Mengapa sejumlah orang di Indonesia begitu fanatiknya mengidolakan Arab atau Barat? Supaya tidak salah paham (lagi), catat kata “fanatik” disini. Artinya, kalau anda tidak fanatik dan biasa-biasa saja ya tidak apa-apa. Ingat baik-baik ya sayang apa yang saya katakan ini: sepanjang paspormu itu masih “Indonesia”, kebangsaanmu itu “Indonesia”, dan mukamu itu masih “muka Indonesia,” kemanapun kamu pergi, dimananapun kamu berada, dan di negara manapun kamu tinggal, kamu akan diperlakukan sebagai “orang Indonesia”. Dan sepanjang status Indonesia itu masih menduduki peringkat sebagai negara miskin (atau biar “lebih keren dikit”: negara berkembang), kalian akan dianggap sebagai warga “kelas ekonomi” tidak pernah bisa naik kelas menjadi “kelas bisnis atau eksekutif”.
Mereka tidak peduli meskipun kalian berjenggot panjang sampai ke pusar, memakai jubah (baik cingkrang maupun bukan) ala Arab (eh salah, “nyunah rasul” maksudku), bertutur-kata dengan “antum-antum” dlsb, kalian tetap akan dilihat sebagai “bangsa kuli “. Lain ceritanya dengan orang pemegang “paspor biru berlogo burung elang” alias warga Amrik, mereka akan diperlakukan layaknya “bangsa majikan”, meskipun mereka tidak berjenggot, tidak tahu Bahasa Arab, dan cukup memakai pakaian kolor dan kaos oblong.
Etnosentrisme ada dimana-mana, di dunia Barat dan Timur. Orang-orang berpikiran kerdil yang hanya melihat “asal-usul negara” juga bergentayangan dimana-mana. Tidak usah jauh-jauh ke negara-negara Arab atau Barat. Datanglah ke negara tetangga: Brunei atau “negeri Upin-Ipin” Malaysia misalnya, kalian juga akan merasakan “etnosentrisme” dan perlakukan diskriminan ini. Orang-orang rasis dan etnosentris juga berkeliaran di negara-negara Barat yang mengklaim sebagai “negara modern”: warga non-bule masih dianggap sebagai “obyek” bukan “subyek”, “murid” bukan “guru”, “bangsa culun” bukan “kaum intelek”, “negeri miskin” bukan “daerah kaya”, meskipun banyak para pengusaha Barat yang mengeruk dan menguras kekayaan dari negara-negara yang mereka anggap miskin itu, dlsb.
Tirulah Jepang yang berjuang keras memajukan diri, bekerja keras bangkit dari keterpurukan sehingga sangat disegani di negara-negara lain. Jepang menjadi maju tanpa mengorbankan tradisi dan kebudayaannya. Begitulah seharusnya kita bangsa Indonesia, “menjadi Indonesia” bukan menjadi Barat atau Arab dan lainnya.
Kita boleh saja memakai Bahasa Inggris atau Bahasa Arab hanya sebagai “medium” komunikasi dengan warga Barat / Arab / warga asing yang tidak paham dengan Bahasa Indonesia, atau sebagai sarana untuk mempelajari dan mendalami kekayaan khazanah intelektual saja, bukan malah meremehkan Bahasa Indonesia dan bahasa derah lain. Kita sah-sah saja mengekspresikan keanekaragaman berbusana (ala Barat atau ala Arab) tetapi janganlah kalian lupakan apalagi haramkan tata-busana bangsa warisan kakek-nenek moyang kalian sendiri. Jadilah Indonesia, bukan bangsa lainnya…
Jabal Dhahran, Arab Saudi