Beberapa perempuan geram terhadap cara berpakaian sebagaian perempuan lain yang dianggap tak pantas; melebihi batas dan terancam akan mendapati siksa api neraka yang panas. Kegeraman ini bahkan menyeret mereka untuk menuntut pemerintah –atau siapapun yang peduli—agar menutup mall, TV dan apa saja yang mereka anggap berpotensi memberi panggung terhadap cara berpakaian yang mereka anggap tak Islami.
Mereka yakin, Islam memusuhi perempuan-perempuan yang berpakaian mini. Benarkah demikian?
Tentang ini, mari kita tengok kembali kisah nabi bersama Al-Fadl bin ‘Abbas sebagaimana dinarasikan oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas di kumpulan hadis sahih Bukhori. Saat itu, Al-Fadl tengah melakukan perjalanan bersama Rasul menuju Mekah pada waktu haji Wada’. Saat rombongan sampai di Mekah, Rasul meminta rombongan untuk berhenti. Beliau ingin memberikan ceramah agama kepada orang-orang yang menyambut kedatangannya.
Saat itulah, seorang perempuan dari bani Khat’am, salah satu kabilah ternama di Mekah, mendatangi Rasul untuk meminta penjelasan tentang suatu perkara. Perempuan ini digambarkan memiliki wajah yang cantik jelita; ia berbeda di antara banyak perempuan lainnya.
Perempuan ini rupanya ingin bertanya soal kewajiban melakukan haji untuk ayahnya yang telah tua dan renta. Ia ingin tahu, bolehkan ia menggantikan ayahnya untuk melakukan ibadah tersebut. Rasul menjawab bahwa ia boleh berhaji untuk ayahnya.
Hal yang tak disadari Rasul saat percakapan ini terjadi adalah ulah Al-Fadl yang ternyata tak bisa memalingkan matanya dari kecantikan perempuan yang sedang ada di hadapannya. Seketika Rasul memegang dagu al-Fadl dan mengarahkan kepalanya ke arah lain.
Atas kisah ini, banyak tafsiran ulama yang bermunculan. Tak hanya terbatas pada kebolehan untuk menggantikan ibadah haji kepada orang-orang yang tak mampu, tapi juga soal sikap nabi yang lebih memilih memalingkan wajah Al-Fadl daripada meminta perempuan untuk menutupi wajahnya.
Dalam kitab Fathul Bari yang menjadi penjelasan untuk Shahih al Bukhari, Syekh Ibnu Hajar al Asqalani menyatakan bahwa kisah di atas menunjukkan betapa manusia memiliki kecenderungan untuk melihat hal-hal yang indah, termasuk di antaranya adalah keindahan dari manusia lainnya. Karenanya, apa yang dilakukan oleh Al-Fadl wajar saja adanya. Yang tidak wajar adalah melakukannya secara berlebihan, bahkan hingga menimbulkan gejolak perasaan yang tidak karuan.
Ulama hadis yang lahir di Kairo, Mesir pada 1372 ini lantas menyebut sikap Rasul yang memalingkan wajah Al-Fadl sebagai upaya untuk mengurangi risiko munculnya gejolak perasaan pada diri al-Fadl terhadap perempuan yang bahkan belum ia kenal.
Beberapa ulama menyebut saat peristiwa ini terjadi, sang perempuan tidak menutup wajahnya, sehingga kecantikan parasnya dapat dilihat oleh banyak orang. Ibnu Hazm, sebagaimana dikutip dalam “Fikih Sunnah Wanita”, berkata, “Jika wajah merupakan aurat yang harus ditutup, maka beliau (Rasul) tidak akan membiarkannya (perempuan) membuka wajahnya di hadapan manusia, dan tentulah beliau (akan) telah memerintahkan untuk menjulurkan penutup wajah dari atas kepalanya. Dan jika wajahnya tertutup, maka Ibnu Abbas tidak akan mengetahui apakah wanitu itu cantik ataukah jelek.”
Rasul nyatanya lebih memilih untuk memalingkan wajah Al-Fadl yang sedang terpesona, bukan memerintahkan agar sang perempuan menutup wajahnya. Rasul seolah tak ingin ambil pusing tentang bagaimana perempuan berpakaian, beliau lebih khawatir jika lelaki tak bisa mengendalikan pandangan.
Dari kisah ini semoga kita belajar untuk lebih menilai manusia secara lebih arif dan bijaksana, tak hanya sebatas pada bagaimana ia berbusana. Jika Rasul saja bersedia untuk berinteraksi dengan perempuan lain yang ‘berani’ menampakkan wajahnya, kenapa kita tak bisa mencontohnya, dan justru marah-marah terhadap cara orang lain berbusana?