Siapa yang tidak kenal Ratna Sarumpaet? Seorang seniman sekaligus aktivis dan kini menjadi oposan terkeras pemerintahan Jokowi. Sebagai seniman dengan jiwa aktivis, orang pasti mengenalnya dengan sangat baik. Terbunuhnya Marsinah pada tahun 1993 membuat aktivismenya berontak dan marah sehingga ia menjadi terobsesi dengan kasus tersebut. Ini membuatnya kemudian pada tahun 1994 membuat naskah pementasan yang sangat orisinil. Naskah ini juga yang pertama untuknya dengan judul Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah. Mementaskan karya politik di tengah rejim despotik adalah kejahatan sekaligus keberanian.
Sebagai kejahatan, sejumlah pementasan dan karya-karyanya banyak dicekal oleh rejim Orde Baru. Sebagai keberanian, Sarumpaet adalah sosok yang sangat dikagumi. Kepercayaannya terhadap pro-demokrasi dan HAM sekaligus perlawanannya terhadap rejim Orde Baru membuatnya kemudian di penjara selama 70 hari pada tahun 1998.
Tempaan keras rejim Orde Baru ini membentuknya menjadi seniman yang berpihak kepada orang-orang yang termarginalkan. Dalam jiwa seniman ada advokasi yang ditawarkan dan dalam aktivismenya esensi seni kemanusiaan yang ditunjukkan. Karena itu, kontribusi sekaligus karya-karya seni peran yang dibuat dan dimainkan, tidak ada satupun orang yang dapat meragukan advokasi dan aktivisme yang dilakukannya dalam memperjuangkan HAM dan mereka yang tertindas.
Memiliki jejak rekam terhadap HAM dan berpihak kepada mereka yang tertindas ini menjadi ganjil saat ia kemudian terlibat dalam tim pemenangan Prabowo-Sandi dalam Pilpres 2019. Memang sebelumnya ia telah menjadi oposisi jalanan yang bersuara lantang kepada siapa saja pejabat publik yang menciderai HAM masyarakat Indonesia. Namun, mendukung dan menjadi tim badan pemenangan nasional ini justru meragukan publik mengingat jejak kelam Prabowo yang justru menjadi bagian dari pelanggaran HAM di zaman Orde Baru yang justru dilawannya.
Titik balik ini yang membuat banyak orang meragukan sentimen aktivisme HAM-nya, mengingat ia tidak bisa lagi bersikap jernih untuk melihat isu-isu sosial dan politik di Indonesia dengan jernih. Ironisnya, ia menjadi demagog Prabowo dan menjadi pengkritik keras kepada Jokowi yang secara nilai dan latarbelakang seharusnya memiliki irisan-irisan yang sama. Di tengah iklim reformasi yang sudah berjalan selama 20 tahun, menganggap setiap rejim yang berkuasa memiliki irisan otoriter yang sama dengan rejim Orde Baru adalah kesalahan. Ini karena, otonomi daerah adanya partisipasi publik sekaligus demokratisasi melalui media baru baru, memungkinkan setiap orang untuk mengkritik.
Kondisi pemerintahan sekarang seperti rejim Orde Baru inilah yang tampak terlihat dalam imajinasi Sarumpaet. Hal ini tercermin dari komentar-komentarnya. Karena itu, ia bisa dengan berani melakukan provokasi kepada rejim yang berkuasa sekarang dengan komentar-komentar yang menantang di akun twitternya, sekalipun itu mengandung kebohongan-kebohongan. Misalnya, PT Dirgantara yang dianggap sudah dijual oleh Republik Rakyat China, Hoaks uang pecahan Rp.200.000, hingga duit para raja yang diblokir oleh pemerintahan Jokowi.
Namun, dari hoaks yang diproduksi tersebut, tidak ada satupun yang diusut dan membuatnya menjadi tersangka. Akibatnya, apapun yang terkait dengan dirinya sebisa mungkin memungkinkan untuk menurunkan elektabilitas rejim yang berkuasa saat ini. Karena itu, usai operasi plastik wajahnya dan kemudian ditanya oleh anaknya terkait dengan kondisi wajahnya yang terlihat lebam, ia sekedar menjawab itu karena dianiaya oleh tiga orang tidak dikenal. Sebagai orang yang memiliki jejak panjang seniman dan aktivis ancaman tersebut merupakan suatu hal yang biasa dan menjadi darah daging kehidupannya. Namun, di tengah keberpihakan kepada kubu Prabowo dan memungkikan menaikkan elektabilitas, dalih ancaman dianiaya ini menjadi senjata yang ampuh untuk membayangkan rejim otoriter dalam tubuh pemerintahan Jokowi.
Di sini, jiwa keseniannya muncul. Memainkan diri sebagai korban yang teraniaya oleh orang tidak dikenal merupakan narasi tepat menjatuhkan nama petahana. Di sisi lain, narasi dianiaya ini merupakan amunisi tepat untuk mengkritik rejim Jokowi yang selama ini dianggap ramah HAM. Narasi inilah yang setidaknya sedikit banyak ‘memulihkan’ nama Prabowo dari tuduhan pelanggaran HAM.
Reputasi Ratna sebagai seniman dan aktivis membuat lingkaran elit terdekat Prabowo percaya. Apalagi, lebam di wajahnya memungkinkan dirinya tampak seperti individu yang habis dipukuli. Dramaturgi ini kemudian dibangun. Prabowo bersama tim pemenangan presiden dan calon presiden beserta partai pendukungnya melakukan konferensi dihadapan wartawan pada 3 Oktober 2018 jam 20.00 terkait dengan penganiayaan yang dialami oleh Ratna. Bertolak dari sini dan sebelumnya, penganiayaan Ratna ini menjadi viral.
Semua elit pendukungnya bersuara lantang di Twitter dengan narasi-narasi menggunggah. Bahkan, dengan sangat puitik Hanum Rais, puterinya Amien Rais, menganggap Ratna merupakan Cut Nyak Dien masa kini; berani bersuara lantang dan kritis!. Melihat isu semacam ini, mengingatkan saya kembali kepada kasus Ahok terkait dengan tuduhan penistaan agama, di mana pihak kepolisian tidak bisa membendung arus viral informasi hoaks terkait tuduhan penistaan agama yang kemudian dianggap menjadi kebenaran melalui tekanan mobilisasi massa.
Namun, pihak kepolisian tampak belajar dari kasus tersebut. Dengan sigap, tanpa perlu melakukan investigasi kepada Ratna Sarumpaet, mereka menelusuri jejak digital informasi dan komunikasi,baik itu telepon genggam yang digunakan, rekening yang dipakai, hingga CCTV yang dipasang di sejumlah Rumah Sakit di Bandung. Alih-alih dianiaya, ia ternyata melakukan operasi plastik RS Bina Estetika, Rumah Sakit Khusus Bedah Plastik dan Umum di Jakarta Pusat. Data-data tersebut membuatnya tidak bisa mengelak, apalagi kemudian memungkiri. Ia kemudian mengakui perbuatannya tersebut dan menganggap bahwasanya setan-lah yang selama ini menjadi dalang semua itu.
Sementara itu, elit politik dan para penggaungnya (buzzers), sebelumnya lantang menyuarakan keadilan dan mempertanyakan pemerintahan yang berkuasa saat ini, satu persatu melakukan proses cuci tangan dengan menyudutkan beliau satu-satunya pangkal kesalahan mengapa Hoaks terjadi. Padahal, viralnya hoaks tersebut justru diamplifikasi oleh mereka dan mereka pula yang kemudian melakukan proses cuci tangan.
Terlepas dari hal tersebut, harus diakui, dramaturgi yang dimainkan oleh Ratna Sarumpaet dan elit politik pendukung Prabowo-Sandi adalah hoaks terbaik tahun 2018. Disebut demikian, karena bisa membuat kasus itu menjadi viral tanpa proses klarifikasi terlebih dahulu. Selain itu, kasus ini menjadi bahan pelajaran yang baik untuk gerakan literasi dengan merunut proses hoaks yang menjadi viral dan kemudian terbongkar di publik Indonesia, yang dilakukan oleh segelintir elit politik dalam mencapai kekuasaan.