Tindak pidana terorisme merupakan kejahatan yang serius yang membahayakan ideologi negara, keamanan negara, kedaulatan negara, nilai kemanusiaan, dan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Terorisme bersifat lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas serta memiliki tujuan tertentu. Sangat disesalkan, dalam organisasi terorisme ini ada keterlibatan warga negara Indonesia baik bersifat individu atau kelompok, yang terlibat dalam organisasi, baik di dalam dan/atau di luar negeri.
Pascaperistiwa Bom Bali I (2002), Pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PP) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. PP tersebut kemudian ditingkatkan statusnya menjadi Undang-Undang yaitu dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. Pada tahun 2018, UU tersebut disempurnakan dengan terbitnya UU No 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU No 15 tahun 2003 tentang penetapan PP pengganti UU No 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU.
Dalam UU No 5 tahun 2018 tersebut, terdapat ketetapan kriminalisasi baru, perluasan dan pemberatan sanksi terhadap berbagai modus baru terorisme, antara lain:
- Menyediakan bahan peledak atau senjata kimia, biologi, radiaktif, nuklir (Pasal 10A),
- Mengikuti pelatihan militer/paramiliter (Pasal 12B).
- Perluasan sanksi kepada pendiri, pemimpin, pengurus, pengarah organisasi/korporasi (Pasal 12A).
- Pemberatan sanksi pidana, 3-7 th, 3-12 th, 4-15 th.
- Pencabutan hak memiliki paspor.
- Kekhususan hukum acara pidana.
Selain ketetapan baru di atas, juga terdapat pasal baru yang mengatur perlindungan korban, pencegahan tindak pidana terorisme oleh instansi terkait di bawah BNPT, dan kelembagaan BNPT, peran TNI, serta pengawasannya.
Dalam Pasal 43 UU No 5 tahun 2018 tersebut juga disebutkan, pemerintah wajib melaksanakan pencegahan terorisme. Atas dasar itu, sudah semestinya pemerintah bekerja keras untuk melakukan upaya-upaya pencegahan yang salah satu upayanya adalah melakukan penangkapan terhadap anggota kelompok jaringan terorisme sebelum mereka melakukan aksinya.
Pada (16/11) Tim Detasemen Khusus 88 Anti teror Polri (Densus 88) menangkap Farid Okbah, Zain an-Najah, dan Anung al-Hamat. Ketiganya ditangkap atas dugaan keterlibatan dalam organisasi Jamaah Islamiyah. Farid Okbah disebut sebagai mentor di kalangan Jamaah Islamiyah, ia pernah berangkat ke Afghanistan menjadi afiliator atau koordinator Jamaah Islamiyah. Farid Okbah & Zaini an-Najah, keduanya juga terlibat dalam LAZ Abdurrahman Bin Auf (salah satu sumber pendanaan terorisme) yang berhasil dibongkar oleh Densus 88 pada tanggal 3/11/2021. Sedangkan Anung al-Hamat merupakan pengurus dan juga pendiri Perisai Nusantara Esa; organisasi advokasi sayap Jamaah Islamiyah.
Penangkapan terduga anggota jaringan terorisme, biasanya merupakan pengembangan dari penyidikan dan pemeriksaan atas penangkapan-penangkapan sebelumnya oleh Densus 88. Penangkapan ketiga tokoh di atas, juga erat kaitannya dengan pemeriksaan dan pengembangan dari beberapa penangkapan sebelumnya, antara lain: (1) penangkapan Para Wijayanto (29/6/2019). Penangkapan Para Wijayanto telah membuka jalan bagi Densus 88 untuk mempelajari struktur organisasi, pola rekrutmen, hingga skema pendanaan aktivitas kelompok. (2) Selama Oktober – November 2020, ada 24 anggota JI ditangkap dari berbagai wilayah di Indonesia. Di antara mereka yang ditangkap tersebut, terdapat beberapa pimpinan JI yang berperan mengendalikan organisasi dan mendanai kegiatan JI. (3) Tahun 2021, JI menangkap jaringan terorisme di Lampung, Makasar, Bekasi, dan Papua. Densus 88 juga berhasil membongkar jaringan kotak amal penggalangan dana bagi terorisme di Lampung pada Rabu (3/11/2021), serta menangkap 5 orang terduga teroris anggota JI di Jatim (9/11).
Di Lampung, pada Rabu (3/11/2021) sebagaimana disebutkan di atas, Densus 88 mengamankan tiga orang terduga pelaku di beberapa lokasi di Lampung beserta sejumlah barang bukti berupa delapan unit Central Processing Unit (CPU) dan 791 kotak amal. Kotak amal tersebut milik Lembaga Amil Zakat (LAZ) Yayasan Abdurrahman bin Auf yang beralamat di Way Halim, Bandar Lampung, Lampung. Berdasarkan hasil penyelidikan, hasil kotak amal tersebut, sebagian digunakan untuk pendanaan jaringan terorisme.
Keterlibatan jaringan JI dalam penggalangan dana melalui kotak amal, merupakan sebuah temuan baru. Selama ini, JI hanya dikenal sebagai organisasi yang anggota-anggotanya banyak terlibat dalam aksi terorisme. Secara historis JI adalah pecahan dari NII. Pimpinan JI yang pertama adalah Abdullah Sungkar, Ia banyak mengirim anggotanya ke Afganistan untuk dilatih militer dan menjadi Mujahidin.
Sepulangnya ke Indonesia, anggota JI banyak yang terlibat dalam aksi-aski terorisme di Indonesia seperti bom malam Natal tahun 2000, Bom Bali I (2002) dan II (2005), bom di Hotel JW Marriott (2003), dan bom Kedubes Australia. Pada proses berikutnya, dikethui bahwa JI merupakan bagian jaringan terorisme Al-Qaeda.
Dengan berbagai keterlibatan anggotanya dalam aksi terorisme, JI kemudian dinyatakan organisasi/korporasi terlarang oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tahun 2008. Pada tahun yang sama, JI juga dinyatakan sebagai organisasi teror global dalam resolusi PBB nomor 1267 tahun 2008, yang merupakan resolusi terkait kegiatan pendanaan terorisme.
JI merupakan organisasi yang tidak mudah dilumpuhkan, karena berorientasi sebagai gerakan “Tamkin” atau penguasaan wilayah, memiliki tujuan perjuangan yang bersifat jangka pendek dan jangka panjang. Dalam pandangan anggota JI, selama 25 tahun ke depan mereka yakin akan dapat menguasai Indonesia.
Saat ini JI tidak banyak melakukan aksi terorisme. Aksi-Aksi terorisme yang terjadi pada beberapa tahun terakhir, misalnya bom Surabaya (2018) dan bom Makasar (2021) dilakukan oleh para anggota JAD. Gerakan JI, ternyata tidak hanya terorisme, tapi juga organisasi social keagamaan; bergerak melalui yayasan pendidikan dan gerakan amal sosial/ isu-isu kemanusiaan (membantu keluarga teroris, isu Palestina, Syria, dll.).
Estimasi jumlah anggota JI mencapai 6.000-7.000 orang yang tersebar di beberapa wilayah Indoensia, kini Gerakan JI lebih inklusif, mereka masuk menyusup ke berbagai institusi dan struktur social di masyarakat. Langkah ini ternayata efektif, pada tahun 2010, ada 31 aparat negara dan pemerintahan, 18 di antaranya ASN, 8 eks Polri dan 5 eks TNI yang terlibat dalam jaringan ini.
Dengan demikian, meski mereka kini tidak banyak melakukan aksi pemboman, namun tetap berbahaya, sebab mereka anggotanya banyak menyusup dan merekrut individu yang ada dalam instutusi pendidikan, ormas keagamaan, ormas kepemudaan, pemerintahan, bahkan Polri dan TNI.
Atas dasar itu, dugaan keterlibatan Zain an-Najah dalam Jamaah Islamiyah, murni tindakan individu hingga tidak ada keterkaitan dengan MUI sebagai organisasi. Demikian halnya sebagai pengurus DDII, keterlibatan Zaini an-Najah dalam JI juga murni tindakan individu, hingga tidak ada keterkaitan dengan DDII sebagai organisasi. Setiap organisasi bisa saja memiliki anggota atau pengurus yang melakukan tindak pidana. Hal itu tidak berarti organisasinya terlibat
MUI secara kelembagaan menolak aksi terorisme. MUI pernah mengeluarkan fatwa tentang haramnya terorisme, yaitu Fatwa No 3 th 2004 tentang terorisme. Setelah penangkapan Zaini an-Najah, MUI juga mengeluarkan “Bayan MUI tentang Dugaan Tersangka Terorisme” tanggal 17/11 yang pada point (2) menyatakan, keterlibatan yang bersangkutan dalam jaringan terorisme merupakan urusan priadinya dan tidak ada sangkut pautnya dengan MUI. Adas dasar tersebut di atas, kita menyerahkan penangkapan terduga terorisme kepada proses hukum, namun tidak sampai pada tuntutan pembubaran MUI, karena bersifat tindakan pribadi.