Islam adalah agama yang mampu beradaptasi dengan segala perkembangan zaman. Lalu sebagai umat Islam, bagaimana hendaknya kita bersikap di tengah berbagai perubahan namun tetap sesuai dengan ajaran agama?
Dalam sebuah hadits shahih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا”
“Sesungguhnya Allah akan mengutus bagi umat ini orang yang akan memperbaharui urusan agama mereka pada setiap akhir seratus tahun”
Islam menganjurkan untuk melakukan ijtihad sebagai upaya untuk mencari alasan mengapa sebuah hukum ditetapkan. Bila alasan tersebut sudah diketahui, selanjutnya adalah melihat apakah hal itu masih ada sampai sekarang atau tidak. Jika sudah berubah, maka hukum juga akan berubah.
Perkembangan yang ada dalam Islam pada dasarnya hanya merupakan perubahan pada bentuk bukan substansi. Seperti halnya pada setiap manusia sejak zaman dulu sampai sekarang memiliki naluri yang sama, yakni makan. Namun yang membedakan ‘makan’ dari zaman ke zaman hanyalah pada bentuk makanan dan cara mengolahnya. Bukan pada substansi ‘makan’ itu sendiri. Demikian dijelaskan oleh Prof. Quraish Shihab dalam sebuah video berjudul “Islam Segala Zaman”.
Beliau melanjutkan, dalam beberapa hal, agama Islam lebih banyak menetapksan substansi bukan menetapkan bentuk. Misalnya tentang Masjid yang boleh dibangun dalam bentuk apa saja, asal memenuhi substansi sebagai tempat yang bersih dan bisa digunakan untuk shalat.
Di masa awal Islam, Nabi melarang umatnya untuk ke kuburan, karena disana mereka akan berdoa dan meminta kepada orang yang telah mati. Jadi substansi larangan tersebut karena ziarah kubur pada waktu itu dapat mengantar seseorang kepada mempersekutukan Tuhan.
Setelah Nabi hijrah ke Madinah, umat Islam telah sadar bahwa ziarah kubur tidak dilakukan untuk meminta sesuatu kepada seseorang yang telah mati melainkan sebagai pengingat diri akan sebuah kematian. Maka pada saat itu Nabi justru menganjurkan untuk melakukan ziarah kubur. Hukum berubah total, bahkan bertolak belakang. Itu terjadi karena perubahan kondisi masyarakat.
Begitu juga terjadi pada masa sepeninggal Nabi. Di era sahabat, lahir hal-hal baru yang tidak dikerjakan oleh Nabi. Nabi tidak pernah memberi perintah mengumpulkan ayat-ayat Alquran dalam satu mushaf, namun hal itu justru dilakukan pada zaman Abu Bakar. Demikian halnya dengan Utsman atas ijtihadnya untuk menyatukan bacaan Alquran yang berbeda-beda.
Itulah contoh-contoh mengapa Islam sesuai dengan perkembangan zaman, karena Islam adalah soal substansi dan tidak terlalu terikat ketat dengan bentuk-bentuk.
Islam juga memberi hak veto kepada pemeluknya, yaitu apabila suatu perintah menjadi berat untuk dilakukan lantaran sebab tertentu, maka perintah tersebut bisa gugur atau tergantikan dengan yang lain. Misalnya orang yang sedang sakit, dalam perjalanan, atau ibu hamil boleh tidak melakukan puasa namun baginya untuk mengganti dengan membayar fidyah.
“Karena prinsipnya, agama adalah ciptaan Tuhan, sedangkan keberagamaan adalah sikap manusia. Keberagamaan ada di bawah kedudukan kemanusiaan, sehingga jika ada keberagamaan yang mengganggu kemanusiaan, maka bisa jadi kewajiban untuk beragama menjadi gugur,” papar pengarang tafsir Al-Mishbah tersebut.
Oleh karena itu, Islam sesuai dengan segala perkembangan, karena ia menjunjung tinggi agama sebagai satu ajaran dari Tuhan, sekaligus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.