Narasi Islam moderat untuk melawan eksklusivisme agama tidak hanya bisa diteropong dari riuhnya kampanye media sosial. Rak toko buku di kota-kota besar juga mampu menggambarkan ‘sengitnya’ pertarungan narasi keislaman di Indonesia.
Saya punya kebiasaan yang cukup rutin untuk mengunjungi toko buku. Langganan saya adalah toko buku yang lokasinya di ujung utara Jl. Affandi (lebih populer dengan nama Jl. Gejayan), Yogyakarta. Anak muda yang tinggal di Yogyakarta pasti tahu toko buku ini. Meski tak sebesar Gramedia, namun toko buku ini sangat digemari karena diskonnya yang cukup ramah kantong.
Singkat kata, tiap mengunjungi toko buku manapun saya selalu rutin menilik judul-judul buku yang ada di tempat buku bertema agama. Kegelisahan lama saya adalah absennya buku dengan narasi Islam moderat di toko-toko buku besar. Selalu saja, toko buku didominasi oleh judul dengan spirit aspirasi politik Islamisme dan keagamaan ala Salafi-Wahabi.
Selama ini, nama Felix Siauw, penceramah eks Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) selalu saja memenuhi display buku-buku keagamaan. Seperti buku Felix yang berjudul Muhammad Al-Fatih 1453 cukup lama bertahan di jajaran buku-buku agama. Buku yang mengambil nama penguasa Kerajaan Turki Utsmani yang merebut kota Konstatinopel sebagai judul buku ini mengusung spirit Khilafahisme sebagaimana afiliasinya dengan organisasi HTI.
Semua buku Felix masuk di jajaran buku-buku tema agama. Misalnya buku Felix dengan judul Beyond The Inspiration, dengan sampul ada bendera warna hitam bertuliskan La Ilaha IllAllah seperti bendera HTI tertancapkan di atas menara juga bertahan lama di jajaran buku agama.
Felix juga menggarap buku dengan genre keislaman untuk kalangan remaja seperti Yuk, Berhjab: Hijab Tanpa Nanti, Taat Tanpa Tapi dan buku Udah Putusin Aja! Jaga Kehormatanmu Raih Kemuliaanmu. Dua buku ini lebih halus dalam membawa narasi Islamismenya. Di buku dengan tema remaja ini Felix lebih menekankan lifestyle Islami. Tapi, ujungnya tetap saja bernuansa Islamisme.
Tak habis-habisnya buku Felix masuk di jajaran buku agama. Misalnya buku How to Master Your Habits dan buku Wanita Berkarir di Surga. Buku pertama mengambil genre buku panduan praktis kehidupan sehari-hari. Namun tetap saja konten narasinya ya bernuansa lifestyle Islami.
Sedangkan buku yang kedua mengambil segmen Muslimah tentang bagaimana menjadi Muslimah yang Islami yang menjadi cerminan wanita surgawi. Lagi-lagi, narasinya ya tetap saja nuansa pemahaman Islam dalam kerangka Islamisme yang menuntut kesalehan ritual dan mendukung penundukan perempuan.
Naasnya, selain buku-buku Felix, selama ini buku keislaman lain yang terpajang disana adalah buku-buku ritual keislaman dasar dan buku-buku terjemahan dari ulama-ulama Salafi-Wahabi. Buku-buku genre Salafi-Wahabi ini tidak secara langsung mengusung proyek Khilafahisme. Namun, ia mengusung spirit lifestyle kesalehan ritual yang cenderung eksklusif dan tidak ramah dengan tradisi lokal.
Buku-buku keislaman dengan wacana yang tidak ramah keberagaman ini sebenarnya sedang menggarap besarnya geliat pasar kaum kelas menengah Muslim perkotaan. Sejak era Orde Baru dan ditambah era Reformasi ini memunculkan kelompok masyarakat Muslim perkotaan dengan nasib ekonomi yang cukup mujur.
Kaum Muslim yang cukup mapan ekonominya ini secara umum memiliki keresahan perihal kurangnya wawasan keislaman. Lahir dan tumbuh tidak dari tradisi pesantren, mereka memiliki ambisi untuk belajar Islam. Maka dari itu mereka membutuhkan panduan bagaimana untuk menjadi Muslim yang sejati.
Di tengah munculnya kelompok Muslim yang demikian, gerakan Islamisme dan Salafi-Wahabi sedang giat-giatnya mengembangkan dakwahnya. Dan salah satu objek dakwah yang digarap adalah penerbitan buku-buku keislaman ini baik secara populer maupun serius dengan menerjemahkan karya-karya ulama mereka.
Situasi ini sudah lama membikin saya khawatir. Bila mana kelompok kelas menengah Muslim kota ini belajar Islam dari buku-buku dengan spirit Islam yang eksklusif, bagaimana jadinya nasib keberagamaan Islam moderat yang akomodatif dengan tradisi yang telah terjalin selama berabad-abad di negeri ini?
(Bersambung)