Islamitalk Iqbal Kutul: “Aku Masuk Stand Up Comedy Karena Gus Mus”

Islamitalk Iqbal Kutul: “Aku Masuk Stand Up Comedy Karena Gus Mus”

Menurut Iqbal Kutul, bercandain perilaku orang beragama dan bercandain agama adalah dua hal yang berbeda.

Islamitalk Iqbal Kutul: “Aku Masuk Stand Up Comedy Karena Gus Mus”

Bicara tentang komika Stand Up Comedy yang berani membahas agama, nama Iqbal Kutul layak disebut. Namanya mungkin tidak malang melintang di televisi dan channel youtube, namun keberadaannya di komunitas cukup diakui. Benar saja, tidak salah mengundang Iqbal Kutul sebagai tamu Islamitalk edisi pertama (29/04).

Bukan hanya Iqbal komika yang berani bermain “agama” di materi komedinya. Ada Dzawin Nur dengan persona anak pesantren di panggung. Dari sisi materi, komika yang bermain agama lebih banyak lagi. Bahkan beberapa komika stand up comedy terjerat kasus penistaan agama karena materi yang dianggap menistakan. Sehingga mereka harus banyak berurusan dengan kelompok-kelompok Muslim yang ekstrem. Tak perlu saya sebutkan, warganet saya kira sudah cukup mafhum dengan ini.

“Mungkin lebih tepatnya aku bercandain perilaku beragama. Bukan bercandain agama. Ini dua hal yang berbeda.” Ungkap Iqbal.

Salah satu yang saya ingat dari bit Iqbal adalah ketika dia menjadi salah satu penampil di Haul Gus Dur kedelapan, dua tahun lalu: “Nabi Ibrahim kalau datang sekarang, pasti bakal kaget. Lho, ini Ka’bah kok jadi logo partai?!”. Mungkin ini yang dia maksud dengan bercandain perilaku umat beragama. Kok bisa-bisanya orang menjadikan rumah Allah sebagai logo partai.

Bagi Iqbal, pada dasarnya para komika sudah mengerti tentang batasan materi jokes berbau agama tiap kali tampil. Hanya saja, beberapa komika mungkin ingin push to the limit, mendorong sampai pada batas mana jokes mereka bisa diterima khalayak umum. Selain itu, internet yang serba cepat juga membuat sebaran konten tidak terkendali. Sering kali ada penonton yang merekam panggung offline, lalu menyebarkannya kepada teman terdekat, dan lama-lama menyebar ke banyak orang. Jadi materi yang tadinya sifatnya terbatas, jadi mudah terekspos.

“Mereka udah tahu batasannya gimana kok. Selebihnya ya tanggungjawab masing-masing untuk ngukur batas mereka.”

Ketika ditanya, kenapa sejauh ini Iqbal aman-aman saja dan tidak pernah mendapat kecaman atas materinya, dia menjawab: “Mungkin karena aku jarang di TV kali ya, lagian, siapa saya?” Ucapnya merendah.

Datang dari  Tradisi Pesantren yang Ketat

Iqbal mengaku tidak menyengaja untuk membawa persona sebagai anak pesantren di dalam penampilannya di panggung komedi. Cukup sulit untuk membayangkan seorang komika, ternyata datang dari sebuah pesantren dengan aturan syariat yang cukup ketat. Tidak hanya secara aturan layaknya semua pesantren. Ma’had Ulum al-Syar’iyyah Yanbu’ul Qur’an (MUSYQ) Kudus, pesantren tempat Iqbal belajar, dikenal sebagai pesantren yang menerapkan koridor hukum Fiqih yang ketat, menjadikan hukum Islam sebagai kompas moral dan pusat pandangan hidup santri.

“Iya, pondokku memang dikenal ketat. Hiburan apa lah paling. Bahkan koran saja disensor, lho. Jadi, kalau ada berita olahraga yang nampilin gambar atlet tenis, seperti Maria Sharapova atau Anna Kournikova, itu disensor dulu sama pengurus sebelum ditempel di dinding. Disensor pakai potongan koran lagi.” Ucap Iqbal mengenang masa mondoknya.

Hanya saja, dunia pesantren punya banyak sisi. Dalam sebuah artikel di buku Melawan Melalui Lelucon (Tempo Publishing, 2000), Gus Dur pernah menyebut kondisi masyarakat Islam di Jawa mengalami “status quo kecil”, kurang lebih ketika kesenian dirayakan bersama sebagai aspirasi rakyat kecil, tapi Kiai (kaum agamawan) pura-pura tidak tahu.

Seperti itu pula yang dialami Iqbal. Tidak bisa dipungkiri bahwa kehidupan pesantren yang serba ketat dan terbatas membuat guyonan dan jokes menjadi alasan paling sederhana bagi para santri untuk berbahagia. Makan seadanya, kiriman tidak tentu, dan aturan pesantren yang ketat, cukup menjadi alasan guyonan antar teman sebagai jalan keluar dari ketegangan sehari-hari.

Selain itu, dunia pesantren juga penuh dengan pengandaian masalah Fiqih yang bikin logika akrobat. Misalnya saja, seandainya ada wanita raksasa, dan memiliki liang kemaluan sebesar pintu, lalu dimasuki oleh laki-laki sebadan-badannya, apakah wajib mandi junub? Dan banyak lagi contoh unik lainnya.

Didorong oleh Nasehat Gus Mus

Awal mula Iqbal Kutul masuk dunia Stand Up Comedy, sang ibu sempat menentang kesibukan barunya itu. Layaknya keluarga yang memperhatikan betul nilai agama, ketawa-ketiwi dianggap bukan aktivitas yang memberi manfaat.

“Tapi aku ikut stand up ini, didorong oleh Gus Mus juga.” Kata Iqbal sambil tertawa.

“Waktu itu aku sempat mention Gus Mus lewat twitternya, bagaimana aku ngadepin situasi dengan orang tua ini. Eh ternyata dijawab oleh Gus Mus sendiri lewat Twitter. Aku didorong untuk bicarakan kepada ibu dengan baik-baik.”

Tidak salah jika Gus Mus menjadi inspirasi. Iqbal mengaku, Gus Mus yang aktif di dunia seni lewat puisi, dan karya-karya satirenya membuka pikiran Iqbal, bahwa santri bisa juga berkarya di banyak bidang. Tidak melulu harus menjadi Kiai. Selain Gus Mus, Iqbal juga mengagumi Gus Yahya Staquf yang menulis buku kumpulan humor pesantren berjudul “Terong Gosong”.

“Buku itu nggak kalah lucu dari buku humor-humor sufi, dan guyonannya Indonesia banget. Jadi ngena.”

Referensi Iqbal tidak hanya Gus Mus atau Gus Yahya. Dia merujuk juga kepada ustadz-ustadz dan Kiai pesantren yang mampu mengisi pengajian dengan jenaka dan bahasa yang ringan. Beberapa kali dia merujuk sosok Gus Baha’ dalam obrolan.

“Gus Baha’ pernah bilang. Karena jamaah itu ketika hadir mengaji sudah membawa masalah sendiri di kepalanya. Masalah kerjaan lah, utang lah, problem rumah tangga lah. Orang yang sudah mau ikut pengajian itu sudah bagus. Jangan ditambah-tambahi dengan pengajian yang sepaneng (menegangkan).”

Layaknya seorang santri, Iqbal Kutul mempunyai kegelisahan tersendiri soal metode dakwah di Indonesia yang makin marak dengan pendakwah yang galak dan marah-marah. Baginya, humor tidak bisa dipisahkan sebagai cara untuk menyampaikan teladan atau ajaran agama. Dari pesantren, Iqbal belajar untuk berbicara kepada umat sesuai dengan kadar audiensnya.

“Di pesantren kan diajarin, Khaatibunnas bi qadri ‘uquulihim. Kalau menurut ilmu Mantiq, kita diajarkan untuk bicara sesuai dengan mukhatabnya (orang yang diajak bicara). Jadi ya, memang dakwah harus disampaikan dengan humor, kalau perlu.” Pungkas Iqbal. [rf]

 

-Islamitalk adalah program obrolan santai seputar keislaman yang ditayangkan lewat fitur Live Instagram melalui akun Instagram @Islamidotco selama bulan Ramadhan.