Ada dalil yang bilang musik haram. Ada juga dalil yang mensinyalir kebolehan musik. Keduanya sama-sama kuat dan merujuk kepada sumber yang sama, Nabi Muhammad SAW.
Satu hari Nabi sedang khutbah Jum’at. Lalu, datanglah sekelompok kafilah dagang yang besar. Bersamaan dengan itu, kafilah tersebut menggelar live music, genap dengan biduannya.
Para sahabat yang sedianya menyimak Rasul auto bubar seketika. Lalu, tersisalah 12 orang yang menurut rekaman mutafaqun alaih (Bukhari-Muslim) termasuk di dalamnya adalah Abu Bakar, Umar, Jabir dan sejumlah sahabat senior lainnya. Ditengarai, kejadian itu lalu menjadi latar belakang turunnya ayat 11 Surah al-Jumu’ah.
Uniknya, ketika para sahabat ditanya alasan mereka meninggalkan khutbah Jum’at, jawabannya adalah kelewat membagongkan.
“Apakah kamu benci Muhammad?”
“Tidak. Rasulullah tetap orang yang paling kita cintai. Tapi kan Nabi mengajar tiap hari, sedangkan kalau ada musik itu jarang-jarang,” tukas para sahabat yang meninggalkan khutbah.
Oleh sebagian ulama, fenomena di atas dijadikan alasan keharaman musik. Lebih dari itu, ada beberapa dalil penguat lain yang secara tegas menyebut jika ada hubungan gelap antara musik dengan setan di level instrumennya. Ini terekam dalam catatan Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Lain kesempatan, dua biduan sedang bernyanyi lagu-lagu Anshar (yaum bu’ats) di kediaman Sayyidah Aisyah, istri Nabi. Sejurus kemudian, Abu Bakar masuk ke ruangan itu. Lalu Aisyah ditegur, “instrumen kayak setan kok dimainkan di rumah Nabi! Di momentum idul fitri pula!!”
Walakin, respon Nabi di luar dugaan. Kepada Abu Bakar, Nabi Muhammad bilang, “setiap orang punya festivalnya sendiri, dan hari ini adalah festival kita.” Suasana pun kembali cair.
Pembiaran Nabi terhadap apa yang dilakukan Aisyah di hari raya lebaran itu tidak saja menunjukkan betapa rileksnya Nabi Muhammad, tetapi juga menegaskan bahwa ekspresi kebudayaan untuk merayakan hari kemenangan adalah valid.
Sikap rileks Nabi terhadap ekspresi kebudayaan dapat kita temukan juga di riwayat lain ketika Siti Aisyah mengantarkan seorang pengantin wanita kepada pengantin pria yang merupakan orang Anshar.
Rasulullah bersabda: “Wahai Aisyah! Apakah kalian tidak bawa musik? Sungguh orang-orang Anshar itu menyukai musik.” Sebetulnya, redaksi asli dari hadis ini adalah lahwun. Bahasa Inggris menerjemahkan lahwun sebagai amusment. Bahasa Indonesia-nya adalah hiburan. Perlu diskusi (semantik) lain untuk mendedahkan argumen lahwun menjadi musik.
Yang jelas, musik adalah bagian dari hiburan. Persoalannya adalah seberapa jauh hiburan itu bisa membuat umat lalai dengan kebenaran, keadilan, dan tanggungjawab?
Habib Ali Al-Jufri mengatakan kalau hukum keharaman musik tidak bisa digeneralisir. Lebih dari 30 ulama besar Ahlussunnah wal Jama’ah dari empat madzhab berpendapat hukum mendengar musik tidak tergantung pada alatnya, tapi tergantung pada dampak yang ditimbulkan bagi orang yang mendengarkan. Jika dampaknya positif, maka menikmati musik boleh. Tapi kalau dampaknya negatif, hukum mendengarkan musik adalah haram.
Ternyata, musik yang diharam-haramin oleh sebagian sobat ‘muhajirin’ (seleb-seleb hijrah) tidak selamanya mendatangkan maksiat seperti yang diklaim eks gitaris salah satu band terkenal di Indonesia beberapa waktu lalu.
Serpihan sejarah menyebut jika peradaban Islam terbukti pernah mendominasi di bidang musik. Ini merupakan konsekuensi logis dari perkembangan (kekuasaan) Islam yang mau gak mau harus berbaur dengan kebudayaan di luar dirinya.
Sulit untuk membayangkan absennya musik dari dinasti sekelas Ummayah I (661-750). Istana di kawasan ibu kota kekhalifahan yang saat itu berada di Damaskus cukup sesak oleh para musisi.
Musisi periode Umayah I yang paling masyhur adalah Ibn Misjah. Tidak saja terkenal sebagai penyanyi, Ibn Misjah juga menguasai teori dan ragam musik ala Persia dan Bizantium. Rekam jejak dan jam terbang Ibn Misjah dalam dunia permusikan tertuang dalam Kitab Al-Aghani (The Book of Songs) karya Faraj al-Isybahani pada abad ke-10.
Informasi lain tentang dunia permusikan Islam awal juga dicatat oleh Yunus al-Katib dalam buku yang telah diterjemahkan dalam Bahasa Inggris berjudul The Great Book of Song setebal 21 Jilid. Saking meledaknya karya ini seorang sosiolog Muslim, Ibn Khaldun, sampai memuji Yunus Al-Khatib sebagai “biang musik”.
Angin politik berubah. Ummayah I berganti Abbasiyah (750 M). Ibu Kota kekhalifahan di Baghdad menjadi kiblat musik sedunia. Bisa dibilang bahwa era Kekhalifahan Abbasiyah adalah periode paling gemilang (The Golden Age) untuk dunia musik, dan ilmu pengetahuan lainnya. Penguasaan musik seolah menjadi keharusan bagi kalangan terpelajar saat itu, bil khusus bagi mereka yang bergiat di bidang virtuositas, teori estetika, pengalaman spiritual (kalau bukan mistis), dan spekulasi matematis.
Di lain pihak, para musisi profesional dipersyaratkan memiliki penguasaan teknis, daya kreatif, dan penguasaan ensiklopedis yang memadai. Dengan kata lain, tidak ada musisi yang tidak berpengetahuan. Salah dua pemusik di era Abbasiyah yang kondang adalah Ibrahim al-Mawshili dan Ishaq al-Mawshili.
Selain hubungan bapak-anak, baik Ibrahim al-Mawshili maupun Ishaq al-Mawshili adalah sama-sama berkiprah dalam perdebatan aliran modernisme Romantik Persia dan Klasikisme Arab. Modernisme Persia diwakili oleh Ibn Jami’ dan Ibrahim bin al-Mahdi, sedangkan aliran klasik didukung oleh duo Mawshilis.
Rupanya, Ishaq al-Mawshili telah menulis sedikitnya 40 buku tentang musik, baik berkaitan dengan teori maupun koleksi karya musik. Sayang, kebanyakan karya Ishaq itu diduga telah hilang akibat krisis politik umat Islam.
Menurut catatan Kitab al-Aghani, Ishaq al-Mawshili merupakan penggagas teori modus-modus melodi musik Islamis generasi awal. Salah satu karya Ishaq adalah Ashbi’ (jari-jari), berisi susunan modus-modus fret ‘Ud dan penempatan jari-jari tangan kiri yang berkaitan dengannya.
Kalau hari ini kamu merasa familiar dengan Solmilasi (do-re-mi-fa-so-la-si-do), ketahuilah jika itu adalah garapan Ishaq al-Mawshili. Bahwa di belakang hari terdapat propaganda notasi Guido’s Hand tentang penemu Solmilasi, harap diketahui juga kalau Guido Arrezo cuma melakukan CTRL + S dari notasi arab yang telah ditemukan dan digunakan sejak abad ke-9 M oleh para ilmuwan Muslim.
Lha gimana, Guido Arrezo baru tahu tentang Solmisasi setelah mempelajari Catalogna, sebuah buku teori musik berbahasa Latin yang berisi kumpulan penemuan ilmuwan Muslim di bidang musik. Sementara itu, Catalogna baru diterbitkan di Monte Cassino pada abad ke-11.
Padahal sejak paruh kedua abad ke-8 M, literatur tentang teori musik telah menjamur di pusat-pusat kebudayaan Islam. Al-Kindi, filsuf terkenal yang kelewat fasih dalam ilmu-ilmu Yunani, menulis lebih dari 13 karya tentang musik, termasuk di antaranya adalah literatur musikal Arab tertua. Dia juga membidik teori etos (ta’tsir) dan aspek-aspek kosmologis dari musik.
Selain Al-Kindi, filsuf Muslim lain seteras Ibn Sina dan Al-Farabi juga berminat menyelidiki topik-topik yang berkaitan dengan teori bunyi, interval, jenis musik, dan infrastruktur musik seperti komposisi, ritme, dan instrumen. Secara khusus, al-Farabi menulis Kitab al-Musiq al-Kabir.
Sampai di sini, moral yang bisa kita ambil adalah peradaban Islam akan tetap menjadi peradaban ber-flower kalau sikap umatnya cenderung menutup diri dengan pengetahuan duniawi. Dan itulah letak paradoksnya. Kampanyenya sih hijrah; misinya untuk mengembalikan kejayaan Islam; tapi kok infrastruktur yang memungkinkan kejayaan Islam justru diberangus. Haissh, Ramashokkk!!
Artikel ini adalah hasil kerjasama Islami.co dengan Yayasan Pemuda Tersesat