Istilah Islam sebagai gincu (baca: lipstik) kali pertama diutarakan oleh Bung Hatta. Apa maksudnya? Salah satu poin penting dalam istilah ini merupakan otokritik bagi umat Islam yang sekadar menggunakan ajaran Islam sebagai pemanis belaka atau untuk tujuan tertentu–apalagi politis. Dalam sejarah, bapak Proklamator ini begitu tegas menolak formalisasi islam dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Hal ini berbanding terbalik dengan sebagian kalangan umat islam belakangan ini yang mendambakan syariat islam. Padahal, sebagai sebuah negara kesepakatan. Apakah sistem ini tidak meniadakan islam? Tentu tidak. Justru nilai-nilai islam menjadi elemen penting di dalamnya dan harus diperjuangkan bersama. Konsep inilah menurut Hatta yang paling ideal bagi Islam di Indonesia.
“Bagi Hatta, perjuangan umat dalam menegakkan islam haruslah berpedoman pada ilmu garam, bukan pada ilmu gincu. Pada garam, filosofinya adalah ‘terasa tapi tak kelihatan’ sedangkan sifat gincu ‘terlihat tapi tak terasa,” tutur Prof. Syafii Maarif dalam bukunya bertajuk Islam dan Indonesia sebagai Dasar Negara (2017)
Mengutip lanskap pemikiran Buya Hatta tentang Islam, Buya Syafii, begitu tokoh ini biasa disapa, menuturkan Hatta berupaya menegaskan bahwa islam di Indonesia tidak boleh terjebak pada pelbagai rupa simbol dan seremoni belaka. Apalagi, jika menghilangkan islam di dalamnya. Apa itu substansi Islam? Di dalamnya yakni kemanusiaan, keadilan, prinspir musyawarah dan lain sebagainya. Termasuk di dalamnya formalisasi (Syariatisasi) islam dalam tatanan kehidupan bernegara.
Hal itu berakibat keberislaman seseorang tidak sungguh-sungguh menjelmakan ruh islam tentang keadilan dalam kehidupan merupakan kepalsuan. Kepalsuan ini yang membuat mandeg ilmu pengetahuan dan islam pun sebagai sistem dan nilai akan jatuh. Tidak bisa berbuat apa-apa dan berakibat tidak kompatibel dengan zaman.
Menurut Buya, hakikat perjuangan seperti hanya akan memanipulasi islam belaka, tanpa benar-benar memperjuangkan inti dan nilai-nilai islam. Hal itu juga diungkapkan beliu dalam buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan
“… Jika orang ingin ingin memperjuangkan ajaran islam di Indonesia, pakailah ‘ilmu garam, tidak ilmu gincu’. Ketika garam larut dalam makanan, bekasnya tidak kelihatan, tetapi pengaruhnya dalam cita rasa makanan sangat menentukan. Sebaliknya, gincuyang dipakai kaum perempuan, terbelalak merah di bibir, tapi tunarasa… Hatta dengan imannya yang tulis tidak rela islam Indonesia seperti gincu.”
Kalimat di atas tentu saja memberikan banyak tafsir. Tapi melihat kondisi kekinian, ketika banyak umat islam yang merasa harus memformalkan islam dalam bentuk fisik, maka sudah tentu apa yang dilakukan Hatta memang benar. Prinsip dan nilai Islam seperti keadilan, cinta kasih dan ilmu bisa jadi bakal hilang.
Oleh karena itu, jelas Buya, seruan-seruan yang datang untuk mempertentangkan isloam dan pancasila merupakan kesia-siaan belaka. Dalam sejarahnya, Hatta telah memberikan contoh bahwa islam bisa jadi ruh untuk berbangsa dan tidak perlu diformalisasikan. Rugi jika hanya menjadikan islam gincu belaka.