Rasa marah bisa dialami oleh siapa saja, baik oleh anak-anak, orang dewasa hingga orang tua. Seringkali rasa marah pun menyebabkan perpecahan di dalam keluarga. Salah satu contoh yang paling sering terjadi adalah ketika seorang istri sedang marah terhadap suaminya. Namun kemarahan istri bisa diungkapkan dalam bentuk kemarahan yang sesungguhnya maupun dalam bentuk kemarahan yang dipendam.
Biasanya, rasa marah yang dialami oleh seorang istri terhadap suami dipicu oleh hal-hal yang sangat sepele. Misalnya dipicu oleh rasa curiga, cemburu, hingga permasalahan rumah tangga seperti keuangan keluarga ataupun hanya masalah rasa makanan yang kurang enak ataupun lainnya. Bahkan, salah meletakkan handuk basah di tempat tidur pun bisa memicu kemarahan seorang istri.
Menanggapi kemarahan tersebut, terkadang ada suami yang justru ikut terpancing emosinya sehingga berbuat kasar terhadap sang istri. Padahal perbuatan kasar seorang suami terhadap istri adalah hal yang sangat dilarang dalam Islam. Lalu apakah yang harus dilakukan oleh seorang suami saat menghadapi kemarahan sang istri?
Pertama, suami harus tetap bersikap sabar. Sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Ummar bin Khattab. Suatu ketika, seorang lelaki pernah menuju rumah Sayyidina Umar RA untuk mengadukan perilaku istrinya yang sering marah. Sampai di sana, istri Umar RA juga sedang marah dan beliau pun hanya diam.
Lalu Umar RA pun berkata kepadanya, “Wahai saudaraku, aku tetap sabar menghadapi perbuatannya, karena itu memang kewajibanku. Istrikulah yang memasak makanan, membuatkan roti, mencucikan pakaian, dan menyusui anakku, padahal semua itu bukanlah kewajibannya. Di samping itu, hatiku merasa tenang (untuk tidak melakukan perbuatan haram—sebab jasa istriku). Karena itulah aku tetap sabar atas perbuatann istriku.”
Umar RA mencontohkan kesabaran dalam menghadapi istri yang marah dengan tidak membalasnya dengan ucapan apapun dan tidak melakukan tindakan kasar. Sayyidina Umar justru mengamalkan kesabaran dengan sempurna, yakni menahan diri untuk tidak terjebak emosi dengan diam, mendengarkan sang istri dan berusaha mengingat-ingat kebaikan sang istri.
Kedua, yaitu memaafkan kesalahan istri. Meneladani kisah Umar RA, beliau memiliki hati yang luas sehingga tidak tersinggung dan tak sakit hati terhadap sang istri. Bahkan Umar RA tidak sampai terbawa emosi berbalik memarahi istri. Dalam Islam pun dianjurkan untuk saling memaafkan.
Sehingga kemarahan istri hendaknya dimaafkan. Sebagaimana Allah berfirman, “Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu [246]. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS Ali ‘Imran: 159)
Ketiga, hendaknya suami bersikap adil terhadap istri. Keadilan yang dicontohkan oleh Sayyidina Umar RA dalam bentuk keadilan terhadap istri adalah dengan memberikan istri hak untuk didengar. Meskipun aspirasi yang disampaikan oleh sang istri dalam bentuk kemarahan, namun hal tersebut sudah menjadi suatu bentuk keadilan bagi seorang istri.
Sebagai seorang suami, Umar RA mengerti dengan baik terkait hak-hak seorang istri. Bahkan, beliau selalu mengingat jasa-jasa istrinya, menghargai dan menghormati sang istri sehingga ia tidak melakukan perbuatan yang dilampaui batas saat sang istri sedang marah.
Demikianlah ketiga hal yang harus dilakukan oleh seorang suami apabila istri mereka sedang marah. Yaitu harus bersikap sabar, memaafkan kesalahan istri, dan juga tetap berusaha bersikap adil dengan mendengarkan keluh kesah sang istri saat marah. Dengan begitu, niscaya kemarahan istri pun akan cepat mereda.