Mengapa di Digital Gerakan Islam Moderat Tampak Selalu Kalah?

Mengapa di Digital Gerakan Islam Moderat Tampak Selalu Kalah?

Di digital, gerakan Islam moderat kalah gaung dibanding yang lain, kenapa ya?

Mengapa di Digital Gerakan Islam Moderat Tampak Selalu Kalah?

Tulisan ini lahir atas kegelisahan saya selama ini dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan seperti ini: “Mas, kamu dan teman-teman kan sudah banyak bikin konten-konten positif tentang keindonesiaan dan keislaman, baik yang Islam damai, Islam ramah, Islam cinta, Indonesia rumah bersama, yang moderat-moderat begitulah pokoknya, tapi kenapa gaungnya pasti kalah dengan gerakan Islam politik sih? Yang bawa-bawa agama ke politik dengan gerakan bela-bela yang berjilid-jilid”.

Pertanyaan yang sangat menarique dari sobat ambyar. Sobat yang selalu ambyar hatinya ketika muncul gerakan atau narasi ekstremisme di media sosial.

Saya pun balik bertanya pada diri saya sendiri, “Emang bener kita ini kalah gaung? Atau jangan-jangan itu hanya perasaan saja?” Tapi lebih baik merasa kalah lalu berbenah daripada menyerah tanpa melangkah.

Sudah seperti motivator belum, Gaes?

Pun begitu saya kemudian mencoba kembali memutar rekaman ingatan saya dari hasil diskusi dengan beberapa kolega. Kebetulan kolega-kolega saya punya hobi ikutan workshop gitu. Jadi pengalaman dan kulakan idenya banyak dari hasil pertemuan-pertemuan super barokah.

Singkatnya, kemudian saya mempreteli beberapa hal dan mencoba berefleksi. Yang pertama, diakui, kita saat ini tidak bisa lepas dari kerumunan maya. Segala ide, gagasan, bahkan sambat-menyambat pun dituangkan di sana.

Yang kedua, catatan penting nih, bahwa konten yang paling disukai oleh warga +62 tak lain adalah yang berbau perdebatan, kontroversi, yang kemudian lahirlah makhluk yang bernama “bully”. Ngatain orang itu paling enak di media sosial.

Yang ketiga, status seseorang di media sosial itu sama. Setara. Tidak hanya dihadapan Allah saja derajat kita sama, Bro. Di media sosial pun sama. Semuanya berpotensi untuk viral. Yang membedakannya hanyalah nominal endorsannya.

Di media sosial, siapapun yang paling dominan, yang teriaknya paling kenceng, dialah yang menang. Dialah sang penguasa isu. Itulah kenapa bisnis buzzer dibutuhkan. Wajar saja jika tahun di mana musim demo berjilid-jilid dilaksanakan secara terstruktur dan massif, ada yang bilang bahwa gadget yang di tangan kita saat ini adalah pengganti senjata AK-47.

Serem banget ya?

Kembali ke renungan saya tadi berdasarkan diskusi bersama kolega. Kenapa kita bisa kalah?

Pertama, yang dijual oleh mereka adalah narasi ketakutan. Kenapa ketakutan lebih cepat masuk ke alam bawah sadar dibanding narasi yang adem ayem? Menurut pakar psikolog Rikka Iffati, ia mengatakan, karena emosi takut itu termasuk emosi dasar yang penting bagi survivalitas manusia sejak zaman pra sejarah, makanya kuat banget. Hal itu dijawab mengapa berita hoaks cepat sekali menyebarnya. Karena yang disodorkan adalah ketakutan-ketakutan. Takut bencana, takut penyakit, takut bahaya, takut misquen.

Kedua, orang-orang moderat kalah militan. Himbauan untuk menjadikan gadget sebagai pengganti AK-47 adalah bagian dari propaganda supaya menjadikan gadget itu alat untuk menebarkan narasi-narasi ketakutan tadi. “Sebarkanlah, jangan sampai berhenti pada kamu, akhi, jika kalian ingin dihindarkan dari siksaan api neraka!”.

Ketiga, mayoritas banyak yang diam dan tidak ada kesadaran menggunakan media sosial sebagai lahan dakwah atau menebar konten positif. Karena yang mayoritas ini diam saja, nggak ikutan teriak, lalu lahannya sudah direbut oleh gerakan-gerakan ekstrimis/ultra konservatif ini. Yang kemudian muncul adalah pernyataan-pernyataan; “Ih, segitunya ya orang jualan agama. Media sosial kok jadi serem gini ya. O pantesan ini pasti ulah kadrun” dan lain-lain.

Keempat, mereka selalu menciptakan musuh bersama. Strategi yang mereka pakai adalah menciptakan musuh-musuh yang tidak sejalan dengan ideologi dan gagasan yang diusungnya. Label seperti penista agama, penghina ulama, pencaci nabi, dan lain sebagainya. Disambung lagi dengan narasi umat Islam selalu diserang oleh musuh-musuh dan kelompok-kelompok dari luar seperti liberalis, amerika, cina, wa akhowatuha.

Diakui sih, polarisasi sangat menguat ketika musim pilkada atau politik. Bener nggak cuy? Tapi apakah ‘mereka’ yang kubu-kubuan kemarin bukannya malah tambah sakit ketika melihat Jokowi menggandeng Prabowo di pusaran kekuasaan? Semoga saja sih mereka segera move on dan menyadari bahwa percuma saja bawa-bawa agama ke dalam politik. Mengutip quote netizen: itu sampah.

Apa yang harus kita lakukan?

Pertama, bikin konten positif sebanyak-banyaknya. Misalnya tentang kebanggaan menjadi muslim Indonesia. Lalu tunjukkan saja keanekaragaman budaya di negeri ini yang sangat kaya raya. Perbedaan itu sunnatullah. Bikin aja konten-konten positif seperti itu. Tapi jangan hanya tentang promosi toleransi aja. Karena perdamaian tanpa keadilan hanyalah ilusi. Itu kata Gus Dur.

Bikin juga konten tentang bagaimana sikap kita ketika melihat suatu ketidakadilan. Seperti ketika ada hak warga negara yang dirampas oleh sekelompok orang atau karena kesewenang-wenangan negara. Ala-ala SJW gitulah. Namun, tetap berpegang teguh pada nilai atau prinsip. Karena itu abadi. Jangan menyerang sosoknya, tapi perilakunya.

Dan, tunjukkaan juga kebanggaan kita sebagai orang islam yang selalu melindungi kelompok-kelompok minoritas atau kalangan marginal.

Kedua, jawablah pernyataan poin satu sampai lima di atas. Jika sudah terjawab dengan baik, lalu kita kerjakan konten-konten positif berikutnya.

Kuncinya adalah tetap istiqomah. Ajak semua orang untuk berbuat baik. Jangan ciptakan musuh. Itu aja sih kalau dari aku, kalau menurut kamu gimana gaes? Wallahhu a’lam.