Beberapa tahun terakhir, banyak bermunculan para pendakwah yang aktif di tv dan sosial media yang terkenal berkat kisahnya sebelum mualaf atau sebelum hijrah ke jalan yang benar. Namun karena tak disokong dengan kemampuan yang baik akan ilmu agama, sehingga sering didapati para ustaz hijrah tersebut salah dalam pelafalan ayat suci al-Qur’an.
Bahkan kerap kali para ustaz hijrah tersebut melontarkan ceramah yang memancing sentimen publik dan membuat kuping panas. Jika sudah begini, maka sebenarnya apa saja sih syarat yang seharusnya dimiliki oleh seseorang jika ingin menjadi pendakwah?
Menurut Abu Laist Samarqandi dalam kitab Tanbihul Ghafilin, seharusnya para pendakwah memiliki lima syarat berikut ini
Pertama, mendalami ilmu agama. Sebab seseorang tidak bisa melakukan ibadah dan ajaran Islam dengan benar kecuali ia memiliki pengetahuan agama. Apalagi bagi seorang pendakwah, tanggungjawab mereka lebih berat karena jika ia tidak belajar dengan benar maka berpotensi menyebarkan pemahaman yang salah kepada orang lain yang ia dakwahi.
Karena itu ulama yang sesungguhnya akan berhati-hati menyampaikan dakwah karena ia tahu hal tersebut akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah SWT, sebagaimana Ia berkata dalam firman-Nya
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Fathir; 28)
Kedua, ikhlas dalam berdakwah. Hendaknya dakwah yang dilakukan hanya karena Allah SWT dan demi kebaikan agama Islam bukan demi kepentingan diri sendiri. Karena Allah telah berjanji dalam firman-Nya bahwa ia akan menolong orang yang menegakkan agama Allah dengan ikhlas.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَنصُرُوا اللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Artinya : “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)
Ketiga, kasih sayang terhadap orang yang ia nasehati. Karena Allah memerintahkan kepada Nabi Musa dan Nabi Harun agar berkata lembut kepada Firaun meski ia melampaui batas (QS. Thaha; 44). Sebab jika dakwah dilakukan dengan kekerasan mana mungkin bisa melembutkan hati orang lain dan membuat mereka akan menerima Islam dengan sepenuh hati? Sebagaimana Allah berfirman kepada Nabi Muhammad dalam ayat berikut
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali Imran; 159)
Keempat, sabar dan tenang dalam berdakwah. Hal tersebut karena memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan itu sulit dan berat dilakukan oleh jiwa yang tidak terbiasa melakukannya. Itu pula pesan Allah kepada Nabi Muhammad sebagaimana dalam firman-Nya berikut ini
وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ
Artinya ; Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu (QS. Luqman; 17)
Kelima, mengamalkan apa yang telah ia dakwahkan agar ia tidak termasuk orang-orang yang dikecam oleh Allah Swt dalam firman-Nya berikut ini:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Artinya: Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? (QS. Al-Baqarah; 44)
Selengkapnya, klik di sini