Tepat di tanggal 30 September tahun ini ada dua “hajatan” yang berbarengan, pertama hajatan “Asyura” yang diperingati pada setiap 10 Muharram, dan yang kedua adalah “hajatan wajib” di masa orde baru dulu yaitu penayangan film G 30 S, yang bagi orde baru inilah pelajaran sejarah bangsa yang tidak bisa ditawar-tawar.
Antara Asyura dan penayangan film G 30 S, ada sebuah narasi yang sama yaitu apakah ada suara yang dibungkam di sana saat ada narasi yang mendominasi di sisi yang lain? Pertanyaan ini saya munculkan sebab di dua hajatan tersebut ada pertarungan oposisi biner antara apakah asyura tersebut syiah atau sunni, atau pro kontra persoalan tayangnya atau tidak film G30S, sebab yang menolak tayangnya film tersebut sering diasumsikan sebagai antek komunis, yang mengancam akan eksistensi bangsa Indonesia.
Dalam kajian filsafat posmodernisme, khususnya kajian “Subaltern Studies” ada seorang tokoh yang menonjol yaitu Spivak Chakravorty Spivak. Ia dikenal sebagai ahli teori-teori post kolonial. Lebih khusus sebagai ahli kajian subaltern (subaltern studies), setelah esai panjangnya “Can Subaltern Speak” pada tahun 1983 terbit dan menjadi karya monumental, bahkan diperingati 20 tahun penerbitannya oleh para filsuf dunia di Cork, Irlandia.
Melalui sedikitnya 10 buku karyanya yang banyak kita kenal, serta karya-karya kajian para ahli filsafat lain mengenai teori-teorinya khususnya perbincangan soal subaltern, banyak orang juga mengenal Spivak sebagai ahli kajian kritis mengenai budaya (critical cultural studies) dan teori-teori dekonstruksi, setelah menerjemahkan dan menafsirkan Derrida dalam kata pengantar yang dekonstruktif dari karya De la grammatologie ke dalam bahasa Inggris, Of Grammatology.
Dalam kajian Spivak, apakah yang disebut dengan subaltern tersebut? Terus apa hubungannya dengan dua hajatan yang dibahas di atas? Inilah pertanyaan yang coba saya jawab dalam tulisan ini. Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita akan lebih bijaknya untuk mencoba membaca persoalan perbedaan ini dengan kacamata yang luas, sekarang ini kita akan mencoba melihat bagaimana Islam berkelindan dengan persoalan sang liyan dalam kacamata subaltern studiesnya Spivak.
Istilah “subaltern” diambil dari pemikiran filsuf Italia, Antonio Gramsci, yang menggunakan istilah tersebut untuk kelompok sosial atau masyarakat subordinat, yakni kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi objek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa, dalam hal ini bisa bermakna siapa saja, misalnya pemerintah atau golongan.
Dalam uraiannya Spivak menjelaskan, sejarawan India Ranajit Guha dari kelompok kajian Subaltern pada awalnya mengadopsi gagasan Gramsci untuk mendorong penulisan kembali sejarah India yang kemudian mendefinisikan subaltern sebagai “mereka yang bukan elite”. Gagasan Guha menggeser dikotomi “menindas-ditindas” karena penindasan juga dilakukan oleh orang-orang di dalam kelompok sendiri.
“Di berbagai tempat di dunia, di sepanjang sejarah manusia, selalu ada orang-orang yang secara absolut tidak punya suara dan tidak dapat berbicara,” kata Spivak dalam sebuah penjelasan saat ditanya persoalan aktivitasnya di kajian subaltren.
“Sedihnya, Selalu ada orang-orang yang dibungkam. Itu sebabnya saya katakan, jangan menjadi mayoritas bungkam, tak bersuara”. “Kita harus selalu memberi perhatian kepada mereka yang berada di paling dasar dan berbuat sesuatu supaya mereka tidak selalu menjadi subaltern. Itu pula tugas para pemikir yang menjadi bagian dari diaspora untuk membantu kelompok diaspora dari kelas lebih rendah yang mendapat kesulitan”. pungkas Spivak di lain kesempatan.
Subalternisasi selalu terjadi ketika yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin dari yang termiskin menjadi semakin miskin. Yang menindas semakin leluasa menindas, yang tertindas semakin tak bisa bersuara dalam penindasan yang semakin merajalela.
Sejak kemunculannya 14 abad yang lalu, Islam banyak belajar dari banyaknya perbedaan yang muncul dalam tubuh Islam itu sendiri. Islam pun tak luput dari peristiwa berdarah-darah dalam sejarahnya. Bahkan dalam berbeda menafsirkan hukum, kita bisa mengorbankan saudara kita sendiri.
Ali bin Abi Thalib dan Abu Dzar AlGhifari adalah salah satu contoh yang sangat nyata, saat perbedaan yang tidak dihadapi dengan bijak. Kalau dulu Gus Dur pernah menawarkan sebuah konsep yang bagus “Kami Butuh Islam Ramah bukan Islam Marah”, dalam menghadapi perbedaan adalah sebuah keramahan bukan kemarahan yang dihadirkan.
Konsep yang ditawarkan oleh Gus Dur tersebut sangatlah sehaluan dengan apa yang ditawarkan oleh Spivak, Islam ramah akan lebih mantap saat mencoba mendengarkan suara-suara yang selama ini terbungkam. Syiah dan para penyintas tragedi 65 adalah salah satu diantara mereka yang terbungkam, oleh sebab itu kita perlu mendengar selama ini apa yang mereka rasakan selama ini.
Kasus pengusiran saudara-saudara kita yang dari Syiah di Sampang dan penganut Ahmadiyah di Cikeusik, sampai saat ini kasusnya belum lagi selesai. Mereka terusir dari kampung yang sudah lama mereka tempati, dan mengungsi ke tempat yang asing bagi mereka. Belum lagi jika kita bicara soal hak-hak sosial mereka yang tercabut saat mereka dianggap sesat oleh otoritas agama.
Para penyintas kasus 65, malah sudah mengalami keterbungkaman dan ketertindasan sebab stigma akan ideologi yang katanya mereka anut. Hak-hak sosial dan politik dilucuti dan kehidupan mereka seakan-akan dihantui ketakutan yang luar biasa. Suara-suara mereka dibisukan dan tidak diberikan sama sekali kesempatan untuk berbicara.
Senada dengan apa yang disampaikan oleh Buya Syafii Maarif, bahwa Islam sebagai mayoritas di Indonesia sudah pasti memiliki tanggung jawab yang besar untuk menciptakan rasa aman, tentram dan nyaman kepada seluruh masyarakatnya, bukan malah menjadi ancaman bagi yang lain. Oleh sebab itu kita sudah semestinya memberikan kesempatan yang sama dalam sosial kemasyarakatan pada mereka yang selama ini terbungkam dan tertindas.
Suara-suara yang selama ini terbungkam harus mulai disuarakan dari mereka sendiri, sebab menurut Spivak kita yang tidak mengalami keterbungkaman tersebut tidaklah mungkin kita bisa meromantisasi dan mengklaim kemampuan untuk menggali dan mencari suara mereka yang tergolong subaltern. Kalaupun ini terjadi maka Spivak menganggap kita sudah melakukan “kekerasan epistemologi” terhadap mereka.
Kontroversi pemutaran film G 30 S yang sedang ramai beberapa waktu ini, sebenarnya hanya menyuarakan satu sisi yaitu suara yang sedang berkuasa. Sedangkan suara-suara dari sisi mereka yang selama ini terbungkam atas kekuasaan malah semakin dibungkam, sebab film seperti “Jagal” dan “Senyap” malah dilarang dan distigma yang tidak bagus.
Perayaan “Asyura” oleh mereka yang menjalankan ajaran Syiah pun selama ini masih sulit dan selalu terancam dalam ketakutan yang tak berhenti. Bagaimana sebuah ibadah bisa mendapatkan khusyu’ kalau masih dilaksanakan dalam suasana yang dirundung ketakutan akan dibubarkan selalu menghinggapi hati.
Oleh sebab itu, Islam sudah seharusnya memberikan ruang hidup bagi mereka yang selama ini terbungkam dan tertindas. Sebab jika kita melakukannya maka kita sudah bisa dianggap sebagai memuliakan manusia. Sebab kita perlu merenungi kata-kata indah dari Gus Dur “memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya, merendahkan dan menistakana manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya”.