Wali Songo, para penyebar agama Islam di bumi Nusantara selama ini telah mafhum diyakini oleh masyarakat sebagai waliyullah. Mereka adalah sosok ulama dan pendakwah yang paripurna, dengan kompetensi keilmuan yang mendalam lagi luas. Mereka tidak hanya seorang yang faqih tapi juga para pengamal tasawuf.
Kompetensi keilmuan para sunan yang tidak hanya terbatas pada tataran fiqhiyyah, membuat gerakan dakwah yang mereka kembangkan tidak terkesan “saklek”. Bahkan dengan nalar irfani-sufistik inilah, para Sunan dapat secara luwes membumikan ajaran-ajaran Islam secara arif dalam kehidupan masyarakat Nusantara.
Hal ini tidak terlepas dari model dakwah dan pendidikan mereka yang mampu menyeimbangkan dimensi fiqih (syariat) dan tasawuf. Salah satunya tidak dapat ditinggalkan begitu saja, dan bahkan harus berjalan bersama agar seorang murid (orang yang tengah menjalani suluk) dapat mencapai tingkat hakikat dan makrifatullah.
Terkait laku tasawuf, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi dalam Kitabnya Tanwirul Qulub, para ulama tasawuf bersepakat mengenai keharusan seorang murid belajar kepada seorang mursyid thariqah. Dengan mengambil baiat thariqah, seorang murid akan mendapatkan bimbingan dari sang mursyid, dengan praktik amaliyah thariqah yang sanadnya dapat dipertanggungjawabkan (mu’tabar).
Jika kita membaca ulang manuskrip-manuskrip yang disandarkan kepada para Sunan dan murid-muridnya, seperti Kitab Sunan Bonang (Het Boek van Bonang), Suluk Wujil, Serat Lokajaya dan lain sebagainya maka kita akan menemukan banyak sekali ajaran-ajaran tasawuf di dalamnya.
Manuskrip-manuskrip kitab-kitab tasawuf seperti al-Hikam Ibnu Athaillah dan Kitab Tuhfatul Mursalah Syekh Al-Burhanfuri yang ditulis dengan aksara-bahasa Nusantara juga kian menegaskan bahwa diskursus tasawuf memang secara sosio-historis diajarkan di masyarakat. Bahkan besarnya pengaruh ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, pada akhirnya memunculkan suatu genre kasusastraan Jawa bernama “Suluk” yang kandungannya sarat akan ajaran-ajaran tasawuf.
Dalam manuskrip Babad Tanah Jawa versi Drajad, terdapat salah satu fragmen yang meriwayatkan bagaimana Raden Paku (Sunan Giri muda) akhirnya mondok di pesantren Ampel Denta, asuhan Sunan Ampel.
Dengan diantar ibu angkatnya, Nyi Patih (Nyi Randha Samboja), Raden Paku dipasrahkan kepada Sang Sunan agar mendapat pengajaran agama. Nyi Patih bahkan berpesan agar Raden Paku dapat taat lahir-batin selama belajar kepada gurunya.
Menariknya, dalam naskah asal Paciran Lamongan tersebut, diriwayatkan bagaimana Sunan Ampel tidak hanya mengajarkan ilmu syariat, tapi juga ilmu thariqah dan ilmu hakikat.
Bagian bawah Naskah Babad Tanah Jawa versi Drajad, hal 64r
Bagian atas Naskah Babad Tanah Jawa Versi Drajad, hal 54v
Pada halaman 129-130 (halaman slide) atau halaman 64r-64v , disebutkan:
“Raden Paku winulang ngaji ing (Kan)jeng Sunan Ampel Denta, putus ilmu sedayane, syariat lawan thariqat, (su)merta ilmu hakikat, timulyo winulang suluk, ing wiride naqsyabandiyah.”
Dalam kutipan di atas, disebutkkan Raden Paku juga mendapatkan ajaran wirid thariqah naqsyabandiyah. Kutipan ini sebelumya juga sudah disebutkkan dalam buku Atlas Wali Songo karya Almaghfurlah KH Agus Sunyoto, sekalipun tanpa menyertakan informasi rincian halaman yang dikutip.
Jika kita membaca tranliterasi Naskah Babad Demak Pesisiran (yang memiliki kemiripan isi dengan Babad Tanah Jawa versi Drajad) yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1984), istilah Naqsyabandiyah justru keliru ditranlisterasi menjadi “Napsu Bandiyah.”
Informasi perihal pengajaran thariqah ini menjadi data sejarah tertulis yang penting, karena menegaskan afiliasi thariqah para Wali Songo, minimal melalui jalur Sunan Ampel dan murid-muridnya.
Dengan menyebutkan ilmu syariah, thariqah dan hakikat secara berurutan menjadi bukti bahwa para Sunan, seperti Sunan Ampel memanglah ulama-ulama yang khazanah keilmuannya tidak perlu diragukan lagi.
Tidak heran jika output dari pesantren Ampel Denta tidak kalah luar biasanya, seperti Sunan Giri yang menjadi salah satu suksesor dakwah dewan Wali Songo sepeninggal Sunan Ampel.
Sosok yang oleh para sejarawan barat dijuluki sebagai Paus van Java ini, menjadi sebagai salah satu tetua Wali Songo bersama Sunan Bonang dan rujukan otoritas keagamaan bagi masyarakat luas.
Lebih lanjut lagi kutipan di atas juga menegaskan bahwa bahwa Sunan Ampel memanglah seorang mursyid thariqah yang dibolehkan mengajarkan wirid thariqah dan mengambil baiat murid. Status kemursyidan inilah yang oleh Kiai Agus Sunyoto menjadi alasan Sunan Ampel diberi gelar Sunan/ Susuhunan, guru suci yang memiliki wewenang untuk mengambil diksha (baiat) kepada murid-murid rohaniahnya (baca: murid-murid thariqah)
Manuskrip yang diperkirakan berasal dari abad 18-20 M ini tentunya menambah catatan historis mengenai sanad dan jejaring thariqah para wali songo, yang umumnya selama ini bersumber dari sejarah lisan yang berkembang dalam suatu komunitas thariqah tertentu ataupun catatan-catatan sanad thariqah yang ada.
Manuskrip Babad Tanah Jawa (EAP061/2/54) yang merupakan koleksi Pesantren Tarbiyatut Thalabah Kranji Lamongan ini, kini telah didigitalisai oleh program Endangered Archives Programme (EAP) British Library serta dapat diakses secara luas, secara digital. (AN)