Saya bercerita kepada seorang teman alumni pesantren yang sedang ikut pelatihan kader dakwah NU: Saya kenal dengan seorang ustadz yang sekarang sangat rajin berdakwah lewat Instagram. Saya juga cukup memperhatikannya, dulu dia main Youtube, bahkan dari ceramahnya ia dapat puluhan juta rupiah setiap bulannya, cukup untuk mennyewa ruko untuk kantor dan membiayai beberapa karyawan atau manajemennya.
Saya lanjutkan cerita, karena ada masalah dengan manajemennya, ustadz tadi memutus kontrak dan membuat manajemen baru dan dengan akun baru. Tapi kali ini dia lebih fokus ke Instagram, menyesuaikan selera penggemarnya. Di Instagram ustadz dan tim barunya ini punya kerjaan baru: bermain gambar. Di Instagram memang lebih meriah dengan desain diam dan pewarnaan. Ceramah live juga ada tapi tidak lama segera dihapus, diedit dulu untuk dilempar ke Youtube. Versi pendek video ceramah dibikin semenarik mungkin semenitan lalu diupload lagi ke instagram hanya untuk teaser ke Youtube.
Teman pesantren saya tadi memberikan komentar yang sudah saya duga sebelumnya. Kata dia, dalam nada pertanyaan, apakah dakwah seperti itu tidak mengganggu keikhlasan? Apakah tidak takut riya?
Saya sudah menyiapkan jawabannya. Saya bertanya balik kepada teman saya, mengapa Walisongo dulu berdakwah dengan gemelan, wayang, dan pendekatan kesenian? Karena mereka ingin dakwahnya diminati orang, ditonton orang. Kalau begitu apakah Walisongo tidak takut riya? Pertanyaan itu sengaja saya jawab sendiri biar teman saya tadi tidak perlu capek-capek memikirkan jawabannya. Dan saya bisa meneruskan cerita.
Kembali ke ustadz yang saya ceritakan tadi. Ustadz ini ternyata sudah punya beberapa unit usaha yang dirintisnya saat masih menggeluti Youtube. Ada travel umroh, resto, toko buku, fasilitasi nikah syar’i, peternakan untuk akikah. Sebagiannya adalah miliknya bersama rekan bisnis, tapi dia menjadi brandnya. Nah di akun Isstagram yang baru ini, agak berbeda dari akun-akun sebelumnya. Kali ini akun-akun bisnis dipisahkan dari akun utama untuk dakwah, tapi tetap nge-link satu sama lain. Setiap kali akun posting urusan bisnis, langsung mention ke akun utama dan tampil di akun utama/dakwah itu tapi seakan-akan bukan ustadz tersebut yang posting.
Apakah salah kalau ustadz berbisnis. Teman saya ini menjawab, tentu tidak karena dia juga berbisnis dan lumayan sukses.
Orang bilang apa yang dilakukan oleh ustadz yang saya ceritakan itu tadi adalah komodifikasi dakwah. Tapi catatatan ini tidak ingin membicara soal bisnisnya, tapi bagaimana seorang ustadz sukses mengemas dakwahnya secara kreatif melalui media baru sekarang digandrungi khalayak.
Para pakar semiotika sosial punya istilah khusus yaitu mikro selebriti, untuk menjelaskan dunia selebritas yang memanfaatkan media baru untuk show off. Ustadz/ah juga telah memasuki panggung keramaian ini. Kemasannya sama persis dengan dunia keartisan pada umumnya, dan sangat lekat dengan personifikasi selebriti dan kesehariannya. Yang membedakan hanyalah beberapa jenis kontennya yang khas dan “religius”.
Media sosial digital dengan karakternya yang berbeda dengan media lama dan dengan berbagai platform dan variannya menjadi “arena” baru untuk menyampaikan beragam konten dakwah sesuai dengan konsern/kemampuan masing-masing ustadz, sesuai dengan latar belakang “ideologi” ustadz atau pada gilirannya sesuai dengan segmentasi pasar masing-masing. Ada yang ingin menggaet anak musik, ada yang ingin fokus ke ibu-ibu atau tema keluarga, ada yang terobsesi menjadi motivator. Ustadz seleb yang sering nongol di hp menjadi trendsetter kata-kata atau istilah baru, style, dan sikap terhadap berbagai perkembangan atau isu terbaru.
Kecenderungan umat sudah berubah sehingga kita tidak bisa keukeuh memakai wayang atau gamelan untuk berdakwah. Antusiasme orang belajar agama atau “menghayati” agama lewat benda di genggaman tangan ini nyata.