwa sesuai dasar kebersamaan, maka nafkah dalam rumah tangga menjadi urusan bersama.
Ada sikap yang dewasa di sini yang dikedepankan. Jadi tidak ada lagi dikotomi dan pengkotak-kotakan: ini pekerjaan istri dan itu pekerjaan suami. Istri di rumah saja, sementara suami di luar saja.
Prinsip kebersamaan tadi diperkuat dengan prinsip kesalingan dan berbagi peran. Menurut saya, sikap-sikap tersebut jauh lebih adil dan mengedepankan proporsionalitas.
Sehingga ketika dalam kehidupan sosial banyak terjadi, para istri yang bekerja, rumah tangganya ya berjalan seperti biasa. Istri bekerja, suami juga demikian.
Sering kali kejadian, ketika “publik” dan “domestik” dikotak-kotakan akibatnya istri dan suami saling menuntut dan menagih. Wilayah publik jatahnya suami berkaitan dengan nafkah, sehingga istri berhak menuntut jika suami mencari nafkah tetapi perolehannya sedikit.
Istri merasa bahwa selama ini pengorbanannya bekerja mengurusi keperluan rumah tangga dan mengasuh anak tidak dihargai, lantaran nafkah yang diberikan suami sedikit, tidak sesuai dengan apa yang diharapkan istri.
Begitu pun dengan suami, akan menuntut jika istri kurang cekatan dalam mengurus rumah tangga dan mengasuh anak. Melihat kondisi rumah yang berantakan, masakan yang tidak enak, anak yang kelihatan sulit diatur, istri yang terlihat jarang dandan dan lain sebagainya, itu akan dijadikan bulan-bulan suami untuk memojokkan istri.
Tidaklah aneh jika inilah asal-muasal dari rentannya sebuah jalinan rumah tangga sehingga menjadi retak dan mudah roboh. Rumah tangga yang fondasinya tidak dibangun atas dasar kebersamaan, kesalingan dan berbagi peran.
Anggap saja ini adalah ikhtiar kita dalam meracik formula. Formula yang resepnya bisa digunakan oleh siapa saja. Formula untuk kehidupan rumah tangga yang basis relasinya selalu ditanggung bersama. Di mana istri dan suami saling melengkapi dan saling waspada.
Tidak terjebak dalam momen menunggu kesalahan masing-masing pasangan. Inilah cara agar di antara istri dan suami tidak saling mengandalkan atau menuntut, tetapi justru saling menginisiasi, saling memaklumi. Sehingga kalau ada kesalahan atau kekurangan pun istri atau suami tidak cepat menyalahkan.
Lebih daripada itu, ketika istri bekerja dan suami bekerja, ini sudah tidak lagi bicara apakah suami wajib menafkahi atau tidak. Mengerti kan maksud saya?
Apalagi nafkah itu kan bukan hanya dalam bentuk materi atau uang, melainkan juga nafkah batin. Nafkah yang berkaitan dengan kecerdasan emosional dan spiritual.
Jadi pada akhirnya sih, baik istri dan suami saling membutuhkan nafkah lahir maupun batin. Jadi istri butuh nafkah dari suami, begitu pun dengan suami, butuh nafkah dari istri. Saling mengisi dan saling memahami posisi. Sebab ada kalanya istri yang pandai mencari nafkah, juga ada kalanya suami yang pandai mencari nafkah.
Jadi kewajiban nafkah itu selamanya tidak mengenal kata gugur. Sebab nafkah itu menjadi salah satu dari sekian banyak kebutuhan pokok dalam membangun kehidupan rumah tangga.
Saya bahkan menemukan istri yang memang penghasilannya lebih besar daripada suami, tetapi itu bukan berarti menjadikan istri “menjajah” suami seenaknya saja. Ada kalanya suami juga dihadapkan pada PHK atau selama bertahun-tahun seperti sulit mendapatkan pekerjaan yang baru. Di sinilah peran istri berfungsi, untuk bisa terus mensuport suami, mendoakannya sampai kemudian bisa bekerja kembali.
Walhasil, sekalipun istri bekerja, entah itu menjadi guru, dosen, pengusaha atau lainnya, bukan berarti suami berdiam diri, berpangku tangan, malah mengandalkan istrinya. Karena ada banyak kejadian, di mana istri bekerja di luar negeri, sekalipun misalnya gajinya besar tetapi taruhannya nyawa, eh suaminya malah asyik-asyik saja di rumah, hanya menunggu kiriman uang dari istri, lalu setelah itu suami foya-foya, tidak urus anak dan malah menikah lagi. Begitu jawaban saya. Semoga berkenan dan bermanfaat.
Pesantren Bersama Al-Insaaniyyah, 12 Juni 2020, 5.04 WIB