Bagi masyarakat Lombok, Nusa Tenggara Barat, sosok ulama ini dikenal dengan Maulana Syekh, Tuan Guru Besar.
Sebuah panggilan kehormatan bagi ulama bernama lengkap Tuan Guru Haji (TGH) Muhammad Zainuddin Abdul Madjid.
Jejak dan sosoknya begitu kuat mengakar bagi masyarakat NTB.
Apalagi, beliau mendirikan ormas Islam terbesar di wilayah ini, yakni Nadhlatul Wathan pada 1 Maret 1953.
Nahdlatul Wathan (HW) artinya Kebangkitan Bangsa dan merupakan organisasi para ulama yang berfokus pada Pendidikan dan pengembangan masyarakat.
Sekolah-sekolah dan pesantren HW tersebar di seluruh Nusa Tenggara hingga ke penjuru Nusantara.
Jejak pengaruh sekolah dan pesantren ini begitu besar dalam pengembangan Islam di Nusa Tenggara dan melahirkan banyak ulama-ulama yang berkecimpung di masyarakat.
Dalam catatan Nur Khalik Ridwan Ensiklopedia Khittah NU: Dinamika Jam’iyah (2020) Hizbul Wathan adalah organisasi Islam di NTB yang bermazhab Syafi’i dan membuat Islam berkembang pesat di Nusa Tenggara.
Secara tradisi keIslaman, lewat Hizbul Wathan pula, perkembangan mazhab Syafi’i pun berkembang secara pesat.
“Dari sisi persatuan di Nusantara, ia memperkuat jenis keIslaman pesantren yang berkembang di Indonesia,” tulis Nur Khalik Ridwan pada halaman 379.
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid merupakan tokoh ulama yang mendirikan dan merupakan inspirator serta nafas dari gerakan ulama ini laiknya KH Hasyim Hasy’ari di NU ataupun KH Ahmad Dahlan di Muhammadiyah.
Jejak Pendidikan dan Perjuangan di Masyarakat
Nama kecil dari TGH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid adalah Muhammad Saggaf.
Sedari kecil, ia sudah belajar agama secara intens dan belajar banyak dari para tuan guru – istilah kiai atau ustaz dan pesantren – di Nusa Tenggara.
Beberapa nama guru beliau adalah TGH Syarafudd n dan TGH Muhamm d Sa’ d dari Pancor serta Tuan Guru ‘Abdull h bin Amaq Dulaji, tiga ulama penting di Lombok.
Lantas, ia pun menimba agama lebih dalam ke Makkah.
Pada saat itu beliau berusia 15 tahun, yaitu menjelang musim Haji tahun 1341 H/1923 M.
a pun di Makkah menimba ilmu untuk waktu yang cukup lama.
TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid mendirikan Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah pada 22 Agustus 1937 untuk pria.
Pada 21 April 1943, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid mendirikan Nahdlatul Banat Diniah Islamiyah (NBDI) khusus untuk perempuan. Dua tempat ini adalah madrasah.
Inilah madrasah pertama di Pulau Lombok yang terus berkembang hingga kini dan menghasilkan banyak ulama serta pemimpin di masyarakat.
Salah satu ulama-pemimpin yang terkenal adalah keturunan ia sendiri, Tuan Guru Bajang atau Muhammad Zainul Majdi, seorang Hafiz Al-Qur’an alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, yang menjadi Gubernur NTB dua periode dari 2008-2018.
Perjuangan di Zaman Revolusi
Pada zaman penjajahan, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid adalah sosok yang menginspirasi perjuangan melawan penjajah serta pendudukan kembali Belanda pasca kemerdekakan.
Dua madrasah HW dijadikan pusat pergerakan kemerdekaan.
Keduanya juga dijadikan tempat untuk menggembleng para patriot bangsa yang siap melawan dan mengusir para penjajah.
TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga membentuk gerakan yang bernama Gerakan al-Mujahidin yang melawan para penjajah dan terdiri para para santri-masyarakat.
Sebagai gerakan, ia juga bergabung bersama aliansi pejuang dari daerah-daerah lain di Pulau Lombok dan berjejaring dengan ulama-ulama di pelbagai wilayah di Nusantara untuk menentang penjajahan.
Wafat dan Karya Abadi
Setelah mengabdikan hidupnya penuh demi umat, beliau berpulang hari Selasa, 21 Oktober 1997 M / 18 Jumadil Akhir 1418 H dalam usia 99 tahun menurut kalender Masehi, atau usia 102 tahun menurut Hijriah.
Sang ulama karismatis, Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, berpulang ke rahmatullah sekitar pukul 19.53 WITA di kediaman beliau di desa Pancor, Lombok Timur.
Semasa hidupnya yang penuh keberkahan, beliau juga menuliskan kitab-kitab yang dijadikan rujukan pesantren di HW dan organisasi, baik itu dalam bahasa Arab, Indonesia, mapun sasak.
Beberapa di antaranya sebagai berikut:
- Risalah al-Tauhid
- Sullam al-Hija Syarah Safinah al-Naja
- Nahdlah al-Zainiah
- At Tuhfah al-Amfenaniyah
- Al Fawakih al-Nahdliyah
- Mi’raj al-Shibyan ila Sama’i Ilm al-Bayan
- Al-Nafahat ‘ala al-Taqrirah al-Saniyah
- Nail al-Anfal dll
Tiga warisan besar penting yang beliau tinggalkan: ribuan ulama, puluhan ribu santri, dan sekitar seribu lebih kelembagaan Nahdlatul Wathan yang tersebar di seluruh Indonesia dan mancanegara.
Beliau dimakamkan di kompleks Musala al-Abror, kompleks Pondok Pesantren Darunnahdlatain, Pancor, Lombok Timur.
Pemerintah pun menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional pada 9 November 2017, berdasarkan Keputusan Presiden No. 115/TK/Tahun 2017, ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.