Selain Jamaah Islamiyah (JI), dan Mujahidin KOMPAK, pada tahun 2006 lahir organisasi jihadi lain. Organisasi ini lebih bersifat terbuka. Organisasi yang saya maksud adalah Jamaah Anshorut Tauhid (JAT).
Kelahiran JAT tidak dapat dilepaskan dari konflik antara Abu Bakar Baasyir dengan para petinggi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Konflik keduanya menyangkut sistem suksesi kepemimpin organisasi. Ketika kedua belah pihak tidak menemukan titik temu, Abu Bakar Baasyir dan pendukungnya memilih memisahkan diri dengan membentuk organisasi jihad baru, JAT.
Setelah deklarasi di Bekasi pada 2006, JAT dengan cepat membentuk kepengurusan di tingkat provinsi dan kabupaten. Anggotanya merupakan orang-orang JI, MMI, dan anggota-anggota baru yang banyak di antaranya merupakan kelompok kelasyakaran. Sejak era reformasi 1998, berbagai daerah tumbuh organisasi kelasyakaran yang mengklaim bertujuan untuk menghancurkan kemaksiatan, menegakkan tertib sosial di bawah slogan amar makruf nahi munkar. Kota Solo merupakan salah satu pusat dimana organisasi kelasykaran banyak tumbuh.
Para anggota organisasi kelasykaran ini umumnya adalah anak muda yang memiliki semangat tinggi dalam menegakkan ajaran agama di tengah-tengah masyarakat. Tetapi, beberapa aksinya menampilkan citra yang kurang simpatik dan cenderung mengedepankan intimidasi.
Ketika JAT berdiri para pemuda dari organisasi kelasykaran lokal banyak yang bergabung. Karena semangatnya yang begitu tinggi, seringkali mereka mengedepankan heroisme dan reaksioner dalam menyikapi dinamika sosial-politik. Selama tiga tahun pertama berdiri, tokoh-tokoh JAT memiliki kedekatan dengan para pelaku aksi terorisme di Indonesia. Anggota-anggotanya banyak yang terlibat jaringan terorisme. Agak sulit untuk mengatakan organisasi ini tidak mendukung aksi-aksi terorisme. Sekalipun sebagian pemimpinnya menyangkalnya, bahkan secara resmi, organisasi membentuk lembaga bantuan hukum untuk anggotanya yang terlibat kasus terorisme.
Puncak keterlibatan JAT dalam jaringan kelompok teror adalah pada tahun 2010 para pemimpin organisasi ini mendukung kegiatan pelatihan militer di hutan Jantho, Aceh. Pelatihan militer yang disebut I’dad Askari konon diinisiasi oleh Dul Matin, anggota JI yang diburu aparat keamanan karena keterlibatannya dalam sejumlah aksi terorisme. Pelatihan militer ini bersifat lintas organisasi jihad (lintas tanzhim). Di antara yang terlibat dalam agenda ini adalah Jamaah Tauhid Wal Jihad (binaan Aman Abdurrahman), Mujahidin Ring Banten, Mujahidin KOMPAK, serta tentu saja beberapa anggota JI dan JAT. Pelatihan ini tercium oleh aparat dan terjadi penangkapan besar-besaran. Tidak kurang dari 80-an orang ditangkap dan diadili dalam kasus ini.
I’dad Askari dalam pandangan para anggota JAT merupakan kewajiban agama. Hal ini penting dilakukan untuk mendukung agenda jihad yang mereka usung. Sekalipun tidak ada medan jihad (baca: kawasan konflik), mereka percaya bahwa musuh sedang mengintai dan mempersiapkan diri untuk menyerang. Sehingga menjadi kewajiban Muslim –dalam versi mereka, untuk menyiapkan diri dengan latihan kemiliteran. Abu Bakar Baasyir divonis pengadilan bersalah dan dinyatakan terlibat dalam bentuk pendanaan aksi. Demikian pula sejumlah pemimpin JAT, juga ditangkap dan divonis bersalah oleh pengadilan.
Selain terlibat dalam pelatihan militer di Aceh, anggota JAT juga ada yang melakukan aksi pengeboman di Cirebon, Jawa Barat dan di Solo, Jawa Tengah. Muhammad Syarif meledakkan diri di masjid Az-Zikro yang berada di Markas Polisi Resor Kota Cirebon. Jaringan pengeboman Cirebon menyusul dengan melakukan aksi pengeboman Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), Kepunten, Solo. Sekali lagi, pemimpin JAT membantah keterlibatan organisasi. Mereka memang mengakui bahwa para pelaku adalah anggota organisasinya. Tetapi, aksi itu sama sekali bukan kebijakan organisasi. Artinya, anggotanya bergerak di luar aturan organisasi.
Pada tahun 2012, Departemen Keuangan Amerika Serikat merilis laporan tiga pemimpin JAT yang memiliki hubungan dengan Al-Qaeda. Praktis, JAT masuk dalam daftar organisasi teroris. Kedekatan JAT dengan berbagai faksi jihadis di Indonesia semakin kuat dengan keterlibatan anggotanya dalam mendirikan organisasi jihad Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso, Sulawesi Tengah. Santoso alias Abu Wardah merupakan anggota JAT di kawasan tersebut yang menjadi pemimpin MIT selama bertahun-tahun.
JAT mulai goyah ketika muncul kelompok Islamic State in Iraq and Syiria (ISIS), di Timur Tengah. Kelompok ini telah menguasai kawasan luas di perbatasan Irak dan Suriah. Kelompok ini bermula dari Jamaah Tauhid Wal Jihad, di bawah kepemimpinan Abu Musab Al-Zarqawi. Zarqawi adalah murid Abu Muhammad Al-Maqdisi. Ajaran Al-Maqdisi telah lama menyebar di Indonesia melalui penerjemahan buku yang dilakukan oleh Aman Abdurrahman. Aman Abdurrahman juga mendirikan kelompok yang bernama Jamaah Tauhid Wal Jihad yang beroperasi di sekitar Cimanggis, Depok, Jawa Barat.
Ketika ditangkap pada 2010 karena keterlibatannya dalam kasus pelatihan militer di Aceh, Aman Abdurrahman dan para narapidana kasus ini berkumpul dalam satu penjara di Cipinang, Jakarta Timur. Di sinilah terjadi pertemuan yang intens. Aman Abdurrahman berhasil mempengaruhi anggota-anggota JAT yang dekat dengannya. Ketika Aman Abdurrahman dipindahkan ke Pulau Nusakambangan, Jawa Tengah, dia berhasil mempengaruhi sebagian narapidana kasus terorisme. Di sinilah pengaruh Aman Abdurrahman kemudian membuat Abu Bakar Baasyir yang saat itu dipenjara di tempat yang sama menemukan momentumnya. Orang-orang di sekitar Abu Bakar Baasyir sudah percaya dengan semua pernyataan Aman Abdurrahman.
Ketika ISIS mendeklarasikan diri sebagai Daulah Islamiyah atau Islamic State (IS), dengan penuh kesadaran Abu Bakar Baasyir memberikan dukungan dalam bentuk baiat (sumpah setia) kepada organisasi teroris itu. Para pengikut Abu Bakar Baasyir di lingkungan JAT terbelah. Sebagian mengikuti langkah pemimpinnya, memberi dukungan terhadap IS. Tetapi tidak sedikit yang kemudian menolak, dan mendirikan organisasi baru. Termasuk di antaranya adalah anak Abu Bakar Baasyir, ustadz Abdurrahim yang bersama eks anggota JAT lain yang tidak setuju IS, mendirikan Jamaah Anshorus Syariah (JAS).
Para pendukung Abu Bakar Baasyir kemudian melakukan aktifitas sesuai dengan instruksi IS. Setidaknya terdapat beberapa faksi pendukung IS di Indonesia. FAKSI, Al-Muhajirun, JAT, dan lainnya. Berbagai faksi pendukung IS ini kemudian mengerucut menjadi dua kelompok, Jamaah Anshorut Daulah (JAD) dan Jamaah Anshorul Khilafah (JAK).
Sebagai pendukung IS, anggota JAT yang setia dengan Abu Bakar Baasyir mengirimkan anggota-anggotanya yang telah siap ke medan jihad di Timur Tengah. Selain ke Timur Tengah bergabung dengan IS pusat, anggotanya juga dikirim ke daerah Poso, di Sulawesi tengah, guna mendukung Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso. Beberapa anggota JAT di Bima dilaporkan menyerang aparat kepolisian.
Dinamika JAT ini menjadi salah satu pemicu mengapa para pelaku aksis terorisme belakanan lebih banyak menyasar aparat keamanan dibanding dengan simbol-simbol Barat seperti pada awal tahun 2000-an. Penangkapan para pemimpin JAT dan tindakan represif aparat kepolisian merupakan faktor pendukung penting kebencian terhadap aparat dan pemerintah Indonesia. Teologi kebencian yang diajarkan Abu Bakar Baasyir, diperbarui dengan teologi yang lebih segar dan radikal, menemukan tempat persemaiannya. JAT berubah dari organisasi yang bertujuan menegakkan syariat melalui metode dakwah wal jihad dalam naungan ajaran amar nahi munkar yang bersifat terbuka dengan memanfaat instrumen demokrasi menjadi organisasi yang pemimpin dan anggotanya terlibat dalam aksi kekerasan dan terorisme.