Islam Moderat dan Kebijakan Luar Negeri

Islam Moderat dan Kebijakan Luar Negeri

Islam Moderat dan Kebijakan Luar Negeri

Kalau bukan kita, warga Indonesia, siapa lagi yang bakal membangga-banggakan bangsa sendiri. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di kolong langit, wajah Islam moderat Indonesia diyakini bakal menjadi salah satu kekuatan dalam desain kebijakan luar negeri. Apalagi setelah kasus-kasus terorisme terjadi dan sejumlah Timur Tengah dirundung perang.

Di masa Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden, ia mempromosikan Indonesia sebagai “a country where democracy, Islam and modernity go hand in hand”, negara di mana demokrasi, Islam, dan modernitas berjalan bermesra-mesraan. Kepercayaan yang sama diteruskan Jokowi. Ia membanggakan Islam Indonesia sebagai Islam yang toleran dan moderat.

Dunia mengakui. Jauh-jauh hari, Hillary Clinton pada 2009 membuat pernyataan yang membuat penguasa terbang ke langit ke tujuh. “jika Anda ingin tahu apakah Islam, demokrasi, modernitas dan hak-hak perempuan dapat hidup berdampingan, pergilah ke Indonesia,” katanya pada sebuah jamuan makan bersama orang-orang Indoesia, Saat itu ia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri AS. Lawan politiknya dari partai Republik, Mike Pence yang menjadi wakil Presiden AS mengatakan Islam Indonesia seharusnya menjadi inspirasi dunia. Pernyataan itu dikatakan saat ia mengunjungi Istiqlal.

Indonesia, seperti kata Martin Van Bruinessen, memiliki pengalaman membanggakan di mana Islam Indonesia amat diperhitungkan di kalangan bangsa Timur Tengah. Ya, di masa ayahnya Megawati berkuasa. Martin menjumput data itu dari omongan Kiai Abdullah Abbas, pengasuh Pesantren Buntet Cirebon, empat puluh tahun lalu. Kata Kiai Abbas, orang-orang Arab sering bilang pada orang-orang Indonesia dengan “Ahmad Sukarno”.

Setelah era itu, dunia Arab kurang melihat Islam Indonesia memiliki pengaruh strategis di dunia. Hassan Wirajuda, mantan Menteri Luar Negeri pernah bercerita. Presiden Abdurrahman Wahid pernah ditanya salah seorang petinggi Saudi Arabia. “Apa saya benar jika bilang Islam di Indonesia bukan Islam yang sebenarnya?” katanya seperti dikutip Fuadi Pitsuwan, Student Fellow at Harvard University’s Kennedy School of Government, dalam tulisannya, Indonesia’s Foreign Policy and the International Politics of the Islamic World.

Kata Vali Nasr, penulis tentang kebijakan luar negeri asal Iran-Amerika pernah mengatakan dalam pidato kuliahnya pada 2012. Katanya, hanya ada tidak negara di dinia ini yang berusaha menggunakan nilai-nilai Islamnya dalam pentas global: Arab Saudi, Iran, dan Turki. Arab Saudi mengekspor Wahhabisme ke seluruh dunia lewat pendanaan madrasah dan masjid; Iran berusaha mempengaruhi Irak, Bahrain, Lebanon, dan Suriah dan memperkuat hubungan dengan aktor non-negara Syiah. Sementara Turki lewat ekonominya. Indonesia tak disebutnya.

Rasanya kita masih punya banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan jika kebijakan moderat Islam dapat “menjual” di pentas internasional. Kekuatannya akan dipengaruhi oleh seberapa kuat pengaruh Indonesia di bidang ekonomi dan politik di pentas global. Dengan begitu Indonesia dapat bermimpi menjadi negara keempat setelah Arab Saudi, Iran, dan Turki.