Di tengah keramaian orang sibuk ngomongin Mukidi, ternyata masih banyak yang bertanya, siapa Mukidi itu?
Kejadian itu saya alami. Kemarin malam, saya mendapatkan telpon dari teman lama yang cuma pengen tanya ihwal sosok Mukidi—karena saking penasarannya. Kata dia, di mana-mana orang ngomongin Mukidi. Gak WA, Facebook, Twitter, Instagram, BBM, bahkan hampir di seluruh platform media sosial; semua serba Mukidi. Saya pun tertawa.
Kemudian saya jelaskan. Bahwa Mukidi itu seperti halnya cinta dan Tuhan. Bisa dirasakan kekuatannya, tetapi tidak kelihatan wujud aslinya. Karena ada yang mengatakan bahwa Mukidi itu berasal dari Madura. Versi lain bilang, dia orang Betawi. Di samping ada yang mengatakan Mukidi itu anak Cilacap, namun arek Suroboyoan juga mengakui. Bahkan, TKI yang sekarang menyambut rombongan jamaah haji pun mengatakan kalau Mukidi sekarang mukim di Saudi Arabia. Mengingat humor Mukidi juga ada yang versi Arab.
Lalu, siapakah Mukidi itu? Yang jelas, pesan viral Mukidi soal humor kocak, nadanya sama. Membuat orang tertawa.
Dan, hal terkonyol lain, ada yang mengatakan bahwa Mukidi itu berasal dari bahasa Mesir Kuno, yang berarti “Aku Yahudi”.
Bayangkan, nada sarkasme kata Yahudi—yang biasanya buat njelek-njelekin kelompok tertentu dengan ucapan, “Oh dasar Yahudi, agen Yahudi antek Amerika, Yahudi liberal kafir,” bisa-bisanya dibuat guyonan dalam konteks Mukidi.
Saya pun dalam singkatnya ingin mengatakan bahwa Mukidi ini orangnya pasti rahmatan lil ‘alamin. Tidak gampang ngamukan dan marah. Bila namanya dibuat bahan guyonan, nggak nesu, bahkan ikhlas, namanya dipakai demi membuat orang lain bahagia.
Uniknya lagi, belakangan ini, ada yang bilang bahwa nama Mukidi itu aslinya adalah Mukhidi, yang berasal dari kata Wakhidi. Dalam bahasa Arab, Wakhid berarti satu, tunggal, dan sendirian alias jomblo.
Loh, kenapa kok tiba-tiba Mukidi jadi berarti jomblo? Teman saya yang nelpon tadi sepertinya tidak terima. Saya pun mencoba meniru Mukidi, dengan penuh kesabaran, saya jelaskan.
Nah, oleh sebagian masyarakat Jawa, masih banyak yang tidak fasih melafadzkan huruf kha’, tetapi diucapkan dengan huruf ‘kaf’.
Seperti orang kesulitan mengucapkan kalimat hamdalah. Bukan “Alhamdulillah” yang diucapkan, tetapi “Alkamdulillah atau Ngalkamdulillah”. “Alfatikhah”, tetapi diucapkan “Alpatekah”. “Muhammad” jadi “Mukammat”. Tidak aneh misal banyak kita jumpa, nama Abdul Haris, tetapi dipanggil “Dul Karis”. Abdul Hamid, dipanggil “Dul Kamid”, Nama “Hamzah”, dipanggilnya Kang “Kamzah atau Komyah”.
Lalu, jangan-jangan Mukidi itu penggerak Islam Nusantara?”Tanya temen saya. Saya pun tertawa. Hahaha.
Sejarah Mukidi
Menurut karangan saya, konon, dulu Ayah Mukidi adalah seorang pejuang, aktivis, sekaligus ilmuan. Ia tengah mendeklarasikan dirinya sebagai seorang jomblo absurd melankoli plegmatis.
Ayah Mukidi meyakini bahwa revolusi akan tercipta ketika tidak ada perempuan di sampingnya, alias jomblo. Baginya, perempuan itu penghambat revolusi.
Selain itu. Mukidi adalah seorang pembaca sejarah yang baik. Dia ingin meniru suluknya Imam Ath-Thabari (224-310 H), Imam Nawawi (631-676H), Ibnu Taimiyah (661-728 H), Ibnu Khasyab (492-567 H), dan sederet ulama’ lainnya yang memilih hidup njomblo. Ayah Mukidi ingin mewakafkan dirinya untuk kepentingan umat, dan tidak hanya dimiliki oleh seorang semata.
Namun, setelah Ayah Mukidi diledek sama dedek emesh masih belia yang menikah dini, kemudian suka ngasih training motivasi indahnya nikah di usia mudia itu, seakan hati Ayah Mukidi terbakar, tidak terima. Yang mana di usianya yang sudah menginjak kepala tiga tidak bisa nyaingi dedek emesh tersebut. Nggak lucu kalau misal keliling-keliling, dari satu seminar ke seminar yang lain, tapi materinya adalah motivasi indahnya jomblo. Hidup berkah tidak menikah.
Selain itu, ada sebuah tekanan dari kehidupan Ayah Mukidi, yakni menunggu masa ‘iddah Dik Dian Pelangi. Nah, atas dasar itu, akhirnya Ayah Mukidi memberanikan diri untuk mengakhiri masa deadline kejombloannya. Ndelalah kok Tuhan pun memberi amnesti kepada Ayah Mukidi agar segera menikah.
Singkat cerita, didapatkanlah seorang santri putri ngehits yang ia kenal lewat instagram hasil dari kalah debat mengenai persoalan agama. Apalagi santri putri itu bisa mengislamkan tetangga-tetangganya. Ayah Mukidi lalu jatuh cinta. Ciye ciye….
Kemudian, Ayah Mukidi bernazar, bila di suatu saat nanti ia dititipi oleh Tuhan seorang anak laki-laki, maka akan diberi nama Mukhidi. Nah, nama “Mukhidi” adalah singkatan dari “Mukhammadi”.
Ayah Mukidi berharap kelak nanti anaknya bisa menjadi penerus perjuangan Nabi Muhammad. Dengan menebarkan benih rahmat dan kasih sayang. Bukan benih kekerasan dan kebencian. Ayah Mukidi ingin kelak anaknya bisa menjadi tauladan bagi banyak orang karena sifat sayangnya. Karena dulu ketika di pesantren, Ayah Mukidi pernah mendapatkan petuah dari gurunya yang dirujuk dari sebuah hadis Nabi Saw,.“Sayangilah makhluk yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit akan menyayangimu”.
Alhamdulillah, apa yang diinginkan oleh Ayah Mukidi terkabulkan. Ayah Mukhidi kini sudah tua. Melihat sosok Mukhidi, ayahnya pun senang, riang gembira. Ternyata namanya yang tafa’ulan kepada Kanjeng Nabi Saw (singkatan dari Mukhammadi) itu menjadi nyata. Sebagai seorang beragama, wajah Islam yang ditampilkan oleh Mukidi penuh dengan humor, guyonan. Tidak tegang dan gampang ngamukan.
Malahan, siapapun pasti tertawa terpingkal membaca humor Mukidi. salah satu humor Mukidi terkocak, menurut saya yang ini; judulnya “Surga atau Neraka”.
Bu Guru: “Anak-anak. Siapa yang mau masuk surga?”.
Anak-anak: (Dengan serempak) “Sayaa!
Mukidi: (Lagi duduk di belakang hanya diam saja).
Bu Guru: “Siapa yang mau masuk neraka?”
Anak-anak: “Tidak mauu!”
Mukidi: (Tetap diam saja).
Bu guru: (Mendekat) “Mukidi, kamu mau masuk surga atau neraka?”
Mukidi: “Tidak kedua-duanya Bu Guru.
”Bu Guru: “Kenapa?”
Mukidi: “Habis waktu ayah saya mau meninggal, beliau berpesan. Mukidi, apapun yang terjadi kamu harus masuk TENTARA.”
Oleh banyak kalangan, Mukidi bisa diterima siapapun. Baik kalangan marginal, tukang agen LPG, ibu-ibu Kendeng yang tengah berjuang agar wilayahnya tidak dicaplok Semen, hingga ormas yang hobinya sweping sembari teriak-teriak Allahhu Akbar pun disambangi oleh Mukidi. Mukidi tidak lagi mengenal sekat kawan atau lawan.
Dalam kehidupan Mukidi, yang diketahuinya adalah humor, cinta, dan Tuhan. Makanya ketika terjadi aksi pembubaran diskusi buku atau film, serta pembakaran tempat ibadah, ataupun pembumihangusan buku-buku yang dianggap ‘nakal’, Mukidi tidak bisa berfikir. Kenapa kejadian itu selalu berulang-ulang, sepertihalnya pertanyaan; siapakah Mukidi sebenarnya?
Muhammad Autad An Nasher, Penulis yang sekaligus Sahabat Mukidi ini bisa dijumpai lewat akun twitter @autad