Fenomena kekerasan identitas berbasiskan agama belakangan ini semakin marak terjadi. Menurut data dari The Wahid Institute tahun 2016 terjadi pelanggaran kebebasan beragama sejumlah 204 kasus. Jumlah tersebut meningkat sebanyak 7% dari tahun 2015. Sedangkan menurut Setara Institute pada tahun 2017 terjadi pelanggaran kebebasan beragama sejumlah 155 kasus (KBR, 2017).
Sekian banyak aksi kekerasan identitas berbasiskan perbedaan keyakinan tersebut dimotori oleh ormas Islam yang mempunyai pemahaman keagamaan yang ekstrem. Aksi-aksi kekerasan yang mereka lakukan tersebut bukan hanya semata-mata sebuah spontanitas. Akan tetapi, setiap tindakan kekerasan mereka selalu dilegitimasi oleh dalil-dalil hasil ijtihad ulama’ mereka.
Aksi kekerasan berbasis identitas agama dilatari oleh doktrin keagamaan yang menganjurkan kepada pemeluknya untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan. Biasanya, doktrin keagamaan yang menganjurkan tindakan kekerasan, dimulai dari doktrin yang anti terhadap perbedaan dan keberagaman sosial.
Historiografi Islam klasik mencatat ada kelompok-kelompok Islam yang mempunyai benih-benih nalar kekerasan. Munculnya kelompok Islam fundamentalis yang mempunyai nalar kekerasan ini dimulai dari peristiwa tahkim, pertempuran antara sahabat Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Pada peristiwa itu, sahabat Ali bin Abi Thalib ditipu kelompok Mu’awiyah saat peristiwa tahkim. Dari peristiwa tersebut muncul kelompok yang bernama Khawarij. Kelompok ini mempunyai doktrin bahwa seorang muslim yang pemahaman keagamaannya berbeda dengan kelompok mereka akan dianggap sebagai kafir dan wajib diperangi.
Kemudian, seiring perkembangan zaman, doktrin-doktrin kelompok khawarij tersebut dilanjutkan oleh kelompok salafi wahabi dengan pemahaman keislaman yang kaku dan sempit. Kelompok salafi wahabi ini pertama-tama muncul dan berkembang di Arab Saudi. Kelahiran kelompok salafi wahabi tersebut merupakan hasil persekutuan agama dan kekuasaan antara Muhammad bin Abdul Wahhab (1699 M) dengan raja Sa’ud yang melakukan pemberontakan kepada Kerajaan Utsmani di Turki.
Bahkan doktrin keislaman yang sempit ala wahabi tersebut juga memiliki sumbangsih besar bagi munculnya kelompok-kelompok terorisme global. Awal mulanya gerakan terorisme global yang ada di Timur Tengah, seperti al-Qaeda merupakan persekutuan antara ajaran salafisme wahabi dengan Ikhwanul Muslimin yang saat itu diusir dari Mesir oleh rezim Sosialisme Arab pimpinan presiden Gamal Abdul Naser.
Kemudian, doktrin Islam dengan nalar kekerasan tersebut mulai masuk di Indonesia ketika zaman orde baru. Saat itu eksponen Partai Masyumi yang dilarang oleh orde baru mulai berinteraksi dengan gerakan terorisme di Afganistan. Dari alumni Afganistan tersebutlah kemudian pemahaman Islam fundamentalis yang sempit dan kaku tersebut mulai masuk di Indonesia.
Sekian banyak kelompok Islam fundementalis baik nasional maupun global tersebut pertama-tama didahului oleh aktifitas penalaran keislaman mereka yang sempit. Penalaran keagamaan yang sempit mereka dimulai dari utopia berlebihan mereka akan orientasi masa lalu (salaf) yang penuh kejayaan.
Penalaran keagamaan yang berlebihan dalam mengorientasikan kejayaan masa lalu tersebutlah yang kemudian menyebabkan kebutaan mereka akan situasi zaman ini. Mereka dalam melihat kejadian saat ini akan selalu dikembalikan kepada sejarah masa lalu. Padahal, pada dasarnya setiap wilayah dan zaman memiliki perbedaan-perbedaan tersendiri.
Misalnya, dahulu zaman awal perkembangan Islam, interaksi antar bangsa dan agama tidak seluwes dan secair saat ini. Dahulu, dunia dikelompok-kelompokkan oleh kerajaan dan kekuasaan agama tertentu. Misalnya kerajaan Romawi yang dihegemoni oleh agama katolik.
Situasi peta dunia yang dipenuhi oleh dominasi-dominasi kerajaan dan agama tersebutlah yang kemudian membuat strategi dakwah Islam zaman awal menjadi cukup keras dalam membicarakan setiap permasalahan perbedaan agama. Akan tetapi, jika situasi peta dunia saat ini di mana antar bangsa dan agama sangat cair tentunya harus mempunyai implikasi nalar keagamaan yang berbeda pula.
Kebutaan kaum Islam fundamentalis dalam membaca perbedaan zaman dan selalu terburu-buru untuk mengembalikan segala pesoalan untuk dicarikan pembenaran dari sejarah kejayaan masa lalu tersebutah yang menjadi penyebab dari aksi kekerasan mereka terhadap setiap orang yang memiliki keyakinan yang berbeda.
Persoalan nalar kekerasan kaum fundamentalis yang serba main mutlak-mutlakan tersebut, perlu adanya kritik untuk pemahaman keislaman mereka sebagai bentuk counter wacana dari kita. Kritik terhadap pemahaman keislaman mereka harus ditujukan kepada cara bernalar mereka dalam membaca persoalan setiap zaman. Mereka harus mulai meninggalkan cara pandang yang selalu terburu-buru untuk mencari justifikasi masa lalu untuk setiap permasalahan hari ini.
Banyak sekali kalangan cendikiawan muslim yang menawarkan solusi berislam bagi mereka yang mempunyai nalar berislam yang sempit. Mulai dari Gus Dur dengan Pribumisasi Islam, Cak Nur dengan Islam dan Kemoderenannya, begitu pula Muhammad Abed al Jabiri dengan proyek Kritik Nalar Arab dan masih banyak lagi cendikiawan muslim yang menawarkan ide keislaman yang aktual.
Dengan demikian, jika kita peduli dengan peradaban Islam untuk masa depan, kita sepatutnya untuk berlabuh kepada para cendikiawan muslim yang menawarkan pembacaan keislaman yang aktual dan progresif. Bukan malah kita berislam dengan mengurung diri dari peradaban dunia kontemporer dengan selalu mencari pembenaran dari sejarah masa lalu. Tentunya pilihan yang terakhir tersebut hanya akan membawa peradaban kita semua ke arah dekadensi.
Milih berislam yang luwes ataukah pethentengan? Wallahhu a’lam.
M. Fakhru Riza, Penulis adalah pegiat aktif di Islami Institute Jogja.