Menyimak berita-berita wafatnya pengasuh Majelis Rasulullah Habib Mundzir Al Musawa di media online beberapa waktu lalu, saya ikut merasakan kehilangan dan berduka cita. Tetapi dalam waktu bersamaan, ketika saya membaca beberapa komentar di salah satu berita, hati saya langsung panas. Betapa tidak, Habib Mundzir yang terkenal santun dan rendah hati itu dicaci-maki dengan kata-kata yang sangat kotor dan tidak pantas hanya lantaran beliau sering mendakwahkan soal toleransi dan antikekerasan.
Soal caci-maki terhadap tokoh agama sebenarnya bukan hal baru. Almarhum Abdurrahman Wahid alias Gus Dur bahkan meski kini jasadnya sudah di alam kubur, masih kerap dicaci-maki di kolom komentar berita yang menulis seputar dirinya. Demikian pula dengan Buya Syafii Ma’arif. Antek Yahudi, zionis, pendukung Sepilis (sekularisme, pluralisme, liberalisme), bahkan kafir adalah label-label yang sering disematkan pada kedua guru bangsa itu.
Para pencaci terlihat mengklaim dirinya sebagai muslim penjaga kebenaran yang paling “Islam” sehingga berhak memaki ulama yang tidak sependapat dengan ulama panutannya. Tetapi kebenaran yang mana yang ia jaga?
Siapa pun mengerti bahwa media online adalah ruang publik di mana setiap orang berhak untuk berekspresi, namun tentu harus dalam koridor. Petuah Arab menyatakan, likulli haalin adabun wa likulli makanin adabun wa likulli waqtin adabun (untuk setiap perilaku ada tata kramanya, dalam setiap ruang ada sopan santunnya, dan untuk setiap waktu ada etikanya sendiri).
Nah, apakah mencaci maki orang lain di depan publik dengan kata-kata kotor adalah sesuatu yang beradab? Dalam Qs. Al-Hujurat ayat 11 Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (menjelek-jelekkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita (yang dijelek-jelekan) lebih baik dari wanita (yang menjelek-jelekkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri, serta janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) fasiq sesudah iman, dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Dalam kitab Asbabun Nuzul, (1991: 263), Abi al-Hasan Ali bin Ahmad Al-Wahidy al-Nisabury, menerangkan bahwa ayat tersebut diturunkan untuk menegur seseorang yang menghina sahabat Nabi bernama Tsabit bin Qois bin Syamas. Biasanya, karena telinganya tuli, saat sahabat-sahabat sowan kepada Nabi, Tsabit dipersilakan duduk di sisi Nabi agar mampu mendengar petuah-petuah Nabi dengan lebih baik.
Suatu waktu, orang-orang yang bertamu di rumah Nabi sudah menduduki tempat di mana Tsabit biasa mendudukinya. Tsabit duduk sambil menggerutu dan marah. Melihat Tsabit marah, seorang laki-laki yang menduduki tempatnya lalu mencelanya dengan menuturkan bagaimana tingkah laku ibu Tsabit di masa Jahiliyyah.
Sementara ayat tentang larangan memberikan label yang jelek diturunkan sebagai teguran kepada laki-laki yang memanggil temannya dengan nama “Yanbuzah”. Karena laki-laki yang dipanggil itu tidak suka dengan nama tersebut, ia lapor kepada Nabi perihal tersebut.
Ibnu al-Katsir, Al-Nawawi, dan Al-Zuhaily, sepakat bahwa ayat ini menandaskan haramnya mencela kepada sesama muslim. Pasalnya, di samping hal itu dapat menyakiti hati orang yang dihina, belum tentu juga kalau yang menghina itu lebih baik perilakunya atau penampilannya daripada yang dihina. Pendek kata saling mencela antarsesama muslim, dengan beragam bentuk dan caranya adalah tindakan yang diharamkan.
Termasuk dalam golongan pencelaan adalah memberikan nama panggilan, predikat, atau julukan buruk kepada seseorang dengan sebutan yang kurang enak didengar, yang berakibat orang itu membenci panggilan buruk tersebut. Menurut al-Nawawi, yang keharamannya tidak bisa ditawar-tawar lagi adalah panggilan, “Hai Kafir!”, Hai Fasik!”, “ Hai Munafik!”, dan semacamnya kepada pemeluk agama Islam yang nyata-nyata telah menunjukkan keimanannya. Dan ini oleh Allah disebut sebagai nama atau laqob terburuk yang tidak tepat untuk dilontarkan.
Dalam sebuah hadis, Nabi juga pernah bersabda, “Barang siapa yang mengkafirkan muslim lain (yang sudah jelas keislamannya), maka dia sendirilah yang kafir.”
Ayat dan hadis di atas tentu saja hanya diberlakukan untuk umat Islam. Namun dalam masyarakat modern yang tidak lagi mengenal jarak pergaulan tanpa melihat segala atribut-atribut simbolis seperti agama, suku, ras, etnis, dan bahasa, tentunya siapa pun dilarang mencaci maki alias mengeluarkan kata-kata yang memprovokasi kebencian (hate speech) kepada siapa pun.