Penceramah kondang asal Bogor, Jawa Barat Habib Bahar bin Smith belum lama ini dilaporkan oleh sekelompok orang yang menamai diri sebagai Jokowi Mania. Mereka melaporkan dengan alat bukti sebuah video ceramah Habib Bahar bin Smith yang mengatakan Presiden Joko Widodo sebagai “Presiden Banci.” Polisi sudah menetapkan bahwa ceramah tersebut adalah ceramah Habib Bahar di Palembang pada tahun 2017. Yang beredar di internet, setelah pelaporan adalah potongan ceramahnya. Salah satu kata yang dilaporkan adalah “Kamu kalau ketemu Jokowi, kalau ketemu Jokowi, kamu buka celananya itu. Jangan-jangan haid Jokowi itu, kayanya banci itu,”
Habib Bahar sudah dikenal sebagai penceramah bernada keras. Jika mengamati di media sosial, penceramah yang memiliki ciri khas berambut pirang dan panjang ini juga dikenal dengan video-video menunjukkan kebolehannya memainkan benda tajam, seperti golok. Ceramahnya yang bernada keras bahkan seringkali sambil berteriak mengidentikkannya sebagai sosok yang sangar.
Terlepas dari posisi beliau yang disebut sebagai Habib (keturunan Nabi saw.), bagaimanapun kita bisa mempertanyakan apakah tepat berdakwah dengan nada berteriak-teriak seperti itu?
Terlepas dari konteks ceramah itu sebagai kritik terhadap pemerintah, mungkin dirasa beliau sedang mengamalkan sebuah hadis afdhalu al-jihad kalimatu haqqin ‘inda sulthanin jaair (jihad yang paling utama adalah pernyataan keadilan terhadap penguasa/sultan yang sewenang-wenang). Terlepas sah tidaknya tuduhan bahwa pemimpin negara saat ini sudah termasuk golongan sewenang-wenang, disadari atau tidak rupanya beliau sudah kelewat batas karena sudah menyinggung hal yang sangat dasar yaitu jenis kelamin. Sesuatu yang sangat personal. Ucapan tersebut juga tidak mencerminkan akhlak di mana Nabi saw. justru menegaskan dalam hadis riwayat Abu Dawud dan al-Thabrani:
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
Sungguh tidaklah aku diutus melainkan untuk menyempurnakan kemuliaan-kemuliaan berakhlak
Terkait dengan penghinaan, Rasulullah saw. sendiri, yang tak lain dipastikan adalah datuk dari Habib Bahar, justru mengatakan dengan tegas bahwa sibab al-muslim fusuqun wa qitaaluhu kufrun (mencela orang islam itu fasik dan membunuhnya (tanpa ada alasan yang dapat dibenarkan agama) itu menjadi penyebab kekafiran).
Sekali lagi, mungkin beliau merasa sedang menyampaikan kritik yang pedas sehingga boleh saja sampai tingkat as-sabb. Tapi jika kita melihat definisi dari as-sabb itu sendiri – mengutip al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, maka kita dapati bahwa yang dimaksud as-sabb (mencela) adalah
الشتم والتكلم في عِرض الإنسان بما يعيبه
Mencela dan membicarakan harga diri seorang yang sampai menjadi aib.
Bukankah itu terjadi pada pernyataan, “Banci!,” dan lanjutannya sampai diilustrasikan dengan sangat vulgar “coba buka celananya!.” Jelas, saya kira ini sudah jauh dari yang dikehendaki oleh Islam sendiri. Selain aspek moral-etis, laman tirto merilis bawah pemakian Banci kepada tokoh politik jejaknya sudah ada sejak zaman awal kemerdekaan. Ini menandakan bahwa memang makian masih dekat dengan budaya komunikasi (termasuk soal politik) di Indonesia. Semoga ketidaksepakatan kita terhadap sebuah langkah politik, tidak menyebabkan kita berkata kasar.
Tentang melakukan cacian ini, Nabi saw. pernah bersabda bahwa yang mendapatkan dosa pertama kali ketika ada dua orang yang kemudian saling mencaci adalah orang yang memulai. Ini didasarkan pada hadis riwayat Imam Muslim,
المستبان ما قالا، فعلى البادىء منهما، ما لم يعتد المظلوم
“Dua orang yang yang saling mencaci-maki, maka kesalahan ditimpakan kepada yang memulai di antara keduanya, selama yang dizalimi tidak kelewat batas dalam membantah.”
Para ulama kebanyakan menjelaskan maksud dari hadis di atas adalah memang dosa jika kedua orang saling mencaci, ditimpakan kepada yang memulai selama yang dicaci tidak melakukan pembalasan yang lebih buruk. Menurut Imam al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, ini juga menjadi dalil bolehnya membela diri jika dicaci:
ولا يجوز للمسبوب أن ينتصر إلا بمثل ما سبه، ما لم يكن كذبًا، أو قذفًا، أو سبًّا لأسلافه
“Orang yang dicaci tidak boleh membalas kecuali dengan kadar cacian yang setara, selama tidak berdusta, menuduh, ataupun mencela orangtua/keluarga-keluarga pencaci yang terdahulu.”
Terakhir, negara kita punya perangkat hukum di mana orang yang melakukan makian kepada pihak tertentu kemudian yang dicaci dapat melaporkannya kepada pihak berwajib. Jika makian itu bagi objek dirasa menyindir atu menyakiti, ia dapat melaporkannya kepada kepolisian. Semoga kegiatan dakwah kita tidak lagi tercermar dengan caci maki dan kemurkaan.
Selengkapnya, klik di sini