
Catatan tentang Bapak
Seingat saya, Bapak jarang menggunakan buku-buku khutbah Jumat milik masjid kampung ketika menjadi khatib. Ia lebih suka membaca catatannya sendiri. Catatan itu mungkin diambil dari buku-buku khutbah atau kitab-kitab kuning miliknya. Bapak biasanya menulisnya beberapa hari sebelum Jumat tiba.
Boleh jadi, ia menggunakan buku-buku khutbah masjid jika tak sempat mempersiapkan catatan sendiri.
Ketika duduk di bangku tsanawiyah, saya beberapa kali membaca buku-buku khutbah milik masjid. Buku-buku itu tergeletak lesu dan lusuh di atas mimbar. Selain karena usia, buku-buku itu entah sudah berapa ribu kali dibaca orang atau para khatib. Saya suka mengingat istilah-istilah asing, tapi terdengar gagah. Salah satunya kata “konsekuensi”. Beberapa tahun kemudian baru saya mengerti maksudnya.
Saya beruntung sekali sempat membawa puluhan kitab dan beberapa buku catatan tangannya. Salah satunya beberapa buku tulis yang ia jahit jadi satu. Di antara catatan itu, saya membaca catatan khutbah Jumat, entah ditulis kapan.
Saya duga awal tahun 90-an. Catatan khutbah itu ditulis dengan dominasi tulisan arab-melayu, atau Arab pegon. Tampaknya menggunakan khta Riqah, model untuk tulisan cepat. Sebagian lagi ditulis dengan tulisan latin. Ditilik dari konteks kepulauan Seribu era itu, saya kira apa yang disampaikan cukup menarik.
Tema yang diangkat dalam tulisan Bapak ini tentang bagaimana menganalisis makna agama dan bagaimana menerapkannya dalam kehidupan masyarakat.
“Sidang jumat yang berbahagia, marilah sama-sama menganalisa apa arti Islam? Apa tujuannya Islam? Dan apa pula faidahnya?” Begitu Bapak membuka tulisannya.
Bapak lalu menjelaskan Islam dari sudut kebahasaan dan istilah sebagaimana yang umum kita ketahui sekarang. “Agama dalam arti makna ialah masuk dalam keselamatan dan perdamaian, menyerah diri, tuduk, dan sebagainya.” Ia juga mengutip agama sebagai “a” tidak dan “gama” yang rusak. Artinya, agama tidak rusak.
Pandangan ini baru saya dapatkan pula ketika menjadi mahasiswa IAIN Ciputat. Persisnya ketika merujuk buku yang melegenda karya Prof Harun Nasution: Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek.
“Menurut istilah: memeluk Islam ialah sejumlah itiqad, undang-undang, peraturan, pelajaran, pendidikan buat membentuk pikiran perasaan dan kemauaan bagi keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat yang diwujudkan dari Allah kepada manusia dengan perantaraan seorang rasul”.
Di bagian selanjutnya, Bapak juga menyinggung soal fenomena di kalangan muslim yang disebut sebagai “menyalahgunakan kepadanya, sehingga sesuatu perbuatan yang benar disalahkan dan sesuatu perbuatan yang salah dibenarkan”.
Lantas apa respons Bapak?
“Mudah-mudahan makhluk Allah yang semacam itu diberi petunjuk pada Allah Subahanu Wata’ala ke jalan yang benar, Amin. Maka dari itu mari kita sama-sama berjuang maju ke depan mencari dan menthalaah kembali … ”
Ditilik dari konteks sekarang, rasanya ini jawaban yang cukup “moderat” karena memilih pendekatan non-kekerasan dan mengembalikannya pada kuasa tuhan. Kalimat terakhir seolah-olah menunjukkan Bapak seorang yang fatalistik: pasrah dan mengembalikannya semua perkara masyarakat pada kehendak tuhan. Rupanya tidak juga.
Bapak melanjutkan tulisannya dengan mempertanyakan ini.
“Kita sebagai umat Islam mengapa masih saja mempunyai pandangan yang picik, miskin, yatim, padahal Islam itu harus tidak, yang lebih, harus dari padanya, Islam ya’lu wa yu’la alaih. Mengapa kita masih ketinggalan di semua bidang; bidang olahraga, kesenian, pembangunan, kesusilaan; masih sembrono, konyol, kalau kita bandingkan pada agama-agama lainnya?”
Situasi ini menurutnya berbeda dengan apa yang Bapak yakini. Ia menulis.
“Padahal Islam yang berkonsekuensi itu Islam yang progresif, berdinamis; kalau terdapat kesalahan cukup mengaku atas kesalahannya, cepat tobat, pasti Allah mengampuninya bila benar-benar tobat.” Pilihan diksi ini menarik sekali. Saya tak tahu dari mana Bapak mencomot istilah-istilah tersebut.
Bapak juga bilang, kalau memang kita merasa tua dan tidak mampu memajukan suatu yang apa saja yang berguna dalam masyarakat, sebaiknya “serahkan saja kepada generasi penerus kita yang sedang bekecimpung di segala bidang. Cukup bagi kita mendoakannya setiap pagi dan petang.
Saran ini hemat saya juga menarik.
Bapak menyuguhkan jalan bagaimana generasi tua yang memang merasa sudah tua dan tak mampu berbuat banyak memberi jalan bagi generasi yang lebih muda.
Di era awal 90-an, Pulau Tidung, kampung kami, dihuni sekitar tiga ribu. Hanya ada satu masjid dan lebih dari lima mushalla. Kami memiliki madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, dan sekolah menengah pertama.
Bapak, salah seorang khatib dari beberapa khatib di kampung kami. Ketika itu listrik datang dari desel pulau yang hanya bekerja pukul enam sore hingga enam pagi. Setelah itu istirahat. Transport terbatas. Hanya satu kali jalan dengan jarak tempuh sekitar tiga jam.
Dalam situasi dikepung berbagai keterbatasan, sepertinya gagasan yang Bapak sampaikan dalam khutbah Jumat ini menarik sekali.
Boleh jadi kesimpulan ini “bias darah”; membagus-baguskan Bapak sendiri. Tapi, rasanya tak ada salahnya saya sampaikan pandangan ini untuk dipikirkan, terutama bagi generasi penerus agama di kampung kami.
Saya juga mendorong beberapa teman mengumpulkan catatan-catatan semacam ini dari beberapa tokoh di pulau kami untuk dirawat, didiskusikan, dan diabadikan dalam sebuah buku.