Jejak Pemikiran Muslimah Feminis Indonesia

Jejak Pemikiran Muslimah Feminis Indonesia

Menolak dipoligami dan memilih presiden perempuan, misalnya, tidak akan mengurangi keIslaman  seorang muslim atau muslimah.

Jejak Pemikiran Muslimah Feminis Indonesia

Dalam hal kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki, Indonesia, sebagai negara mayoritas muslim terbesar, boleh bangga dibanding beberapa negara-negara di dunia Islam lain. Contohnya, bila muslimah di Arab Saudi baru dapat menduduki jabatan di level kabinet tahun 2009 (Norah Al Faiz), maka di Indonesia perempuan muslim sudah lama bisa menjadi menteri dan menjabat sebagai presiden (Megawati Soekarnoputri, 2001-2004).

Sebagai umat mayoritas di negeri ini, tentu kesadaran pada isu kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan di kalangan umat Islam, berkontribusi besar pada kebebasan perempuan dalam mengekspresikan hak-haknya sebagai manusia di Indonesia.

Pada Desember tahun 2017, telah terbit buku “Islam Kepemimpinan Perempuan Dan Seksualitas (IKPS)”. Buku yang berformat kumpulan tulisan ini menyajikan pemikiran-pemikiran Dr. Neng Dara Affiah. Penulis (Neng Dara Affiah) adalah seorang muslimah feminis, mantan komisioner Komisi Nasional Perempuan periode 2010-2014 dan pengasuh pondok pesantren Annizhomiyyah, Pandeglang, Banten.

Bertemunya latar belakang muslimah tradisional dengan pendidikan tinggi dan pemikiran progresif ditambah aktivitasnya, membuat profil berikut pemikiran Neng Dara Affiah sangat menarik ditelaah. Tulisan-tulisan dalam buku ini merentang sejak zaman awal reformasi, tahun 1998 hingga tahun 2016. IKPS memotret gagasan-gagasan penulis dalam tema Islam dan kepemimpinan perempuan, Islam dan seksualitas perempuan lalu yang terakhir, perempuan, Islam dan negara.

Paragraf pertama pada artikel pertama berjudul “Islam dan Kepemimpinan Perempuan”, langsung menegaskan pendirian penulis yang menjadi pondasi pemikiran dalam seluruh aktivitas dan gagasan-gagasannya. Yakni, memandang ajaran Islam sebagai ajaran yang menjunjung tinggi kesetaraan di antara sesama manusia. Pandangan itu didasarkan pada argumen teologis. Di halaman 3 tertulis:

Salah satu keutamaan ajaran Islam adalah memandang manusia secara setara dengan tidak membeda-bedakannya, berdasarkan kelas sosial (kasta), ras dan jenis kelamin. Dalam Islam, yang membedakan sesorang dengan yang lain adalah kualitas ketakwaaannya, kebaikannya selama hidup di dunia dan warisan amal baik yang ditinggalkannya setelah ia meninggal (QS. Al Hujarat 49:13).”

Beberapa artikel pada bagian awal buku ini juga dapat menjadi referensi sejarah bagi generasi millenial yang baru lahir atau masih balita pada zaman awal reformasi. Contohnya, penulis merekam friksi isu “boleh/tidaknya perempuan menjadi pemimpin” yang saat itu ramai karena peluang Megawati Sukarnoputri menjadi presiden perempuan pertama Republik Indonesia cukup besar, dan akhirnya memang beliau memangku jabatan tersebut.

Mengingat kedudukan penulis sebagai pengasuh pondok pesantren, pendirian Neng Dara Affiah soal keperawanan sangat melampaui pola pikir masyarakat patriarki. Bila ‘kepala’ masyarakat patriarki pada umumnya mengukur kehormatan, moralitas dan kesucian perempuan dari selaput daranya, di halaman 184, ia berpendapat:

“…..konsep keperawanan adalah konsep yang dibentuk oleh konstruksi nilai dari masyarakat patriarkat yang tujuannya tidak lain dari pengarusutamaan laki-laki dan pengecilan diri perempuan dengan melihat perempuan dari selaput tipis selaput dara dan bukan pada kepribadiannya, pemikarannya, keilmuannya, keterampilannya dan berbagai aktivitasnya yang mencerminkan kemanusiaan perempuan secara total.”

Aspek personal penulis dapat dirasakan dalam “Kartini Yang Terkuburkan”. Dalam tulisan ini, penulis menggambarkan bagaimana H. Siti Masyitoh, sang nenek, menginspirasi penulis untuk memperjuangkan kesetaraan.

Pemilihan kata “nenekku” secara berulang-ulang dan kata “sepenuh hati” ditambah kisah keseharian akan membangkitkan sisi emosional pembaca tanpa kehilangan bobot argumen logis. Penulis menyebut sang nenek sebagai “indigenous feminist” yakni feminis yang tumbuh dari masyarakat lokal dan berbasis pada interaksi sehari-hari dalam kehidupan nyata (hlm 35).

Jika buku Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender (2001) memberi argumen teologis, maka karya Neng Dara Affiah ini sangat kental rasa sosiologinya. Dalam Fiqh Perempuan, Kyai Husein Muhammad menjabarkan, mengkritik dan menafsikan kembali satu per satu dalil serta opini dari teks-teks klasik. Latar belakang Kyai Husein sebagai santri yang kenyang mengkaji kitab tentu menjelaskan corak kajian Fiqh Perempuan.

Sedangkan observasi terhadap perilaku sosial manusia sangat terasa dalam IKPS. Meskipun penulis memberikan pula argumentasi teologis. Kompetensi Neng Dara Affiah sebagai magister dan doktor sosiologi terlihat jelas di sini. Sehingga antara Fiqh Perempuan dengan buku ini, saling melengkapi.

Namun ada beberapa isu yang tidak dimuat dalam IKPS. Topik LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender), sunat perempuan dan perempuan sebagai imam shalat, misalnya. Berdasarkan kiprahnya yang panjang sebagai aktivis perempuan, saya ragu Neng Dara Affiah belum pernah menulis tema-tema tersebut.

Khususnya untuk tema LGBT dan perempuan sebagai imam shalat, menarik sekali jika kita dapat memahami perspektif penulis. Secara akademis, akan sangat menggairahkan membaca posisi komprehensif seorang muslimah yang mengasuh pesantren tradisional dalam isu LGBT serta perempuan sebagai imam shalat.

Akan tetapi, dapat dipahami bila tema-tema tersebut belum ditampilkan dalam buku ini. Mengingat mood konservatisme yang sedang memenuhi ruang publik sekarang ini. Bisa timbul dampak sosial yang tak dapat dikendalikan jika tema-tema seperti LGBT dan perempuan sebagai imam shalat diangkat kembali. Terutama sekali tema LGBT.

Bentuk kompilasi tulisan, memudahkan pembaca untuk memahami materi buku ini artikel demi artikel. Pembaca tidak harus meluangkan waktu khusus guna membaca serta memahami isi buku secara keseluruhan. Kemampuan penulis menuangkan gagasan dalam bahasa yang lugas dan sederhana, memudahkan pembaca mencerna isu-isu berbobot.

Oleh karena artikel pertama dimulai dari halaman 3 dan berakhir pada halaman 189, buku ini sangat ringan dibawa ke mana-mana. Tipe buku berkualitas yang enak dibaca sambil menunggu antrian atau penundaan penerbangan, misalnya.

Buku ini berisi jejak-jejak pemikiran seorang muslimah feminis dengan. Neng Dara Affiah mampu meyakinkan pembaca bahwa Islam tidak bertentangan dengan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Menolak dipoligami dan memilih presiden perempuan, misalnya, tidak akan mengurangi keIslaman  seorang muslim atau muslimah. Selain itu, IKPS juga membuat pembaca menyadari bahwa kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki di Indonesia, bukanlah sesuatu yang taken for granted tapi harus selalu diperjuangkan.

 

Buku                    : Islam, Kepemimpinan Perempuan Dan Seksualitas

Penulis                 : Neng Dara Affiah

Halaman              : xii+200 halaman

Penerbit              : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2017, Jakarta