Pada 04-11 Maret 2017 lalu, saya berkesempatan mengunjungi Israel-Palestina melalui program PTR’s excursion and field internship (studi lapangan) yang diselenggarakan oleh Amsterdam Center for Religion, Peace and Justice (ACRPJ) Vrije University Amsterdam. Selama kurang lebih dua minggu, saya belajar sekaligus meneliti langsung suasana konflik di tanah suci (holy land) bagi tiga agama, Yahudi, Kristiani dan Islam tersebut.
Sungguh, untuk bisa sampai di Israel-Palestina tidaklah mudah. Ada banyak rintangan dan proses yang cukup panjang yang harus dilalui. Saya simpulkan, kesulitan pra-keberangkatan saya paling tidak dikarenakan oleh dua faktor, yaitu karena saya orang ‘Indonesia’ dan karena saya seorang ‘Muslim’.
Faktor pertama yang saya sebut di atas adalah terkait dengan status kewarganegaraan saya sebagai orang Indonesia. Kita tahu, Indonesia merupakan salah satu negara yang tidak punya hubungan diplomatis dengan Israel, bahkan jadi salah satu negara yang cukup vokal menolak berdirinya Negara Israel hingga pelbagai bentuk ancaman yang negara itu lakukan kepada warga Palestina. Karena hubungan diplomasi antar negara erat kaitanya dengan persoalan administratif, visa izin administratif masuk Israel pun cukup sulit saya dapat. Butuh waktu lebih lama dari waktu normal yang dijanjikan petugas pengurus visa di kedutaaan Israel di Den Haag, Belanda, tempat saya mengurus visa. Kala itu, petugasnya bilang akan kirim visa setelah 21 hari, namun nyatanya, visa baru saya dapat setelah hampir satu bulan penuh, itupun setelah saya desak beberapa kali dan meminta bantuan kampus dan profesor untuk bantu pengurusan visa.
Bahkan, visa yang sudah kita dapat pun bukan berarti menjadi jaminan utuh untuk bisa masuk Israel. Karena sesampainya di sana, akan ada pemeriksaan khusus, dan bisa dibilang, lebih ketat, terutama di bandara kedatangan Tel Aviv ataupun pintu masuk Israel lainya. Tidak sedikit yang pada akhirnya dipulangkan ke negara asal alias tidak bisa masuk Israel walaupun telah mempunyai visa. Alhamdulillah, saya beruntung bisa melewati itu semua.
Alasan kedua adalah karena saya seorang Muslim. Pemerintah Israel sampai saat ini saya kira masih berstigma kalau Islam identik dengan terorisme. Sehingga lalu lalang umat Islam ke dalam Negara tersebut akan sedikit lebih sulit. Alasannya bisa jadi lebih kepada upaya preventif dan antisipatif mereka, ditakutkan umat Islam yang masuk di wilayah mereka akan punya kontak khusus dengan kalangan oposisi Palestina terhadap pemerintah dan warga mereka, atau bahkan menyelundupkan barang maupun senjata khusus bagi warga oposisi dari Palestina untuk menyerang pemerintahan mereka.
Setelah mengikuti rangkaian kegiatan studi lapangan tersebut, saya sampai pada sebuah pandangan bahwa konflik berkepanjangan yang masih berlangsung di Israel-Palestina hingga saat ini bukanlah semata-mata konflik antar agama, Islam-Yahudi, Kristen-Yahudi ataupun lainya. Oleh Mazin Khumsiyah, salah satu pemerhati perdamaian dari Betlehem University, konflik ini lebih tepat jika disebut sebagai penjajahan tersistem di era modern yang menjadikan agama sebagai bahan bakar pemicu konflik. Muaranya adalah lahan/tanah, bagaimana Israel mampu menjadikan Palestina sebagai hajat masa depan mereka, yang salah satunya adalah mendirikan Jewish state (Negara Israel) di seluruh wilayah Palestina.
Faktanya, saya melihat kondisi Israel-Palestina tak ubahnya seperti yang tergambarkan pada rezim Apartheid di Afrika Selatan. Politik Apartheid, secara singkat, bisa dibilang adalah politik diskrimitif antara orang berkulit putih dan non-kulit putih di Afrika Selatan. Kala itu, orang kulit putih dan non-kulit putih diperlakukan dengan cara yang berbeda. Orang kulit putih pada umumnya mendapatkan perlakukan yang lebih baik dan lebih manusiawi daripada mereka yang berkulit hitam, mulai dari akses pekerjaan, pendidikan, kesehatan hingga keamaanan dan tempat tinggal. Bahkan, orang kulit hitam pun dipaksa untuk tinggal di desa/daerah terpencil dengan fasilitas sarana dan pra sarana yang seadanya, tidak seperti golongan kulit putih yang diprioritaskan untuk tinggal di perkotaan dengan fasilitas yang lebih baik dan istimewa. Kondisi ini berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama, antara tahun 1948-1993, sampai akhirnya Nelson Mandela menghentikannya di tahun 1994.
Di Israel-Palestina, kondisi serupa pun tampak bisa kita rasakan. Sejak 2002 lalu (pasca intifada kedua), Israel membangun tembok kokoh yang membentang hampir kurang lebih 725 KM, yang membentang di sepanjang wilayah West Bank (Tepi Barat), Bethlehem, Qalqilya, sebagian wilayah Ramallah dan Tulkarm. Sebagian orang menamai tembok ini dengan nama tembok keamanan (security wall), atau tembok pemisah ras ‘racial-segregation wall’ dan tidak sedikit yang memberi nama tembok apartheid (Apartheid wall).
Tembok ini tidak hanya kokoh tetapi juga cukup tinggi, kurang lebih dua kali besar dari tembok Berlin di Jerman. Tembok raksasa inipun juga dilengkapi dengan peralatan militer yang cukup canggih (sophisticated), mulai dari layar dan kamera monitor pengintai, senjata/senapan dinding, hingga dilengkapi dengan check point (ruang check sebelum masuk ke wilayah Israel) yang semuanya dijaga ketat oleh tentara israel.
Pemerintah Israel mengatakan bahwa tujuan dibangunnya tembok pemisah ini lebih kepada upaya menjaga keamanan (preventif) bagi warga negara Israel dari ancaman dan segala bentuk teror yang dilakukan warga Palestina, seperti bom bunuh diri, serangan bersenjata api dan senjata keras ataupun aksi teror lainya, khususnya pasca insiden intifada kedua di negara tersebut.
Namun, pada sisi lain, saya melihat pembangunan tembok kokoh ini lebih cenderung kepada upaya memisahkan wilayah teritorial, mana yang termasuk wilayah Israel dan mana daerah yang tersisa untuk warga Palestina. Karena pada prakteknya, ini berdampak kepada pembatasan ruang gerak warga Palestina untuk bisa lalu lalang di daerah yang dibatasi tembok tersebut, termasuk wilayah masjid Al-Aqsa di Jerusalem. Untuk bisa melewati tembok apartheid tersebut, warga Palestina terlebih dahulu harus melewati check point dan harus melewati proses pemeriksaan keamanan yang cukup ketat. Sebaliknya, warga Israel cenderung lebih mudah dan bebas untuk lalu lalang keluar-masuk batasan wilayah tembok pemisah tersebut, termasuk masuk ke dalam wilayah teritori Palestina.
Lebih jauh lagi, dengan adanya tembok ini, kita akan bisa langsung membedakan, mana daerah yang ‘subur makmur’ dan mana daerah yang ‘babak belur’. Wilayah yang berada di dalam kawasan tembok pemisah tersebut sangatlah maju dan cukup modern, sementara di luarnya, adalah wilayah yang cukup gersang dan jauh dari kata modern.
Dito Alif Pratama, Mahasiswa Master Peace, Trauma and Religion, Vrije University Amsterdam.