Radikalisme agama di Indonesia, selalu ditanggapi dengan gesture keprihatinan. Masyarakat Indonesia, sebagai masyarakat multikultural, meyakini apabila radikalisme agama yang berwajah anarkhisme, berimplikasi pada chaos bangsanya, memunculkan konflik dan kekerasan bernuansa agama, yang sama sekali tidak ada unusr kecocokan dengan kultur Nusantara.
Penelitian yang dilakukan oleh INFID (International NGO Forum for Indonesian Development) pada tahun 2016, menemukan fakta bahwa persepsi masyarakat, terutama pemuda terhadap radikalisme, terorisme, kekerasan mengatasnamakan agama dan pendirian khilafah, diungkapan dengan ketidak-sepakatan, sebanyak 88.2 % mereka tidak setuju adanya kelompok agama yang menggunakan kekerasan. Meskipun begitu, pemuda sebagai garda perubahan bangsa, tingkat kesadaran toleransi mereka masih rendah. Bahkan sangat rendah.
Dalam pembacaan sejarah radikalisme di Indonesia, hal yang sering diulang-ulang monoton bersifat ideologis-politis. Dalam bahasa Samuel P. Huntington Struggle of Power adalah dalil kaum radikal untuk mencari wadah yang membebaskan mereka dalam kungkungan kedhaliman keberagamaan dunia. Yang terkadang, sistem sosial represif menjadi penghambat ideologi mereka. Sehingga dari keterbatasan lahan tersebut, menimbulkan sikap proaktif di lain dunia, misal dunia maya. Sungguh, progres mereka di alam sana sangat profit.
Separuh dari situs Islam di dunia, bisa dikatakan dipegang oleh mereka. Internet networking merupakan medium yang tak asing bagi mereka. Misal, pada tahun 2004, Pew Internet & America Life Project berkerjasama dengan Center for Research on Media, Religion and Culture mengeluarkan sebuah publikasi dengan judul “Faith Online”. Temuan dalam publikasi tersebut menyebutkan bahwa 64% responden menggunakan internet untuk tujuan keagamaan (Loveheimen Mia, Rethinking Cyberreligion? Teens, Religion and Internet in Sweden dalam jurnal Nordicom Review vol. 29 no. 2, 2008: 206).
Hal ini oleh beberapa teoritisi, masyhur disebut dengan cyber-religion. Dari besarnya pemirsa media online dalam mencari pemahaman keagamaan, kita bisa menaksir, tentu berdasar pada data jumlah pengguna internet dan media sosial, jika pemahaman yang mereka baca itu adalah pemahaman/doktrin/ideologi kaum liberal-radikal. Tapi kita perlu mengetahui, kaum radikal yang bagaimana yang menyebarkan hal tersebut. (Slavomir Galik, Cyber-Spirituality As New Form of Religion. European Jurnal of Science and Technology: Vol. 11, 2015).
Kuasa Radikalisme Keagamaan
Kekerasan, entah itu menyangkut dengan agama atau tidak, kamus besar kita menyebutnya sebagai terorisme. Kekerasan atau pula terorisme memilik anak turunnya, seperti fasisme, apherteid, dan radikalisme. Kesemuanya, tidak mudah untuk didamaikan. Radikalisme misalnya, adalah antagonis dari wajah Indonesia yang multikultural dan multireligion. Ia mengikis adigum Indonesia sebagai bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Sementara itu, kebanyakan kalangan intelektual berpendapat, secara absah, bahwa radikalisme merupakan gerakan yang dilakukan oleh individu maupun kelompok yang dirugikan oleh fenomena sosio-historis dan sosio-politik. Gejala kekerasan yang dilakukan oleh individu maupun golongan oleh penganut agama tersebut, secara sosio-historis lebih condong pada gejala sosial politik bukan gejala sosial keagamaan. Meskipun dalam prakteknya, panji-panji keagamaanlah yang dikibarkan.
Azyumardi Azra (2011) menyebutkan bahwa peningkatan radikalisme keagamaan banyak berakar dari meningkatnya penafsiran, pemahaman, aliran, denominasi, bahkan sekte dalam (intra) satu agama tertentu. Di kalangan Islam, radikalisme banyak berasal dari paham keagamaan yang literal, sepotong dan ad hoc terhadap ayat-ayat Alquran. Pemahaman seperti ini, disebut oleh Fazlur Rahman sebagai “pemiskinan intelektual”.
Wujud pemiskinan intelektual itu, hampir tidak memberikan ruang akomodasi dan kompromi kepada kalangan moderat. Alhasil, radikalisme dengan mudah merenggut arus pikiran utama (mainstream) umat. Sejarah mencatat, kelompok umat Islam radikal, sebenarnya sudah ada sejak zaman Khulafa’ur Rasyidin Ali bin Abi Thalib dalam bentuk kaum khawarij yang dengan radikal melanggengkan pembunuhan pada pemimpin Muslim yang mereka labeli ‘kafir’.
Selain itu, pemahaman bacaan pada literasi sejarah Islam yang dikombinasikan terhadap idealisasi sejarah Islam pada masa tertentu adalah kedok dari munculnya radikalisme agama. Adalah kaum Salafi-Wahabi di sekitar abad 18 sampai 19 yang dengan gencar mendendangkan pemurnian Islam—membersihkan Islam dari paradigma bid’ah, takhayyul, dan khurafat serta mengajak memahami kembali Islam hanya berdasar pada al-Qur’an dan Sunnah. Untuk mengkampanyekan term tersebut, mereka seringkali memakai kekerasan sebagai modal utamanya.
Melalui pemahaman dan praksis keagamaan yang seperti itu, kelompok sel radikal ini menyempal (splinter) dari mainstream Islam yang memegang dominasi dan otoritas hegomoni teologis, kebijakan hukum, sekaligus kepemimpinan agama. Fenomena itu, tidak jarang melahirkan reaksi dari kalangan mainstream dengan membubuhkan fatwa ‘sesat’ pada mereka. Fatwa yang terkesan main hakim sendiri ini tidak semena-mena pula dicatat sebagai kebenaran. Kalangan mainstream—seperti NU dan Muhammadiyah— belakangan telah bertindak, entah dalam rupa kampanye pesan perdamaian atau lebih baik lagi membuat data rekomendasi pada pemerintah. Alias bersinergi dengan pemerintah.
Bersambung