Kenapa i’tikaf dalam literatur Islam dipakai bentuk kata berimbuhan (tsulasi mazid) –اعتكاف? Padahal dalam Al-Qur’an, kata yang berkaitan dengan i’tikaf selalu dalam bentuk kata kerja dasar (tsulasi mujarrad). Misalnya: ‘akifin (عاكفين) dalam QS. Al-Baqarah: 125 dan QS. Thaha: 91, serta ya’kufun (يعكفون) dalam QS. Al-A’raf: 138.
Dalam gramatikal bahasa Arab perubahan bentuk kata sangat berpengaruh pada pengertiannya. Kata “‘akafa-ya’ki/ufu” artinya berdiri, bercokol, berdiam diri. Jika dibuat menjadi kata berimbuhan “i’takafa-ya’takifu” pengertiannya berubah menjadi “menempati, mendiami, mendirikan, atau yang semakna dengan “Iqamah”.
Bentuk افتعل maknanya bervariasi, mulai dari muthawa’ah (bertambah), musyarakah (bersekutu), ittakhazd (menjadikan), dll. Sehingga kata i’tikaf pun berubah dari makna kata dasarnya: berdiri, bercokol, berdiam diri, menjadi menempati, mendiami, dan mendirikan. Dimana keseluruhannya menunjukkan adanya obyek, tidak hanya subyek.
Obyek i’tikaf itu apa? Sejauh ini para ulama hanya memfokuskan obyek i’tikaf seputar tempat i’tikaf, yaitu mesjid. Seakan-akan tidak sah melakukan i’tikaf di luar mesjid. Tapi timbul tanda tanya: kenapa bahasan i’tikaf diulas dalam kompilasi bab puasa? Bukankah kalau obyeknya mesjid seharusnya i’tikaf dimasukkan dalam pembahasan shalat?
Dalam literatur fiqh, di antara sebab uraian hukum i’tikaf dibahas dalam kompilasi pembahasan puasa karena alasan lebih utamanya i’tikaf di 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Sekalipun i’tikaf juga disunnahkan (menghindari penggunaan kata dibolehkan sebab dalam i’tikaf tidak ada hukum mubah) di luar waktu 10 hari terakhir Ramadhan.
Asumsinya obyek i’tikaf bukan semata-mata tempat, tapi juga momen dan waktu keutamaan. Misalnya hari Jumat, hari lahir Nabi, hari Isra’-mi’raj Nabi, hari Arafah, Malam Nishfu Sya’ban, dan bulan Ramadhan.
Pendapat ulama menyebutkan i’tikaf merupakan ibadah khusus umat Nabi Muhammad. Hal ini mengingat penggunaan kata imbuhan i’tikaf yang berbeda dengan kata dasar “ukf” dalam Al-Qur’an. Persoalannya jika obyek i’tikaf diidentikkan dengan tempat, maka apa bedanya dengan kebiasaan “i’tikaf ummat sebelum Nabi Muhammad?
Seperti kita ketahui dalam Al-Qur’an, model i’tikaf berorientasi tempat juga dipraktikkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail beserta ummatnya dengan berdiam diri di sekitar Ka’bah. Selain itu, Nabi Harun juga i’tikaf dengan cara hadir menggantikan posisi Nabi Musa di tengah ummat karena suadaranya memenuhi panggilan Allah di Turisina.
Begitu pula kebiasaan rakyat Raja Namrud yang i’tikaf dengan menunggui berhala tuhan mereka. Jadi, apa letak kekhususan i’tikaf ummat Nabi Muhammad, selain obyek tempat?
Tampaknya, penentuan obyek i’tikaf berbasis tempat karena alasan mesjid sebagai ruang yang senyap agar lebih khidmat berkontemplasi. Masalahnya bagaimana jika umat Islam berbondong bondong mabit di mesjid justru mengakibatkan ruang utama mesjid tidak lagi menjadi senyap?
Kita tampaknya baru menjalani i’tikaf sebatas pemilihan tempat dan alur waktu. Kita belum sampai pencapaian tujuan utama i’tikaf. Kenapa demikian? Sebab kita lebih mengutamakan ruang senyap daripada memposisikan diri sebagai hamba Allah yang berhati senyap? Wallahu a’lam.