Judul di atas mungkin menjadi pertanyaan juga bagi kita, orang-orang yang percaya bahwa bumi itu bulat. Sedangkan bagi orang-orang yang percaya bahwa bumi itu datar sangat bergembira karena kepercayaannya ternyata telah ‘diakui’ oleh Al-Quran.
Kelompok ‘bumi datar’ memang semakin gencar membagikan kampanye-kampanye kepercayaannya dibarengi dengan berbagai teori dan sumber dalil keagamaan, tak terkecuali Al-Quran. Dalam Al-Quran, ada satu ayat yang sering disampaikan kelompok ini dalam setiap kampanyenya, yaitu surat al-Ghasiyah ayat 20:
وَاِلَى الْاَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْۗ
Dan bumi bagaimana dihamparkan?
Kata “dihamparkan” dalam ayat di atas, banyak dimaknai oleh kelompok ‘bumi datar’ bahwa bumi itu datar. Dalil ini sekaligus menggoyang keyakinan kita bahwa bumi itu bulat karena tidak sesuai dengan ayat Al-Quran di atas.
Pertama, yang perlu kita pahami adalah bahwa para ulama tafsir menetapkan bahwa Al-Quran hanya bisa digunakan sebagai inspirasi dari sains, bukan sebagai dalil atau pembenaran dari sains. Karena teori sains kapanpun bisa berubah dan dibantah oleh teori yang baru, sehingga jika teori sains yang lama tersebut diklaim berdasarkan Al-Quran, maka seolah-olah Al-Quran batal atau dibatalkan oleh teori sains yang baru. Begitu pun seterusnya.
Kedua, terkait penggunaan kalimat “sutihat”, yang berarti dihamparkan (dalam bahasa Indonesia), atau dalam tafsirnya disebut ju’ilat lahu sathhan (جعلت له سطحا). Penggunaan kata ini selalu erat kaitannya dengan kata ja’ala (جعل), bukan dengan kata khalaqa (خلق). Padahal dua kata ini sangat berbeda. Penjelasan perbedaan antara keduanya bisa dibaca secara gampang dalam berbagai kitab mu’jam, khususnya kitab Mu’jam Mufradat Alfadz al-Qur’an karya al-Raghib al-Asfahani, yang sering dijadikan rujukan untuk melihat lebih dalam makna setiap kata yang ada dalam Al-Qur’an.
Quraish Shihab menyebutkan bahwa kata khalaqa berarti menciptakan sesuatu yang belum ada menjadi ada. Sedangkan kata ja’ala bermakna menjadikan sesuatu yang sudah tercipta menjadi sedemikian rupa agar bisa digunakan dengan manfaat yang lain. Quraish Shihab mencontohkan dengan pena. Pena diciptakan sebagai alat tulis, tapi kita bisa menjadikannya sebagai alat menggaruk punggung atau penggaris.
Begitulah maksud dari ayat ke 20 dari surat al-Ghasiyah di atas. Bumi dijadikan terhampar oleh Allah agar kita bisa melaluinya dalam berjalan dan bisa memakmurkannya. Walau bumi ini dianggap bulat, kita tidak merasa jalan menanjak dan menurun. Ini lah yang disebut oleh sebagai bagian dari potensi manusia yang diberi keistimewaan oleh Allah SWT untuk menaklukkan bumi. Dalam Surat al-Mulk ayat 15,
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ ذَلُوْلًا فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا وَكُلُوْا مِنْ رِّزْقِهٖۗ وَاِلَيْهِ النُّشُوْرُ
Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. (Q.S al-Mulk: 15)
Dalam buku terbarunya, Khilafah: Peran Manusia di Bumi, Quraish Shihab menyebutkan bahwa Allah membuat bumi ini takluk dan mudah dijelajahi manusia agar ia beriman dan memakmurkan bumi dengan sebaik-baiknya. Semua hal yang berkaitan dengan bumi, dijadikan oleh Allah sedemikian rupa agar sesuai dengan kebutuhan dan keperluan manusia. Diciptakanlah atmosfer, gravitasi, tanah yang subur, air dan beberapa hal lain yang bisa jadi tidak bisa kita dapatkan di planet yang lain.
Kata khalaqa yang berkaitan dengan penciptaan bumi dalam Al-Quran, sama sekali tidak menyebutkan bumi itu bulat atau datar, karena hal ini berkaitan dengan sains dan sainslah yang akan memperdalamnya. Hal ini sudah ditekankan di awal bahwa Al-Qur’an hanya sebagai inspirasi, bukan sumber atau dalil dari sains. Al-Qur’an tidak memperinci hal-hal yang bisa menjadi perdebatan sains agar Al-Qur’an tidak menjadi kambing hitam dari kesalahan para saintis. Inilah keistimewaan Al-Qur’an. (AN)
Wallahu a’lam.